Minggu (28/06) Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) ke-XI di kediaman Prof. Fasli Jalal. Gathering SJP kali ini memiliki topik diskusi "Peluang Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan dalam Memanfaatkan Bonus Demografi". Dalam diskusi Gathering SJP ke-11 menghadirkan Dra. Rahma Iryanti, M.T dan Prof. Fasli Jalal sebagai pembicara dengan moderator Prof. Mayling Oey-Gardiner. Dalam acara Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-XI, GKR Hemas turut hadir dan berbicara mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia minimal pernikahan untuk perempuan. Di dalam keputusan yang melibatkan 9 hakim yang terdiri dari hakim pemerintah, hakim konstitusi dan hakim DPR itu, MK tidak berani mengambil risiko untuk mengambil keputusan. Di dalam perkara ini terlihat belum ada atau kurangnya pendalaman mengenai penaikkan usia minimal pernikahan bagi perempuan. Ratu Hemas khawatir misi-misi politik menjadi titik berat pengambilan keputusan tersebut. Pada acara yang diselenggarakan di kediaman Prof. dr. Fasli Jalal di bilangan Jakarta Timur ini, Ratu Hemas mengatakan kita harus memberikan masukkan kepada DPR secara terus-menerus. Saat ini satu-satunya hal yang harus dicapai adalah membangun kesadaran masyarakat dan terus mendorong pemahaman masyarakat terhadap isu ini. Tidak mungkin jika kita hanya mengandalkan pemerintah. Sebagai warga negara kita memiliki tanggung jawab terhadap isu ini. Ratu Hemas mengatakan, “Ketika putusan MK keluar, yang terpenting kita harus punya strategi yang baik.” (Lola Loveita) Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan Gathering Sahabat Jurnal Perempuan ke-XI di kediaman Fasli Jalal. Acara Gathering kali ini bertema “Peluang Peningkatan Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan dalam Memanfaatkan Bonus Demografi”. Fasli Jalal selaku tuan rumah juga memberikan sambutan dan memaparkan materinya mengenai bonus demografi dan indeks ketimpangan gender di Indonesia. Fasli Jalal menjelaskan bahwa bonus demografi terjadi karena peningkatan usia produktif akibat penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang sehingga menurunkan proporsi penduduk muda yang memungkinkan investasi untuk pemenuhan kebutuhannya berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga. “Indonesia termasuk satu dari tiga negara ASEAN dengan Indeks Ketimpangan atau Ketidaksetaraan Gender (IKG) yang tinggi, meskipun telah melaksanakan berbagai program kesetaraan gender”, papar Fasli. Dalam presentasinya Fasli Jalal menyajikan data yang merupakan representasi realitas di lapangan. Berdasarkan proyeksi 2010-2035, bonus demografi sudah dimulai sejak tahun 2012 dan titik terendah rasio ketergantungan terjadi pada tahun 2028-2031. Fasli menjelaskan bahwa bonus demografi bisa di manfaatkan dengan memperhatikan beberapa hal seperti, 1) Pekerja sehat produktif dimulai dari kecukupan pangan, gizi dan Kespro, 2) Peningkatan peluang kerja perempuan dan tabungan, 3) Kebijakan ekonomi kondusif untuk penciptaan lapangan kerja dan kredit mikro. Menurut Fasli permasalahan ketidaksetaraan gender berada diberbagai bidang. Di bidang pendidikan, permasalahan gender antara lain ditunjukkan oleh Perbedaan partisipasi pendidikan antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan. Di bidang kesehatan Status kesehatan ibu yang belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Angka kematian ibu (AKI) melahirkan masih sebesar 346 per 100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini masih jauh dari target MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Di bidang ketenagakerjaan, permasalahan gendernya antara lain adalah perbedaan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) antara perempuan dan laki-laki yang cukup besar dari tahun ke tahun. TPAK perempuan menurun lebih besar dibanding TPAK laki-laki, yaitu dari 51,76 pada tahun 2010 menjadi 50,28 pada tahun 2013 sementara TPAK laki-laki menurun dari 83,76 menjadi 83,58. Kemudian masih terdapat perbedaan rata-rata pendapatan per bulan antara pekerja perempuan dan laki-laki. Upah atau pendapatan pekerja perempuan jauh lebih rendah dari laki-laki secara rata-rata, yaitu Rp 1,427 juta untuk perempuan dan Rp 1,795 juta untuk laki-laki pada tahun 2013. Pekerja perempuan banyak yang berstatus pekerja tidak dibayar seperti ibu rumah tangga atau membantu orang lain berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, yaitu sekitar 30,83 persen. (Andi Misbahul Pratiwi) “Kemiskinan adalah sumber kekerasan terhadap perempuan, tingginya angka kematian ibu hamil, perempuan is the poorest of the poor” ucap Rosa Rai Djalal, pendiri Women for the World dalam pembukaan Workshop Kewirausahaan kemarin (15/06/2015) di Auditorium Gedung Kementerian Koperasi dan UKM. Women for the World, Organisasi pemberdayaan perempuan yang baru di-launching bulan lalu oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama. Workshop kewirausahaan ini dihadiri oleh 300 peserta yang hampir semuanya adalah ibu rumah tangga. Women for the World adalah organisasi global yang dimulai di Indonesia untuk meningkatkan peran perempuan dalam kemajuan negaranya. Acara workshop kewirausahaan sebagai acara pertamanya bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Lembaga LPDP, Kementrian Koperasi dan UKM, serta Female Daily. Sebagai pembicara, mereka mengundang Sandiaga Uno, Chloe Purnama seorang perempuan muda berusia 13 tahun yang telah memiliki bisnis online beromzet 300jt/bulan, dan Harryadin Mahardika yang memaparkan tentang perilaku konsumen di dunia online, tidak tanggung-tanggung Kemas Danial dan Prakoso Budi Susetyo dari LPDP langsung memberikan panduan membuat proposal dana untuk diajukan ke LPDP guna pembiayaan usaha nantinya. Workshop kewirausahaan ini nantinya akan berlangsung selama setahun. Workshop ini merupakan sesi pertama yang masih akan dilanjutkan oleh empat workshop selanjutnya dan disambung dengan mentoring selama setahun guna membina usaha yang sedang atau akan dijalani para ibu. Pelatihan ini memang sengaja dibuat sangat intensif. Harapannya, workshop ini benar-benar membantu perempuan untuk menjadi mandiri secara finansial, lepas dari jeratan kemiskinan, dan perempuan dapat berkontribusi untuk negaranya. (Nadya Karima Melati) Di dalam acara Pelatihan Media Meliput LGBT yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, Hivos dan Ardhanary Institute pada hari sabtu (30/5) yang bertempat di Casakhasa Bistro Garden, Kemang Utara, RR Sri Agustine, sebagai pembicara dari Ardhanary Institute memberikan materi mengenai keberagaman gender dan seksualitas. Dua hal tersebut baginya tidaklah sama, dan juga keduanya merupakan elemen dasar SOGIEB (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, And Body). Berbicara mengenai seksualitas artinya berbicara mengenai jenis kelamin yang bersifat biologis. Di Indonesia ada dua jenis kelamin yang diakui negara yaitu laki-laki dan perempuan. Pendefinisian seksualitas sebagai jenis kelamin oleh negara dan KBBI, bagi Agustine akan menghilangkan queer karena ia tidak ada di dalam dua kotak normatif seksualitas. Pendefinisian Ardhanary Institute terhadap seksualitas memasukkan faktor biologis, yaitu kromosom. Berdasarkan hal itu, manusia memiliki banyak sekali jenis kelamin, hanya saja kita belum memberikan nama, kita hanya menyebutnya sebagai interseks. Menurut RS Kariadi, satu-satunya RS interseks di Indonesia, kurang lebih ada 48 jenis kelamin berdasarkan kromosom. Hal itu membuktikan bahwa sebenarnya seksualitas sangat beragam. Agustine mengatakan bahwa media seringkali keliru menyebut interseks sebagai gangguan jenis kelamin, kerancuan gender, ataupun sindrom. Di dunia ini ada 3 negara yang sudah mengakui keberadaan interseks, yaitu Jerman, Australia dan Amerika Serikat. Di samping seksualitas, ada banyak hal lain yang menyangkut elemen dasar SOGIEB, misalnya penghayatan akan perasaan atau subjektivitas diri, pilihan untuk menentukan identitas dan juga pengekspresian gender. Elemen-elemen itu bagi Agustine menentukan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan juga kebertubuhan seseorang. Jika persoalan seksualitas terkait dengan faktor biologis, berbeda halnya dengan peran gender yang merupakan pemberian masyarakat. Masyarakat seolah-olah biner karena hanya mengakui nama “laki-laki” dan “perempuan” padahal menurut Agustine masyarakat masih mengakui adanya gender ketiga, yaitu “banci” atau “bencong”, meskipun motifnya adalah diskriminasi. Menurut survey KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di Indonesia dan Oprah di Amerika, ada banyak sekali kasus diskriminasi di sekolah yang berbentuk bullying terutama kepada laki-laki feminin. Masyarakat seringkali melabelkan peran gender menurut seksualitas, seperti laki-laki yang harus berekspresi maskulin. Penelitian Oprah menunjukkan tingginya angka bunuh diri laki-laki berusia <14 tahun karena bullying yang terjadi di sekolah. Bagi Agustine, bullying juga dilakukan media melalui stereotip yang diberikan hanya berdasarkan ekspresi gender yang biner. Seringkali dengan merujuk pada ekspresi gender, seseorang diberi label tertentu, padahal berkali-kali ia menegaskan apa gendernya. Keputusan seseorang dalam mengidentifikasi dirinya terkait dengan identitas gender, yaitu perkara penghayatan diri. Gender dan seksualitas merupakan hal yang kompleks. Ketika kita berbicara mengenai ketidakadilan gender kita tidak hanya berbicara soal perempuan dan laki-laki, tetapi juga gender lain yang ada di luar dua kotak itu. Media seringkali memancing seseorang untuk coming out padahal itu adalah persoalan hak dan martabat seseorang yang memiliki implikasi yang sangat besar pada kehidupan seseorang. Banyak kasus-kasus seperti itu yang akhirnya menyebabkan hancurnya kehidupan seseorang. Bagi Agustine, seharusnya media jangan terlalu banyak berasumsi, lebih baik tanyakan kepada narasumber agar pemberitaan yang ada bersifat akurat dan lebih adil. (Lola Loveita) Pelatihan media meliput LGBT yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan bekerjasama dengan Ardhanary Institute dan HIVOS pada Sabtu 30 Mei 2015, bertempat di Casakhasa Bistro Garden dihadiri oleh 25 peserta yang berlatar belakang wartawan media (elektronik, cetak, online, dan kampus) dari berbagai daerah antara lain Jakarta, Cirebon, Tuban dan Bandung. Pelatihan ini menyuguhkan 4 materi pokok. Salah satu materi yang mendapat antusias dari peserta adalah materi sesi ketiga “Kepenulisan Berperspektif Gender/ LGBT”. Materi tersebut dibawakan oleh Pemred Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum. Para wartawan tersebut sangat aktif dalam praktik menulis di sesi ketiga ini. Sebelum memasuki tahap praktik menulis berita yang berimbang, Dewi menjelaskan beberapa kosa kata yang perlu dihindari dalam penulisan berita. “Seksisme tidak terletak pada ‘kata’ namun pada motif kita terhadap ‘kata’ itu ”, papar Dewi. Dewi melanjutkan dengan mengajak peserta untuk menganalisis beberapa contoh berita yang seksis dan tidak berimbang yang telah lengkap didokumentasikan dalam sebuah modul. Modul “Panduan Media Meliput LGBT” ini berisi mengenai rules menulis berita yang berpihak dan tidak bias. Modul ini juga dilengkapi dengan daftar kata yang sebaiknya digunakan jurnalis untuk mengangkat berita LGBT. “Media mainstream hari ini lebih mengutamakan rating dibandingkan kualitas berita” Dewi menambahkan. Padahal kita tahu bahwa media adalah salah satu pembentuk opini publik sehingga sangat penting untuk bersifat mencerdaskan. Cara pandang dan kebiasaan kita menambahkan “bumbu” dalam berita sebaiknya tidak perlu karena objektifitas berita harus didahulukan. Dalam sesi ini Dewi juga melatih peserta untuk membuat berita mengenai LGBT yang adil. Beberapa peserta pun turut aktif dengan mempresentasikan beritanya di forum tersebut. Hasilnya beberapa kata-kata yang seksis bisa langsung dikoreksi bersama-sama dengan peserta lainnya. (Andi Misbahul Pratiwi) Pada hari Sabtu (30/5/2015) di acara Pelatihan Media Meliput LGBT, Rocky Gerung berbicara mengenai jurnalisme yang adil. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Jurnal Perempuan, Hivos dan Ardhanary Institute di Casakhasa Bistro Garden, Kemang Utara, Rocky mengatakan bahwa tulisan merupakan alat untuk melakukan konfrontasi terhadap isme-isme hari ini. “Oleh karena itu melalui tulisannya, jurnalis bertugas menemukan apa yang disembunyikan oleh peradaban”, papar Rocky. Rocky memaparkan bahwa di dalam sejarah panjang peradaban Yunani sampai hari ini, advokasi Feminisme yang diiringi dengan eksplorasi teoretis telah menghasilkan perubahan di dalam demokrasi, yaitu diakuinya pengalaman dan hak pilih perempuan. Demokrasi dianggap bekerja sejauh adanya rasionalitas, sementara rasionalitas dianggap hanya dimiliki oleh laki-laki. Perempuan tereksklusi, menjadi non-existent dan tidak memiliki hak. Perubahan terhadap hal itu terjadi melalui evolusi pikiran, meski sampai hari ini misoginisme masih hidup. Pada hari ini konfrontasi yang ada adalah konfrontasi gagasan melalui tulisan. Bagi Rocky harus ada affirmative action di dalam jurnalisme melalui subversi di dalam penulisan dan menyelundupkan justice di dalam reportase. Pemberitaan yang berimbang harus mengangkat apa yang dipinggirkan sehingga masyarakat memahami bahwa ada diskriminasi ketika kita mencoba menyingkirkan yang satu di dalam oposisi biner. Seringkali kita bereaksi terhadap sesuatu tanpa melihat persoalannya, seperti kebijakan-kebijakan tentang “darurat minuman keras” atau “darurat pornografi” padahal sesungguhnya yang darurat itu terdapat pada cara berpikir masyarakat. Ketika ada perbedaan pengalaman, masyarakat menganggap hal itu sebagai “darurat”, sama halnya pada “darurat lesbian”. Peran jurnalisme adalah memberitakan secara berimbang melalui pemberitaan yang menggunakan perspektif ketertindasan. Pada hari ini kita sudah bisa menemukan mata kuliah Queer Theory yang meminta kita untuk menghormati perbedaan. Penghormatan itu juga harus dilakukan oleh negara. Selama ini kita melihat bahwa etika mengalami evolusi, dahulu perempuan, buruh, anak-anak tidak memiliki hak, dan pada hari ini queer. Negara harus menghormati adanya perbedaan pengalaman itu. Jika negara masih merasa terganggu, artinya negara masih patriarkis. Bagi Rocky, “Dunia tidak sesempit tajuk rencana koran, oleh karena itu jurnalis harus think the unthinkable.” (Lola Loveita) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |