Jumat, 13 Desember 2019, dalam rangka memperingati hari jadi ke-29, Solidaritas Perempuan merefleksikan dan memproyeksikan agenda politik gerakan perempuan di Indonesia dalam acara media brieifing bersama dengan JKP3 (Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan), Kalyanamitra, Sanggar Swara, Perempuan Mahardika, Koalisi Perempuan Indonesia, Jurnal Perempuan, dan Kapal Perempuan. Dinda Nur Annisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, dalam acara yang dilaksanakan di kantor Solidaritas Perempuan tersebut mengatakan bahwa agenda politik perempuan melampaui agenda politik elektoral, meskipun menurutnya turut penting juga melihat momen politik di tahun 2019 dan 2020. Menurutnya, merefleksikan agenda politik perempuan harus dan penting dilakukan, sehingga ke depan gerakan perempuan mampu menyusun strategi agar isu keadilan gender bisa menjadi agenda gerakan sosial dan prioritas pemerintah. Ratna Batara Munti (JKP3) menyatakan bahwa setelah otonomi daerah mulai bermunculan peraturan daerah/perda diskriminatif yang menyasar tubuh perempuan dan kelompok minoritas seperti LGBT. “Apa yang terjadi di daerah ini juga tidak terlepas dari konteks nasional. RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) juga kencang ditolak,” ungkapnya. Menurut Ratna, gagal disahkannya kebijakan pro gender juga dipengaruhi oleh menguatnya radikalisme di Indonesia. Koordinator JKP3 itu melanjutkan, bahwa sosialisasi dan advokasi RUU PKS secara substantif terhambat sebab selalu diserang dengan fitnah dan hoax. “Di tahun 2020 ada semangat baru, kita berhasil memasukkan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Prolegnas. Perlu ada kerjasama lintas sektor termasuk menggerakan kelompok muda,” jelas Ratna. Menurutnya, ke depan masih ada harapan terkait kebijakan pro gender. Ia menyarankan agar gerakan perempuan berfokus pada hal-hal yang bersifat substansi seperti memperbaiki naskah akademis maupun pasal-pasal dalam RUU dan saling berkolaborasi. Yohana Tantria Wardani (Kalyanamitra) menyatakan bahwa kultur di masyarakat masih bias terhadap perempuan. Dari pengalaman pengorganisiran, pendampingan, dan advokasi perempuan di berbagai daerah, Kalayanmitra menemukan bahwa dalam kasus kekerasan seksual anak perempuan dan perempuan dari keluarga miskin, mereka kerap kali tidak mendapatkan pelayanan dan hak yang semestinya sebagai korban. “Di Kulonprogo, ada kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah perempuan dengan disabilitas, komunitas justru menikahkan paksa, korban tidak memiliki hak untuk bersuara,” ujarnya. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum harus berjalan lebih maju dalam melihat kompleksitas situasi perempuan korban. Dian Kartika (Koalisi Perempuan Indonesia) menyebutkan bahwa setelah 20 tahun reformasi Indonesia telah banyak kemajuan terkait kebijakan pro gender. Dian juga mengakui meski gerakan perempuan telah mencapai banyak hal tetapi juga kini semakin semakin besar tantangannya. Serupa dengan Ratna Batara Munti, Dian juga menyebutkan menguatnya radikalisme yang mendomestifikasi perempuan dan mengkriminalisasi kelompok minoritas adalah tantangan yang perlu dihadapi gerakan perempuan hari-hari ini. “Semua isu adalah isu perempuan adalah isu politik. Tidak banyak organisasi perempuan yang bekerja di isu sumber daya alam, padahal perubahan iklim berdampak pada semua bentuk kekerasan terhadap perempuan,” tutur Dian. Menurutnya, selain berfokus pada isu pemberdayaan perempuan, gerakan perempuan juga perlu terlibat pada isu arus utama seperti isu lingkungan dan pemerintahan. Isu pemerintahan yang perlu menjadi perhatian ialah soal ancaman pemilu kembali ke parlemen atau tidak lagi dipilih oleh raykat secara langsung. Ia mengungkapkan bila #ReformasiDikorupsi akan berdampak pada representasi, agenda politik, dan kehidupan perempuan. “Politik elektoral akan sebatas politik transaksional, izin tambang dan privatisasi air akan marak terjadi, semuanya berdampak pada perempuan,” pungkasnya. Lebih jauh, Dinda Nur Annisaa Yura (Solidaritas Perempuan) memandang bahwa fundamentalisme agama dan pasar menjadi ancaman bagi kehidupan perempuan. Fundamentaslime agama mengontrol tubuh dan diri perempuan, sedangkan fundamentalisme pasar mengancam pengetahuan dan kehidupan perempuan. Menurut Dinda fundamentaslime pasar terjadi ketika argumen investasi selalu dijadikan satu-satunya jalan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang mana hal tersebut justru menghilangkan pengetahuan lokal, pengetahuan perempuan, dan kehidupan perempuan. “Solidaritas perempuan yang selama ini berkerja dan mendampingi perempuan miskin kota, nelayan, petani menemukan bahwa pengetahuan perempuan dalam mengolah benih, hutan, rumah, komunitas sanga luar biasa,” jelas Dinda. Lebih jauh, menurutnya solidaritas dan aksi kolektif perempuan hanya bisa terwujud bila ada pengharagaan terhadap keberagaman pengetahuan dan identitas. Ulfah Kasim (Kapal Perempuan) memaparkan bahwa di bidang pendidikan formal dan non-formal, perempuan masih tertinggal daripada laki-laki. “Masih ada ketimpangan akses pendidikan. Angka rata-rata lama sekolah perempuan 7,5 tahun, sedangkan laki-laki 8,4 tahun. Di pedesaan gap pendidikan anak perempuan dan laki-laki lebih besar,” jelas Ulfah. Ia melanjutkan bahwa wajah pendidikan Indonesia masih bias gender, terbukti dengan konten pembelajaran yang masih melanggengkan peran gender. Sedangkan menyoal pendidikan non-formal, menurut Ulfah hal ini mendapatkan ancaman dari radikalisme. Sebab, menurutnya Direktorat Paud dan Pendidikan masyarakat yang mengelola program pendidikan perempuan kini diganti menjadi pendidikan keluarga. Konten pendidikan keluarga tersebut melanggengkan ketimpangan gender dan hanya memuat pola pengasuhan anak secara islam. Kanza Vina (Sanggar Swara) menuturkan pentingnya aksi kolaboratif antar gerakan perempuan untuk mewujudkan agenda politik perempuan. Mewakili kelompok transpuan, Kanza menceritakan bahwa penggunaan isu LGBT untuk melemahkan gerakan perempuan oleh negara dan masyarakat berdampak serius pada kondisi hidup kelompok LGBT sendiri. “Dalam 5 tahun terakhir, isu LGBT digunakan untuk menutupi atau mengalihkan isu tertentu. Ini isu sendiri, bukan hanya bumbu, dibalik itu banyak teman2 yang mengalami kekerasan. Ada 1.800 lebih kekerasan terhadap LGBT di indonesia, mereka dipersekusi, diusir, dan kehilangan pekerjaan,” pungkasnya. Lebih jauh, Kanza menjelaskan bahwa narasi kebencian tersebut diadopsi negara melalui kebijakan dan perda yang secara eksplisit menyebutkan bahwa LGBT bentuk ancaman negara. Kanza mendorong gerakan perempuan juga turut melawan dan bergerak bersama untuk mewujudkan keadilan dan kemanusiaan yang adil bagi semua identitas. Mutiara Ika (Perempuan Marhadika) pada gilirannya menjelaskan bahwa logika investasi yang digadang-gadang pemerintah sesungguhnya tidak pernah sejalan dengan pemenuhan hak dan kesejahteraan pekerja, khususnya pekerja perempuan. Iklim investasi pro kapital yang dilegitimasi oleh negara menciptakan sistem kerja fleksibel, dimana perempuan banyak dipekerjakan secara kontrak dan borongan. Sehingga menurutnya, melawan patriarki ialah juga melawan oligarki. “Dalam 5 tahun terakhir kebijakan investasi kawasan industri terutama garmen itu sangat massif di daera luar Jakarta, misalnya semarang. Di Kendal dibangun kawasan industri utnuk menarik investasi, masyarakat yang sebelumnya bertani kehilangan tanahnya dan harus bergantung hidup dengan pabrik,” jelas Ika. Di tengah-tengah masifnya investasi, relokasi pabrik garmen ke areal lokasi yang memiliki upah minimum lebih rendah pun terjadi. Menurut Ika, ada fenomena pabrik-pabrik yang sebelumnya di Jakarta, Bekasi, Karawang kini pindah ke daerah jawa tengah demi menekan biaya upah untuk buruh. Atnike Nova Sigiro (Jurnal Perempuan) merefleksikan bahwa telah ada capaian penting dalam gerakan perempuan yakni terciptanya ruang publik bagi perempuan melalui berbagai UU pro perempuan seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Pemilu yang mengafirmasi keterwakilan perempuan di politik. Atnike menegaskan bahwa adanya perlindungan bagi perempuan di dalam rumah dan afirmasi perempuan di politik bukanlah hadiah dari negara melainkan perjuangan politik perempuan. Meskipun demikian, ia juga tidak menyangkal bahwa di level daerah perda diskriminatif juga menjamur. “Sudah ada semangat pengarusutamaan gender secara umum, namun semangat itu tidak berlanjut pada hal-hal yang lebih positif sekarang, tapi justru kontradiktif khususnya di daerah. Ancaman di nasional misalnya RKUHP itu juga menjadi catatan,” jelasnya. Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut mengatakan bahwa negara memiliki peran dalam membiarkan keberlangsungan radikalisme—yang berusaha menghancurkan nilai-nilai kesetaraan dan keberagaman. Pembiaran negara juga terlihat dari banyaknya kasus kriminalisasi kelompok minoritas, masyarakat adat, aktivis lingkungan, petani dan pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan. Menurutnya, ada suasana yang dibangun di tengah-tengah masyarakat bahwa musuh gerakan perempuan dan HAM adalah radikalisme, sementara publik lupa bahwa negara tidak pernah sungguh-sungguh melindungi dan menjalankan amanat reformasi. “Kita juga lupa mengkritik negara agar konsisten setelah reformasi dan menegakkan prinsip HAM dan kesetaraan gender di dalam konstitusi kita. Kedua prinsip tersebut tidak diterapkan dalam konteks investasi juga. Akhrinya pembangunan justru mengeksploitasi desa, sementara perputaran ekonomi tetap masif terjadi di Jawa. Kita perlu mengawal negara agar segera melaksanakan pekerjaan rumah mereka,” jelas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) Summit on Girls 2019: Memotret Peran Media di Indonesia Dalam Mempromosikan Kesetaraan Gender12/12/2019
“Dalam penelitian Rewrite Her Story Plan Internasional pada tahun 2018 yang melibatkan 10.000 anak perempuan di 20 negara ditemukan bahwa perempuan masih termarginalkan perannya dalam media. Hal ini memengaruhi cara bertutur mereka di media audio visual termasuk bagaimana perempuan digambarkan di media,” ujar Nazla, Influencing Director Plan Indonesia. Nazla melanjutkan bahwa dari penelitian lain terkait representasi perempuan di dalam film, ditemukan bahwa film-film paling populer di dunia mengirimkan pesan kepada anak perempuan dan perempuan muda bahwa kepemimpinan lebih banyak untuk laki-laki. Pemimpin perempuan dalam film-film layar lebar--baik itu sebagai presiden, CEO atau pemilik bisnis--jauh lebih mungkin digambarkan sebagai objek seks yang ditampilkan dalam pakaian terbuka atau bahkan telanjang. Riset tersebut juga menemukan karakter pemimpin perempuan di dalam film yang diperlakukan tidak sebaik karakter laki-laki dan narasi cerita yang masih didominasi laki-laki. Paparan Nazla tersebut mengawali diskusi paralel bertema “The Media Darlings” dalam rangkaian kegiatan Summit on Girls 2019 yang diselenggarakan Yayasan Plan Indonesia (10/12/2019) di Balai Kartini. Diskusi tersebut tersebut juga menghadirkan Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, Dr. Atnike Nova Sigiro, Fitria Sofyani (Chief of Kumparan Woman), Rachel Amanda (Youth Advisory Panel UNFPA & Aktris), Arief Suditomo (Deputy CEO Metro TV) sebagai pembicara. Nazla melanjutkan bahwa media memiliki peran besar bagi anak khususnya anak perempuan, sebab melalui film anak dapat melihat karakter positif yang dapat menginspirasi mereka. Untuk itu menurutnya perempuan perlu menuliskan kisah-kisah anak perempuan dari sudut pandang mereka sendiri. Menanggapi hal tersebut, Atnike Nova Sigiro menyampaikan dalam konteks Indonesia bahwa film layar lebar yang ditayangkan di bioskop yang hanya bisa diakses kalangan tertentu. Di sisi lain, perempuan dan anak perempuan dari kelas menengah bawah mengonsumsi tayangan sinetron di televisi yang menggambarkan perempuan perempuan sebagai objek, perempuan tidak berdaya, perempuan sebagai korban. Lebih jauh, menurut Atnike, dalam membahas media dan ketimpangan gender, khususnya diskriminasi terhadap anak perempuan, tidak cukup hanya bicara soal film atau sinetron. Iklan di televisi pun pada umumnya mengobjektifikasi tubuh perempuan. “Kebanyakan iklan yang diperankan oleh perempuan menampilkan perempuan cantik namun sesuai dengan mitos kecantikan,” ujar Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan itu. Selain film dan iklan, berita di media massa maupun daring pun belum berpihak pada suara perempuan, anak perempuan, dan korban. “Judul berita seringkali dibuat bombastis dan sensasional namun tidak sesuai dengan isinya,” lanjut Atnike. Menurutnya media seharusnya memproduksi hal-hal yang mendukung keseteraan bukan malah menyerah pada kompetisi pasar yang cenderung bias gender. Menurutnya harus ada kehendak dari media untuk memproduksi konten yang mendukung kesetaraan dan pendidikan bagi media tentang kesetaraan gender. Hal senada disampaikan oleh Rachel Amanda yang akrab dipanggil Manda. Ia menuturkan bahwa dalam dunia film, yang memiliki kuasa untuk menentukan cerita adalah produser dan sutradara, yang mana masih didominasi laki-laki. Pelaku film yang tertarik untuk mengangkat isu perempuan masih sedikit karena indsutrinya masih mengikuti selera pasar. Fitria dari Kumparan mengutarakan bahwa di industri media tempat ia bekerja memiliki komitmen untuk menyampaikan berita yang mengutamakan substansi, meskipun menurutnya masih banyak tantangan yang ditemui. Di Kumparan, dari 11 kanal hanya terdapat 4 editor perempuan. Fitria menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengelola media yang mendukung kesetaraan gender. Dari ratusan jurnalis yang dikelola, masih sangat sedikit yang paham isu gender. Secara internal juga sudah ada aturan (guideline) untuk isu perempuan dan anak, hanya saja isu spesifik anak memang belum digarap. Fitria mengungkapkan dari pengalamannya bekerja di media daring, memang masih banyak yang belum memahami perspektif gender. Maka tidak mengejutkan jika banyak berita dengan judul dan isi yang tidak mendukung kesetaraan. Menurut Fitria perspektif gender harus dibangun sejak awal kepada tim redaksi atau jurnalis. “Tantangan dari luar kadang muncul dari pembaca yang mematahkan semangat penulis melalui komentar, bahkanketika penulis menuliskan berita atau artikel yang menginspirasi sekalipun. Saya berharap ke depan ada mekanisme umpan balik dari netizen, untuk memberikan tanggapan yang sehat agar konten yang menginspirasi dapat terus diproduksi,” pesan Fitria. Arief Suditomo, Deputy CEO Metro TV, menyampaikan bahwa sensitivitas gender di media perlu terus dikawal oleh pembaca maupun pemirsa. Di media tempatnya bekerja sendiri tidak ada formula atau aturan spesifik untuk menuliskan pemberitaan yang adil gender, tetapi sumber daya manusia (SDM) sudah memiliki sensitivitas tersebut sehingga dapat saling mengoreksi satu sama lain. “Dalam konteks industri media yang tergantung pada selera pasar, revenue dan rating merupakan target dari setiap media dan kadang yang terjadi adalah seberapa jauh satu media rela berkorban demi menghasilkan berita yang berkualitas,” ungkap Arief. Iaoptimis bahwa masih ada harapan untuk siaran televisi berita untuk dapat menjadi media yang menginspirasi. Siaran televisi berita sebab mampu memotret kondisi sosial sebagai referensi atau potret riil situasi sosial di masyarakat,tidak seperti sinetron yang sekadar menunjukkan fantasi. Summit on Girls adalah bagian dari kampanye Girls Get Equal yang diluncurkan Plan Internasional pada tahun 2018. Girls Get Equal sendiri adalah kampanye perubahan sosial yang dipimpin oleh anak muda. Pesan utama gerakan kampanye tersebut bertujuan memastikan setiap anak perempuan dan perempuan muda memiliki kuasa terhadap hidupnya dan bisa mempengaruhi dunia di sekitarnya. Dengan tajuk Getting Equal: Let’s Invest in Girls, Summit on Girls tahun 2019 bertujuan untuk memfasilitasi dialog antara figur pemimpin, tokokh berpengaruh, pegiat kesetaraan gender, anggota komunitas, cendekiawan dan kaum muda dari berbagai latar belakang untuk saling menginspirasi dan memberdayakan diri mereka sendiri demi terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia. Tema Invest in Girls diangkat karena investasi pada anak perempuan dapat memperluas akses mereka pada pendidikan dan lapangan pekerjaan yang beragam. Dalam acara ini berbagai sesi diskusi paralel diselenggarakan dengan topik yang beragam mulai dari isu politik dan kepemimpinan perempuan, perempuan dan pekerjaan, aktivisme di era digital, perempuan dan media, perubahan iklim dan membongkar stereotipe. Masing-masing sesi diisi oleh pakar dan pegiat yang mendalami isu di bidang tersebut. (Dewi Komalasari) Plan Indonesia adalah sebuah organisasi kemanusiaan berskala global yang memperjuangkan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Saat ini Plan bekerjasama dengan 71 negara di dunia. Sejak tahun 1969 Plan Indonesia sudah beroperasi di Indonesia, saat ini Plan telah mensponsori lebih dari 35.000 anak dari kelompok marginal. Jakarta (10/12), sebagai bentuk komitmen dalam kampanye Girls Get Equal dan dalam rangka perayaan ulang tahun Plan Indonesia yang ke-50, Plan Indonesia menyelenggarakan Forum yang mengusung tema Getting Equal: Let’s Invest in Girls! ini mendiskusikan pentingnya investasi untuk anak dan kaum muda perempuan selain untuk membangun kesetaraan gender, juga untuk pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Kegiatan ini diselnggarakan di Balai Sarbini. Prof. Fasli Jalal selaku Dewan Pembina Plan Indonesia dalam sambutannya menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan konsistensi dalam upaya mendorong pemenuhan hak anak perempuan lewat regulasi dan kebijakan. Hal ini ditunjukkan melalui bagaimana Konvensi Perlindungan Anak dan CEDAW telah mendapat tempat dalam Undang-Undang namun demikian capaian yang didapatkan belum begitu baik. “Kita sadar bahwa kita perlu melakukan investasi pada perempuan karena faktanya capaian kita belum seperti yang kita harapkan. Satu dari tiga anak kita masih stunting, angka kematian bayi masih mencemaskan, tingkat AKI masih cukup memilukan karena kita belum berhasil menurunkan angkanya secara signifikan, begitu juga dalam hal pendidikan, akses anak pada pendidikan di Indonesia telah membaik tetapi mutu dan keterlibatan perempuan dalam kelembagaan juga kurikulum masih perlu ditingkatkan” ungkap Fasli Djalal, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional. Menurut Prof. Fasli Jalal tidak ada jalan lain selain memberikan perhatian dan investasi perempuan agar keterlibatan perempuan meningkat dalam pendidikan dan dunia kerja. Sejalan dengan itu, wakil menteri keuangan Suahasil Nazara juga mengungkapkan bahwa negara akan kehilangan potensi terbesarnya jika gagal memberdayakan perempuan termasuk anak perempuan. “Terdapat stereotipe mengenai keterlibatan perempuan di berbagai sektor yang sering tidak dianggap sebagai inti utama. Kampanye Getting Equal: Let’s invest in Girls ini baik untuk digaungkan kepada seluruh pembuat kebijakan dari seluruh kementerian, para pemerhati pembangunan dan seluruh lapisan masyarakat,” ungkap Suahasil Nazara. Laporan McKinsey pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kesetaraan gender dapat meningkatkan potensi produk domestik bruto (PDB). Di Indonesia, PDB tahunan berpotensi meningkat hingga 135 miliar USD pada 2025 dengan tercapainya kesetaraan gender. Namun saat ini, Indonesia berada di peringkat 116 dari 189 negara dalam Gender Inequality Index UNDP. Peringkat ini lebih rendah dari negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan Thailand. Tiga indikator dalam indeks ini termasuk pembangunan SDM, pemberdayaan perempuan, dan partisipasi dalam lapangan pekerjaan formal. Dalam pidato kuncinya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang diwakili oleh Deputi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ghafur Dharmaputra menunjukkan bahwa pelibatan perempuan di berbagai sektor penting untuk dilakukan. “Dengan melibatkan semakin banyak perempuan di berbagai bidang, Indonesia akan semakin maju dan sama dengan negara-negara maju lainnya. Inilah peran kita bersama, pemangku kepentingan, lembaga dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan hal tersebut” tandas Ghafur. Mendorong keterlibatan perempuan menjadi penting sebab adalah bagian dari pemenuhan SDGs. Menurut Ghafur ada 5 target SDGs yang terkait kesetaraan gender, tujuannya adalah memanusiakan manusia dengan prinsip “no one left behind dan inclusive”. Oleh karena itu kerja sama antara negara, swasta, ngo, akademisi, media, tokoh masyarakat perlu dilakukan untuk memastikan tujuan tersebut tercapai. Dalam forum ini berbagai tantangan dan rekomendasi diperbicangkan. Kegiatan ini melibatkan sekitar 500 peserta dan lebih dari 40 pembicara yang merupakan anak dan kaum muda, serta 14 mitra institusi. Terdapat enam topik pilihan diskusi, yaitu perempuan muda di bidang politik, sains dan teknologi, dunia kerja, dunia digital, industri kreatif dan media, serta perubahan iklim. Summit on Girls 2019 juga dihadiri oleh Nahar - Deputi Perlindungan Anak yang mewakili Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dr. Ir. Subandi, M. Sc - Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat & Kebudayaan BAPPENAS, Fauziah - Direktur Bina Instruktur dan Tenaga Kepelatihan yang mewakili Menteri Tenaga Kerja, dan Sumiyati - Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Beberapa pembicara utama yang terlibat diantaranya Prof. DR. Fasli Jalal – Dewan Pembina Yayasan Plan International Indonesia; H.E. Cameron MacKay - Duta Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste; Suci Apriani – Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa dari Lombok Barat; Hannah Al-Rashid aktor dan aktivis kesetaraan gender; serta Suzy Hutomo pendiri dan Chairperson Body Shop Indonesia, NGO pemerhati anak dan perempuan (Abby Gina). |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |