Kultur membangun paradigma masyarakat bahwa laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Hal ini terus terjadi di kehidupan kita sehari-hari yang dinarasikan verbal melalui simbol, melalui bahasa, melalui kata-kata. Pernyataan ini disampaikan Mariana Amiruddin Komisioner Komnas Perempuan periode 2014-2018 sekaligus Dewan Redaksi Jurnal Perempuan dalam Kelas Dasar Feminisme yang diadakan Jurnal Perempuan Kamis (30/10). Media memberi ruang terhadap kelanggengan patriarki, sebagai contoh iklan di televisi yang menjadi konsumsi publik, selalu menggambarkan laki-laki sebagai bapak rumah tangga yang bekerja, berkarier, perkasa dll. Sedangkan perempuan tugasnya adalah bersolek di rumah, mencuci pakaian, memasak, mengurus anak. Mariana menambahkan simbol-simbol visual tersebut membangun sebuah paradigma berpikir yang sebenarnya adalah mitos bahwa perempuan harus menggunakan warna pink dan laki-laki diidentikkan dengan warna biru. Hal tersebut dikatakan sebagai hierarki gender, dimana laki-laki dan perempuan bukan berrelasi secara horisontal melainkan relasi vertikal. Dalam relasi hubungan tersebut kultur menempatkan laki-laki diatas perempuan dan hal itu diamini oleh masyarakat patriarki. Hierarki gender (feminin dan masukulin) membuat orang-orang yang diluar hierarki mengalami kesulitan. Fenomenologi yang terjadi hari ini adalah meningkatnya perempuan yang bekerja ataupun berkarier di dunia akademis, hal itu terjadi setelah perempuan sadar bahwa dia harus berkarya. Namun fakta itu tetap diiringi dengan sebuah tuntutan bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan urusan domestiknya sehingga perempuan dituntut menjadi superwomen untuk mempertahankan rumah tangga dan karier. Lebih lanjut Mariana mengatakan bahasa membeda-bedakan perilaku terhadap gender dan jenis kelamin. Penggunaan kalimat aktif dilekatkan pada gender laki-laki sedangkan penggunaan kalimat pasif dilekatkan pada gender perempuan. Hal tersebut menunjukkan simbol yang kuat adanya diskriminasi pada salah satu gender yaitu perempuan. Bahasa dihasilkan dari konsensus patriarki yang melemahkan gender perempuan. Karena itu, Helene Cixous menyarankan perempuan untuk menuliskan pengalaman ketubuhannya dan menjadikannya pengetahuan. (Andi Misbahul Pratiwi dan Nadya Karima Melati)
0 Comments
Modernisme, melalui paradigmanya sukses dalam membuat standar bahagia baru yang tidak ontologis dan mengorbankan banyak hal demi mencapai kebahagiaan. Modernisme menggunakan nafsunya untuk menguasai segala hal termasuk mengabjeksikan tubuhnya sendiri beserta kelaminnya dan mengalienasikan tubuh perempuan dan alam. Demikian pernyataan Pemred Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum saat memberikan materi tentang Ekofeminisme dalam Kelas Dasar Feminisme yang diselenggarakan Jurnal Perempuan di Casakhasa Garden Bistro, Kamis (30/10). Jika kita membuka dan melacak budaya profan sebelum dijajah nafsu modernitas, maka kita akan menemukan kearifan dalam berinteraksi dengan alam. Dewi mencontohkan hal ini dapat ditemui di Merapi dimana masyarakat lokal di sana memiliki persepsi yang menganggap Merapi sebagai Ibu dan keindahan yang akan dilahirkan ketika "ibu" erupsi. Ada pula pandangan masyarakat lokal di sejumlah daerah tentang transgender yang akibat stigma kata menyebarkan homofobia yang lagi-lagi melalui paradigma modernitas dilekatkan dengan hal yang negatif. (Nadya Karima Melati) “Selama berabad-abad posisi perempuan dihina oleh hukum, diberangus oleh teknologi, dikucilkan oleh budaya, disembunyikan dalam peradaban”, demikian pernyataan pembuka Rocky Gerung, pengajar Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, saat menjadi pengajar di Kelas Dasar Feminisme yang diadakan Jurnal Perempuan, Kamis (30/10). Pernyataan ini mengantarkan pada serangkaian materi feminisme yang diikuti oleh 20 peserta dari berbagai latar belakang. Feminisme adalah gerakan melawan diskriminasi dan menuntut kesetaraan dalam pencapaian-pencapaian di ruang publik. Lebih jauh Rocky mengungkapkan diskriminasi terhadap perempuan berawal dari misoginisme atau kebencian terhadap perempuan yang menghasilkan penindasan, penghinaan dan pengucilan terhadap perempuan. Segala bentuk opresi tersebut mengarah pada fisik perempuan, intelektualitas perempuan, kultur perempuan dan segala macam labeling yang menempatkan perempuan sebagai sumber kelemahan. Keterangan akademis yang disuguhkan publik terhadap hal itu adalah upaya untuk memperlihatkan struktur patriarki dalam peradaban. Dengan segala ketidakadilan, kesenjangan dan ketimpangan tersebut lahirlah femnisme. (Andi Misbahul Pratiwi) Pinky Saptandari : Prestasi Perempuan Harus Dilihat, Bukan Hanya Sebagai Simbolisasi Politik29/10/2014 Terdapat optimisme dan apresiasi atas kuantitas perempuan di dalam kabinet yang belum pernah terjadi di republik ini. Jokowi telah melakukan dekonstruksi terhadap komposisi perempuan dalam kabinetnya dengan masuknya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan misalnya yang membuat kaget sebagian orang. Demikian pernyataan Pinky Saptandari Staf Ahli KPPPA periode 2009-2014 dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan Jurnal Perempuan dengan tema Perempuan dalam Kabinet pada Rabu (29/10). Lebih lanjut ia mengungkapkan saat ini perempuan berada di posisi strategis untuk pertama kalinya, tetapi respons yang ada tidak selalu positif. Ada pertanyaan seperti siapa yang ada di balik pengambilan keputusan tersebut. Selain itu Pinky juga melihat terkadang yang meliyankan perempuan bukan melulu masyarakat patriarki, namun perempuan juga meliyankan perempuan yang lain. Arogansi politik ini harusnya bisa diredam oleh Jokowi, sehingga komposisi perempuan dalam kabinet bukan hanya simbol politik namun bisa menjadi cerminan Kabinet Kerja yang sesungguhnya bagi masyarakat. Terlepas dari hal tersebut, Pinky tetap optimis bahwa kompisisi perempuan di Kabinet Kerja Jokowi akan menghasilkan kebijakan yang menguntungkan perempuan ke depan. Pinky juga berpendapat keputusan Jokowi memilih Yohana Yambise juga perlu diapresiasi karena bisa menjadi harapan bagi penyelesaian masalah angka kematian ibu dan tingginya angka penderita Aids di Papua. Meskipun Yohana bukan dibidang gender namun kesetaraan gender adalah critical issue yang memungkinkan bisa diimplementasikan di semua bidang dan nantinya dalam perjalanannya Yohana bisa dibantu dengan staf ahli dan anggotanya. Bagi Pinky, pemilihan Yohana adalah pencapaian Jokowi bahwa Papua harus menjadi prioritas hari ini. (Andy Misbahul Pratiwi dan Lola Lovieta) Rabu (22/10/2014)—Dalam acara Rabu Perempuan yang terselenggara atas kerja sama Komnas Perempuan dan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Ibu Yulia Siregar penyintas 65 yang kini berusia 71 tahun berkali berpesan agar generasi muda melepaskan stigma buruk kepada korban dan keluarga korban 1965/1966. “Anak saya sampai tidak mau lagi pulang kampung ke Medan. Dulu mereka sering diejek anak orang kafir PKI. Bahkan sampai sekarang sudah pada dewasa, mereka masih suka ketakutan. Apalagi kalau saya pergi sendiri. Takut nanti ditangkap FPI karena pernah jadi tapol PKI”, katanya. Pada saat peristiwa 30 September 1965 terjadi di Jakarta, perempuan kelahiran Medan tahun 1943 itu tercatat sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Aktivitas kedua orang tuanya yang tergabung dalam organisasi underbouw PKI dan keanggotaannya dalam Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), menjadi alasan aparat untuk menangkap dan menahan keluarga dari Ibu Yulia pada pertengahan Oktober 1965. Penahanan itu telah menyebabkan Ibu Yulia kehilangan ayahnya. “Kemungkinan besar ayah saya di-bon dan dibawa ke Sungai Ular. Itu tempat terkenal di Medan. Tidak ada satu pun tahanan yang kembali jika dibawa ke tempat itu”, ujar Ibu Yulia dengan mata berkaca-kaca. Selama dalam tahanan, Ibu Yulia mengaku mengalami kekerasan psikologis. Selain rasa sedih karena kehilangan ayahnya, Ibu Yulia juga hidup dalam ketakutan karena adanya sistem “bon” tiap malam hari. Tahanan perempuan yang dianggap molek, seringkali “di-bon” oleh aparat. Mereka mengalami pemerkosaan secara berkali-kali oleh lebih dari satu orang aparat TNI. Tak sedikit dari perempuan-perempuan dalam tahanan tersebut yang dibebaskan (sepanjang tahun 1966-1979) dalam kondisi hamil atau bahkan mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma. Berbeda dengan Ibu Yulia yang dibebaskan tahun 1966, Eyang Mariam Poniem baru dibebaskan pada 20 Desember 1977. Perempuan berusia 73 tahun tersebut ditangkap dan ditahan selama 12 tahun atas tuduhan aktif mendukung gerakan makar PKI. Sewaktu menjadi buruh perempuan di salah satu perusahaan di Kota Medan, Eyang Mariam ditunjuk menjadi Wakil Sekretaris SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) cabang Medan. “Hingga saat ini saya tidak tahu salah saya. Apakah aktif mendorong pemenuhan hak-hak buruh perempuan itu adalah tindakan makar?”, tanya Eyang Mariam. Dipenghujung acara, Eyang Mariam mengungkapkan harapannya pada pemerintahan baru. “Seumur-umur saya hanya dua kali benar-benar memilih presiden. Pertama, Bapak Soekarno. Kedua, Pak Jokowi. Saya yakin sama program Pak Jokowi yang mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil. Kayak semboyan Pak Jokowi, Kerja, Kerja Kerja!, makanya kita semua harus ikut kerja. Semoga anak muda mau membantu kami (korban 65) mengingatkan Pak Jokowi kalau hingga saat ini kami masih menanti rehabilitasi dari pemerintah.” (Wara Aninditari Larascintya Habsari, staf Divisi Pemantauan Impunitas, KontraS) Selasa (30/09/2014) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Jejer Wadon bekerjasama dengan LPH YAPHI bertema ”Perempuan dalam Politik Massa: Generasi 65, 98 dan Reformasi”, Mbah Arjo Sutiyem, aktivis perempuan ’65 yang kini berusia 94 tahun mengingatkan kita akan gigihnya perjuangan perempuan pada masanya dalam memperjuangkan hak-haknya. Dalam penuturannya saat beliau aktif dalam organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sedar (GERWIS), perempuan disadarkan akan hak-haknya dan diajak untuk menentang perilaku poligami yang dilakukan oleh kaum laki-laki, yang pada waktu itu dalam satu dusun terdapat minimal 10 orang laki-laki yang melakukan poligami. Selain itu para perempuan juga menentang poliandri dan kemudian menuntut kesamaan hak waris antara perempuan dan laki-laki. Tumbuhnya kesadaran perempuan di tahun 1954 menjadikan organisasi perempuan yang awalnya bernama GERWIS berubah menjadi GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia) yang mana isu yang diperjuangkan adalah kesetaraan dan pemberantasan buta huruf. Hanya saja pasca peralihan kepemimpinan dari orde lama ke orde baru menjadikan gerakan perempuan dimusnahkan sampai ke akar-akarnya hingga sampai pada penghilangan fakta sejarah. Selama 32 tahun orde baru memimpin, rezim ini menjadikan para perempuan terkungkung dalam wilayah domestik yang sibuk dengan urusan memasak, merawat anak, melahirkan dan memenuhi kebutuhan seksual laki-laki. Keotoriteran orde baru akhirnya menjadi masalah baru bangsa ini hingga pada akhirnya Soeharto ditumbangkan oleh kaum muda pada tahun 1998. Tumbangnya orde baru memunculkan banyak organisasi-organisasi perempuan di masyarakat. Hanya saja menurut aktivis 98 yang juga menjadi narasumber, Vera Kartika Giantari, organisasi-organisasi yang bermunculan tidak diiringi dengan pendidikan politik bagi perempuan atau masyarakat sehingga gerakan perempuan sekarang kurang mengakar bahkan menjadi tidak jelas seakan-akan jalan sendiri-sendiri sesuai dengan isu yang dibawa organisasinya. Hal tersebut diperburuk dengan situasi sosial budaya yang saat ini tidak mendukung masyarakat. Angela Merici Sarniyati, Ketua PMKRI Solo yang juga menjadi narasumber menyampaikan bahwa generasi muda saat ini cenderung apatis dengan masalah-masalah sosial. Ia juga menuturkan bahwa hal tersebut terlihat dari banyaknya teman-temannya yang selalu sibuk dengan nilai-nilai di bangku kuliah, bersenang-senang untuk karaoke, main biliar, sibuk dengan urusan percintaan dan lain sebagainya. Lebih jauh ia berpendapat bahwa terjadi proses penghilangan sejarah bangsa ini. Selain itu menurutnya generasi yang ada saat ini adalah produk generasi warisan orde baru yang sangat sulit dibongkar pemikirannya. (Yuliana Paramayana) Perspektif feminisme dalam pemberitaan di media massa belum mendapat perhatian penting. Sebuah berita dinilai memiliki sudut pandang feminis ketika sejak awal sang pewarta atau penulis sudah mengambil sikap yang merumuskan nilai-nilai kesetaraan, keadilan dan keberpihakan atas ketidak-adilan terhadap perempuan dan minoritas seksual. Untuk membekali para jurnalis dan penulis dengan perspektif feminisme, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan workshop Kelas Kepenulisan Berita Berperspektif Adil Gender bertempat di kantor YJP, Jalan Lontar, pada hari Selasa, (7/10). Peserta workshop berjumlah 18 orang yang berasal dari berbagai kalangan, di antaranya mahasiswa, jurnalis, lembaga swadaya masyarakat juga umum. Kegiatanworkshop diawali dengan pengenalan YJP oleh Deedee Achriani selaku Direktur Pengembangan YJP. Acara utama berupa kelas kepenulisan dengan pengajar sekretaris redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy, berlangsung setelahnya. Materi yang diberikan adalah konsep penulisan berita berperspektif feminis, telaah dan diskusi atas judul-judul berita yang mendominasi karakter pemberitaan media massa kita, serta praktik penulisan berita berperspektif feminis. Dalam diskusi, diambil contoh judul dan materi berita "Wanita Cantik Dibunuh, Mayatnya Dibuang ke Sumur". Penambahan kata 'cantik' merupakan indikasi adanya hierarki gender dalam lingkungan sosial yang kerap dimunculkan di media. Contoh berita tersebut menunjukkan karakter pemberitaan yang cenderung bias, terutama menyangkut isu perempuan. Seorang jurnalis atau penulis yang memiliki kepekaan gender yang baik, akan berpijak pada fakta yang berangkat dari kondisi sosial yang tidak adil untuk menggali objektivitas berita. Anita Dhewy memberikan tiga langkah penting untuk meliput dan menulis isu-isu perempuan dan minoritas seksual. Pertama, hindari pertanyaan bias kepada narasumber. Kedua, jika narasumber memberikan pernyataan bias, tanyakan lebih jauh apa yang ia maksud. Terakhir, harus berhati-hati dalam pemilihan kata dan istilah. (Nataresmi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |