Pandemi Covid-19 dapat dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam “Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia”--yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020 melibatkan 1.638 responden menyimpulkan perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam masyarakat. Hal ini disampaikan Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Maulani Rotinsulu dalam Diskusi Kelompok Terbatas bersama media (16/10).
Hasil asesmen cepat itu juga menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG). “Perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah dengan berbagai dampak dari pandemi,” ujar Maulani. Kelompok ragam disabilitas yang paling rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual. Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender (KBG) sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari usia anak, remaja, hingga dewasa. “Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban mengadukan kasusnya,” ungkap Maulani. Menurut Maulani, banyak korban tidak berani mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab kebutuhan perempuan disabilitas. Selama ini penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti, tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi lain yang terkait. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas, dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah satu kelompok rentan. (Dewi Komalasari) Plan Internasional Indonesia: Anak Perempuan Harus Terbebas Dari Kekerasan di Dunia Online9/10/2020
Jumat (09/10), dalam rangka merayakan Hari Anak Perempuan Internasional, Plan Internasional Indonesia menyelenggarakan webinar dengan mengangkat tema “Freedom Online: Kebebasan Berekspresi dan Terbebas dari Kekerasan Online”. Tema yang diangkat merupakan respons Plan Internasional Indonesia atas banyaknya kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang dialami anak perempuan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dalam sambutannya, Dini Widiastuti (Executive Director Plan Internasional Indonesia) menyampaikan bahwa #FreedomOnline merupakan tema yang dipilihan untuk program Girls Take Over tahun 2020. Menurutnya, tema tersebut dipilih guna membantu anak perempuan untuk terhindar dari kekerasan online, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan secara maksimal dan tanpa hambatan. “Kami di Plan bukan hanya bicara soal pemenuhan hak anak, tapi juga kesetaraan. Anak perempuan adalah kelompok marginal, terlebih lagi karena identitasnya sebagai anak dan sebagai perempuan,” ungkap Dini. Dini melanjutkan bahwa di masa pandemi COVID-19 ini, tema #FreedomOnline sangat relevan, mengingat segala aktivitas dilakukan secara daring termasuk sekolah. Menurutnya, penting menciptakan ruang digital yang aman bagi anak dan mendukung kesetaraan gender. “Besar sekali persentase anak-anak perempuan yang mengalami bullying dan pelecehan di dunia online. Kita perlu perhatikan hal ini dan menambahkan pengetahuan ini kepada anak-anak,” pungkas Dini. Dalam webinar ini, Nazla Mariza (Influencing Director Yayasan Plan Internasional Indonesia) menyampaikan hasil penelitian yang disusun Plan Internasional terkait kekerasan di dunia online yang dialami anak perempuan. The State of The World’s Girls Report tahun 2020, mendokumentasikan berbagai temuan penting terkait kekerasan online yang dihadapi 14.000 anak perempuan di 31 negara di seluruh dunia. Di Indonesia, ada 500 anak dan perempuan muda yang terlibat sebagai responden penelitian tersebut. Nazla menyampaikan bahwa secara global, (1) lebih dari setengah anak perempuan yang menjadi responden pernah mengalami kekerasan atau pelecehan di dunia online; (2) satu dari empat anak perempuan yang mengalami pelecehan online merasa tidak aman secara fisik; (3) pelecehan di dunia online membungkam anak perempuan; (4) ada serangan kepada identitasnya sebagai anak perempuan dan terhadap konten yang mereka angkat. “Di Indonesia, hasil riset menunjukkan bahwa 32% responden pernah mengalami KBGO, sedangkan 56% pernah mengetahui atau melihat KBGO,” jelas Nazla. Lebih jauh, data riset menunjukkan bahwa perempuan yang berusia 15-20 tahun merupakan kelompok paling rentan alami KBGO. Tiga platform komunikasi online yang paling banyak menjadi medium KBGO adalah, Facebook, WhatsApp, Instagram. Nazla juga mencatat, ada korelasi antara pengetahuan responden tentang KBGO dengan kemampuan mereka mengidentifikasi pengalaman KBGO. “Mayoritas anak yang menjawab tidak tahu definisi KBGO, akan menjawab tidak pernah mengalami KBGO, dengan demikian saya kira pada praktiknya KBGO lebih banyak daripada data yang kita temukan,” jelas Nazla. Bentuk-bentuk KBGO yang mayoritas dialami anak dan kaum muda perempuan antara lain, ancaman kekerasan seksual (96%), bullying (43%), stalking (42%), body shaming (27%). Menurut Nazla, KBGO ini sangat berdampak serius pada kesehatan mental dan rasa percaya diri anak perempuan. Terlebih lagi, 56% pelaku kekerasan adalah orang yang dikenal seperti teman di sekolah. “Dampaknya anak perempuan kerap merasa rendah diri, kehilangan percaya diri, tidak aman secara fisik, menjauhi temannya, stres mental dan emosional, cenderung mengisolasi diri, pindah sekolah,” jelas Nazla. Dalam kesempatan tersebut, Nazla juga menyebutkan beberapa rekomendasi kunci Plan Internasional Indonesia untuk perusahaan media sosial, pemerintah, dan komunitas dalam rangka menciptakan ruang aman bagi anak perempuan di dunia online. Ia menyebutkan bahwa perusahaan media sosial harus menangani kasus KBGO secara serius dengan membuat mekanisme pelaporan yang lebih tegas. Lebih jauh, Nazla mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan akses internet yang inklusif dan aman. Pemerintah juga harus memastikan tanggung jawab perusahaan media sosial dan platform pihak ketiga. Keberpihakan pada anak dan kaum muda perempuan yang menjadi korban juga sangat penting dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah juga diharapkan dapat membuat regulasi yang efektif dan memberikan pelatihan bagi aparat penegak hukum terkait penanganan KBGO yang sensitif pada anak dan kaum muda perempuan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa komunitas dan lingkungan sekitar harus berperan dalam menciptakan ruang aman yang mendukung kemajuan anak perempuan. “Pengguna internet adalah mayoirtas kaum muda. Seharusnya media sosial, yang menjadi saluran utama kaum muda berinteraksi, berdiskusi, dan memengaruhi opini, maka publik harus menjadikan ruang digital sebagai wadah yang positif dan aman,” ungkap Nazla. Dalam acara ini juga diperkenalkan 5 anak perempuan yang dinyatakan terpilih sebagai peserta program “Girls Take Over: Sehari Jadi Pemimpin” tahun 2020. Kelima anak perempuan ini ialah Devie (Maluku Utara), Fayanna (Jawa Barat), Patrichia (Papua), Phylia (Nusa Tenggara Timur), Salwa (Kalimantan Timur). Forum ini juga menjadi ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman menjadi pemimpin dalam sehari kepada para peserta webinar dan anak perempuan di Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Gerakan 1000 Serbet PRT: Mendesak DPR Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Perlindungan PRT5/10/2020
Jakarta, Minggu (4/10) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang lebih dikenal dengan sebutan JALA-PRT mengadakan kegiatan aksi Gerakan 1000 Serbet PRT. Kegiatan yang dilakukan secara virtual melalui platform digital Zoom tersebut diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan mulai dari aktivis perempuan, tokoh agama, akademisi, jurnalis media, buruh dan perwakilan PRT di berbagai daerah dan juga PRT migran di luar negeri (Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Taiwan). Gerakan 1000 Serbet ini merupakan rangkaian dari kegiatan advokasi untuk mendesak agar DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan juga mengesahkannya sebagai RUU Inisiatif DPR. Selain konferensi pers dan aksi kampanye secara virtual, JALA-PRT juga mengirimkan surat terbuka berisi dukungan 179 organisasi dan 1636 individu kepada DPR, melakukan diskusi dengan tokoh-tokoh lintas agama dan sebagai puncaknya akan mengirimkan 9 serbet kepada DPR menjelang paripurna mendatang. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah terkatung-katung cukup lama. Tidak kurang dari tiga periode dewan telah berlalu sejak RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional. Namun setelah 16 tahun, pembahasan tidak kunjung berlanjut dan seolah digantung tanpa ada kejelasan kapan akan dibahas kembali. Pada periode dewan yang lalu, RUU PRT sudah melalui pembahasan di badan legislasi dan hanya perlu didorong untuk dibawa ke paripurna untuk kemudian menuggu penjadwalan di badan musyawarah. Namun tahapan tersebut tidak pernah terjadi. Koordinator JALA-PRT, Lita Anggraini mengakui bahwa RUU PPRT sarat dengan konflik kepentingan dari pembahas--sebagai pihak pemberi kerja--yang khawatir kehadiran RUU PPRT akan mengubah relasi antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja yang sudah ajeg selama ini (status quo). “Selama ini banyak isu yang beredar mengenai substansi RUU PPRT, seperti bahwa dalam RUU, nantinya PRT hanya mau mengerjakan satu pekerjaan, atau bahwa PRT menuntut upah yang disamakan dengan UMR,” ujar Lita. Menurutnya hal-hal semacam itu perlu diluruskan. RUU PPRT yang didorong kelompok masyarakat sipil bermaksud agar ada payung hukum yang menjadi dasar pengakuan terhadap profesi pekerja rumah tangga. Dengan demikian pekerja rumah tangga baik domestik dan migran, yang jumlahnya mencapai lima juta orang dan sebagian besarnya adalah perempuan, terlindungi secara hukum. “RUU PPRT ini nantinya tidak hanya akan melindungi lima juta pekerja rumah tangga, tetapi juga memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi kerja,” Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) menambahkan. Lena yang pernah menjabat sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu pada periode lalu juga mengimbau kepada rekan-rekannya anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR. Lena menyampaikan bahwa peran PRT tidak hanya membantu perempuan dan laki-laki dalam pekerja domestik mereka, tetapi juga turut berkontribusi dalam membantu pertumbuhan ekonomi. Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Umum KOWANI Giwo Rubianto dalam pernyataan dukungannya. “Kami memohon dengan sangat kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam rapat paripurna terdekat. RUU PPRT sebagai bentuk perlindungan negara tidak hanya terhadap PRT tetapi juga pemberi kerja,” ujar Giwo. KOWANI--yang banyak anggotanya merupakan pihak pemberi kerja--selama ini turut aktif menyuarakan perlunya kehadiran RUU PPRT. Dalam tuntutannya, perwakilan PRT yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja rumah tangga maupun organisasi pekerja rumah tangga di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Semarang, DIY, dan DKI Jakarta menyampaikan permohonannya agar DPR segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna mendatang. Dukungan untuk disahkannya RUU PPRT datang dari berbagai organisasi PRT migran yang berada di luar negeri. Persatuan Pekerja Rumah Tangga Migran (PERTIMIG) di Malaysia menyampaikan bahwa selama ini PRT migran menjadi korban TPP dan bentuk kekerasan maupun pelanggaran hak pekerja lainnya. “Perlindungan terhadap PRT migran dimulai dari perlidungan terhadap PRT di dalam negeri,” demikian disampaikan Erma Wati dari PERTIMIG. Hal senada juga disampaikan Komunitas Pekerja Migran yang berada di Taiwan (GANAS). Fajar dari GANAS Taiwan menyampaikan bahwa selama ini belum ada payung hukum terhadap PRT di negara penempatan, karena itu RUU PPRT penting untuk perlindungan terhadap PRT domestik dan migran. “Negara jangan hanya berteriak ‘negara hadir’ jika hanya untuk kepentingan devisa yang diperoleh dari PRT migran. Negara juga harus hadir memberi perlindungan kepada PRT migran. Bagaimana bisa melindungi PRT migran jika di dalam negeri saja tidak ada perlindungan hukum terhadap PRT,” ujar Fajar. (Dewi Komalasari) Perjalanan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) sudah terkatung-katung hampir lima tahun sejak masuk Prioritas Prolegnas Tahun 2016-2019 dan masuk kembali menjadi Prioritas Prolegnas DPR RI 2020-2024. Namun pada 2 Juli 2020, Badan Legislasi DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari dari Prolegnas Prioritas 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI selaku pembahas RUU P-KS selama ini. Sehingga proses advokasi dan pengawalan RUU P-KS ini harus dimulai lagi agar RUU ini masuk kembali ke dalam daftar Prioritas Prolegnas Tahun 2021.
Keputusan DPR menuai reaksi kekecewaan dari korban, keluarga korban, pendamping dan masyarakat pemerhati hak-hak perempuan korban kekerasan seksual.Karena RUU P-KS menjadi harapan yang tertinggi dari masyarakat agar menjadi solusi dari persoalan kekerasan seksual yang selama ini terus terjadi dan membuat setiap orang berpotensi menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual. Hal lain yang membuat RUU P-KS mendesak untuk segera diproses dan disahkan adalah meningkatnya data kasus kekerasan seksual di Indonesia. Data Komnas Perempuan mencatat 406,178 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2019, dimana kasus Kekerasan Seksual di ranah publik 2521 kasus dan di ranah privat 2988 kasus. Kekerasan seksual juga di alami oleh perempuan dengan disabilitas, anak, lansia dan perempuan dengan HIV/AIDS. Data Forum Pengada Layanan (FPL) tahun 2020 yang dihimpun dari 25 organisai lembaga layanan, menyatakan bahwa selama pandemi Covid-19, terdapat 340 kasus kekerasan seksual. Hari ini kekerasan seksual juga semakin beragam modusnya, sehingga kebijakan dan aturan hukum yang ada saat ini tidak mampu menjawab dan memenuhi rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dampaknya 10 % kasus kekerasan seksual tidak bisa diproses hukum. Sembilan bentuk kekerasan seksual belum semuanya dikenali dalam KUHP dan UU lainnya. KUHAP belum mengatur secara khusus hak perlindungan korban dan pembuktian masih menjadi beban korban yang telah terpuruk karena tindakan kekerasan yang dialami. Praktik budaya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual yang berdampak pada reviktimisasi korban dan melangengkan praktik kekerasan seksual masih terjadi di Indonesia (seperti Papua, NTT dan Sulawesi). Kondisi ini tidak dapat di ubah jika kebijakan nasional tidak mengintervensi. Untuk mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan, pemulihan, dan penanganan, kami mendorong DPR RI untuk membahas RUU P-KS agar kembali menjadi Undang-Undang prioritas pada PROLEGNAS 2021 yang harus di bahas dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 9 Oktober 2020 mendatang. Untuk itu Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU P-KS :
Jakarta, 1 Oktober 2020 Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Lembaga
Individu
Narahubung Fathurozi +6281325693404 Venni Siregar +6283893445587 Khotimun Susanti +6281212210141 Rena Herdiyani +628129820 Mike Verawati +6281332929509 Kamis (1/10), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke Prolegnas Prioritas 2021--yang akan dibahas pada Oktober ini. Dalam penyampaian seruan tersebut masing-masing perwakilan masyarakat sipil memaparkan fakta persoalan kekerasan seksual dan mendesak pembahasan RUU ini di DPR.
Hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu karena berbagai kendala dalam sistem hukum, baik substansi, struktur, dan budaya hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual. Sistem pencegahan, penanganan, dan ketersediaan layanan dukungan lainnya belum optimal melindungi perempuan dan kelompok yang rentan menjadi korban karena tidak ada payung hukum yang memadai. Di sisi lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 DPR-RI. Hal inimenimbulkan kekecewaan bagi masyarakat sipil karena makin tertundanya payung hukum yang sangat dibutuhkan korban. Fauzi (perwakilan Forum Pengada Layanan/FPL) menyatakan bahwa RUU PKS penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Fauzi menambahkan, berdasarkan Catatan FPL tahun 2017-2020 dari 5167 Kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima FPL, sekitar 2000 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 9 jenis kekerasan yang telah dirumuskan dalam RUU PKS--yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual-- dialami oleh kelompok perempuan. “Hingga saat ini para korban sulit mendapatkan keadilan dan tidak jarang di antara mereka (para korban) malah dipersekusi, distigma, didenda, dan dikriminalisasi,” pungkas Fauzi. Revita Alvi (Sekretaris HWDI Nasional), memparkan berbagai bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pemaksaan kontrasepsi yang dialami kelompok disabilitas. “Kelompok difabel tidak mendapatkan perlindungan hukum, saat ini akses layanan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas masih sangat terbatas, ini yang membuat semakin lemahnya perlindungan hukum bagi mereka,” jelasnya. Haryanto (perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI) menyatakan bahwa RUU PKS sangat dibutuhkan perempuan PRT migran dan perlu dijadikan prioritas legislasi saat ini. Dari hasil pemetaan SBMI, Haryanto menjelaskan bahwa ada 3 kluster kekerasan seksual yang dialami oleh PRT migran, yakni kekerasan sebelum keberangkatan, saat bekerja, dan saat kembali ke negara asal. Menurut Haryanto, PRT migran yang mayoritas adalah perempuan ini mengalami beragam bentuk kekerasan saat pengurusan dokumen dan di bandara. Lebih jauh, berdasarkan data dampingan SBMI masih terjadi kekerasan fisik dan seksual seperti perkosaan--baik oleh majikan maupun warga negara asing di tempat kerja PRT migran. Tragisnya korban perkosaan justru mendapatkan stigma dari keluarga, petugas desa, dan masyarakatt. Saat kembali ke negara asal perempuan PRT migran juga sering mengalami kekerasan di perjalanan. “Oleh sebab itu SBMI melihat bahwa RUU PKS akan memberikan keadilan bagi korban, adanya perspektif penangan yang baik, adanya layanan khusus korban KS di luar negeri,” tutur Haryanto. Nur Khasanah (Perwakilan JALA PRT), menyatakan bahwa perempuan PRT juga banyak yang mengalami KS di tempat kerja--baik oleh majikan laki-laki dan anak laki-laki. “Banyak ditemui kasus bahwa kawan PRT mendapatkan pelecehan seksual dari majikan tetapi ia tidak berani mengadukan adanya relasi kuasa dan takut mengadukan karena tidak adanya saksi,” jelas Nur. Mery Christin (wakil Perempuan AMAN, Sulawesi Tengah), menyatakan bahwa penanganan kekerasan seksual di Sulawesi Tengah masih mengalami jalan buntu sebab penyelesaian kasus hanya pada tahap lembaga adat. Sementara menurutnya, penyelesaian adat tidak memberikan keadilan bagi korban. Tantangan lain yang dihadapi oleh kelompok Perempuan AMAN adalah keterhambatan untuk akses hukum dan informasi seputar kekerasan seksual. Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), melihat bahwa penting agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini segera dibahas dan disahkan sebab angka kekerasan seksual terus meningkat begitu juga modus kekerasannya yang terus berkembang. Dalam kesempatan tersebut Mike mengajak kita semua untuk membuat narasi tandingan bagi gagasan-gagasan yang menolak RUU ini. “Kehadiran RUU ini penting untuk menjamin rasa keamanan bagi semua,” tegas Mike. Fanda Puspitasari (wakil organisasi anak muda), menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja. Pada kelompok muda, kekerasan banyak terjadi di media sosial, salah satunya berupa komentar cabul. Fanda memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan tingkat cyber crime meningkat dari tahun 2018 -2019, yaitu 257 kasus kekerasan siberdi tahun 2019. Kekerasan berbasis siber adalah model baru yang belum memiliki penanganan yang jelas. Lebih jauh, Fanda memaparkan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi juga dialami kelompok muda. Namun sayangnya, relasi kuasa dan ketidakberpihakan kampus pada korban, membuat banyak kasus KS yang tidak direspons secara serius. “Persoalan lain yang banyak dihadapi oleh kalangan muda adalah kekerasan dalam pacaran. Melihat realitas yang ada maka kehadiran RUU PKS ini sangat penting bagi generasi muda,” tuturnya. Valentina Sagala (Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pendiri Institut Perempuan) mengatakan bahwa basis dari RUU ini adalah menuntut negara hadir untuk mencegah, mengatasi, dan memulihkan dampak kekerasan seksual, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian pengesahan RUU ini penting untuk menjamin keadilan bagi korban. Dalam kesempatan tersebut, seluruh perwakilan kelompok menyatakan desakannya agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan. Menurut kelompok jaringan, selama RUU ini tidak disahkan, maka pelanggaran HAM terutama bagi korban kekerasan seksual akan terus terjadi dan angka kasus akan terus meningkat. RUU ini penting untuk semua sebab tidak hanya perempuan yang bisa menjadi korban, tetapi juga anak laki-laki dan semua orang. (Abby Gina) Jumat (02/10) Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi dengan tema "Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam" via aplikasi zoom. Acara ini menghadirkan Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena), dan KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) sebagai pembicara dan Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia) sebagai moderator. Anna Margret, selaku Direktur CWI dalam pengantarnya menyampaikan bahwa RUU Ketahanan Keluarga telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk organsiasi masyarakat sipil, gerakan perempuan, dan pegiat HAM. Meski demikian, RUU Ketahanan Keluarga terus dibahas di legislatif. “Dalam RUU ini, pembangunan ketahanan keluarga dibutuhkan untuk menghindari kerentanan keluarga yang disusun dalam rencana induk pemerintah pusat. Artinya dalam konteks ini negara diposisikan sebagai penanggung jawab secara hierarkis terhadap tata kelola keluarga,” jelas Anna. Anna melanjutkan bahwa dalam sejumlah riset CWI sejak tahun 2017 tentang partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di ranah legislatif, pemerintahan daerah, dan birokrasi ada persamaan pola terkait keluarga. “Dari hasil wawancara dengan perempuan potensial di tiga ranah politik, kata ‘keluarga’ muncul sebagai sumber dukungan utama bagi perempuan, sementara lainnya merasa keluarga menjadi sumber tantangan dalam alokasi kerja domestik di dalam rumah,” jelas Anna. Dengan demikian menurut Anna, dinamika yang terjadi di dalam keluarga memengaruhi perempuan dalam keputusan-keputusannya di ruang publik. Sebagai sebuah lembaga riset yang bergerak di isu hak asasi perempuan dan politik, CWI melihat ada urgensi untuk mengupas tuntas urgensi RUU Ketahanan Keluarga ini dalam tiga perspektif yakni hukum, sejarah, dan islam. Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam paparannya menjelaskan secara detail persoalan pasal per pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga dengan lensa hukum kritis. Lensa tersebut memeriksa sekaligus menguji RUU tersebut dengan beberapa pertanyaan kritis yakni: Apa filosofi yang dipakai saat pembentukan suatu produk hukum? Apakah produk hukum mengakomodir prinsip-prinsip HAM? Bagaimana negara memposisikan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat (jenis kelamin, ras, gender, ekonomi, budaya)? Apakah peletakan posisi hukum merugikan kelompok tertentu? Apakah produk hukum mengakomodir pengalaman yang beragam? Implikasi apa yang akan dialami perempuan Indonesia jika RUU ini disahkan? Berangkat dari lensa hukum kritis, Lidwina Inge Nurtjahyo menemukan beberapa masalah dalam aspek pertimbangan. Pertama, RUU ini tidak merujuk pada peraturan sebelumnya tentang keluarga. Kedua, RUU ini tidak menyebutkan salah satu persoalan kerentanan keluarga yakni kekerasan domestik. Ketiga, RUU ini tidak merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang perlindungan HAM yang mengusung anti diskriminasi dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW. Pada pasal 1 butir 2 RUU Ketahanan Keluarga, menurut Inge ada kekeliruan logika bahasa hukum yakni dalam kata “perkawinan” dan “keluarga sedarah”. Menurut Inge, dalam konteks Indonesia, konsep ini tidak bisa diterapkan. Contohnya: 1) ketika seorang paman atau bibi yang mengasuh keponakannya dan menjadikannya keluarga; 2) banyak keluarga yang tidak lengkap (tidak terdiri dari ayah, ibu, dan anak). “Keragaman bentuk keluarga di Indonesia dinafikan dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, ada logika hukum yang locat,” jelas Inge. Pada pasal 1 butir 5, terdapat inkonsistensi konsep keluarga dan adanya penyempitan makna keluarga yang sudah disebutkan pasal 1 butir 2. Dalam butir 5 disebutkan bahwa keluarga berkualitas dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah. Inge mengkritisi teks tersebut, sebab menurutnya ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan sangat beragam di Indonesia, yakni negara, agama, dan adat. Lebih jauh, catatan kritis Inge yakni pada pasal 2 butir c yang menggunakan kata pencegahan sebagai asas. “Asas pencegahan adalah bahwa pembangunan ketahanan keluarga harus mengutamakan upaya pencegahan munculnya kerentanan keluarga. Hukum yang mengikat secara luas tidak boleh didasarkan pada asumsi,” jelas Dosen Fakultas Hukum UI tersebut. Pasal-pasal lainnya yang dikritik oleh Inge yakni: 1) Pasal 9 tentang pengaturan psikologis dan emosi yang tidak dikaitkan dengan UU Kesehatan, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak; 2) Konsep kemampuan anggota keluarga dalam pasal 9 yang hanya melingkupi perempuan, anak, dan lansia, tetapi tidak pada laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga. 3) Pasal 14 huruf c dinilai ambigu dan seharusnya ada pengaturan khusus terkait kekerasan seksual di ruang domestik secara umum. Lebih jauh menurutnya, guna membangun ketahanan keluarga diperlukan pendidikan hak reproduksi dan pendidikan anti kekerasan seksual. Namun sayangnya konsep-konsep tersebut tidak termuat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Menurut Inge, RUU tersebut juga terlalu ambisius mengatur semua hal termasuk menyoal data privasi keluarga yang memungkinkan dapat diakses pihak ketiga. Baginya, RUU tersebut bermasalah secara konseptual dan tidak mengakomodir keberagaman konteks kelaurga di Indonesia. Dalam simpulannya, Inge menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan pengaturan ke ranah privat atas dasar asumsi kerentanan keluarga karena justru akan melahirkan pelanggaran HAM. “Kalau ada pelanggaran HAM seperti KDRT ya negara boleh masuk,” tegas Inge. Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena) dalam pemaparannya menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga melanjutkan kembali ideologi pengibuan pasca orde baru. Menurutnya, kontrol negara terhadap keluarga dan tubuh perempuan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dunia maupun Indonesia. “Pengaturan keluarga erat kaitannya dengan kekuasaan politik,” tegas Ruth. Ruth menjelaskan bahwa kontrol negara terhadap keluarga bisa ditemukan dalam sejarah, khususnya di abad 20 pada masa fasisme Mussolini Italia dan Hitler di Jerman. Pada saat partai fasis tegak di italia, yang ditata paling pertama adalah keluarga--dengan menggunakan terminologi keluarga inti tradisional. Pada masa itu, perempuan dijadikan mesin untuk memperbanyak generasi baru partai fasis. Dengan memperbanyak populasi maka akan ada kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Pada masa itu negara juga membatasi pekerjaan perempuan dan dipaksa menikah cepat—jika pada umur tertentu perempuan belum menikah maka akan didenda. Tidak jauh berbeda dengan fasisme Italia, Ketika Hitler berkuasa di Jerman yang paling pertama ia lakukan adalah mempromosikan konsep keluarga tradisional, menerapkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Perempuan diharuskan melayani laki-laki dan memproduksi keturunan untuk mengamankan masa depan ras Arya. Ruth menambahkan bahwa militer Jepang juga memobilisasi keluarga pada masa penjajahan di Indonesia. Mereka menerapkan ideologi pengibuan di tanah jajahan dengan melakukan pembagian kerja seksual yang eksploitatif terhadap perempuan. Laki-laki Indonesia berperan menyiapkan logistik perang dan perempuan membuat pakaian tentara Jepang. Sedangkan perempuan yang berlum menikah dijadikan Jugun Ianfu (sistem perbudakan seksual masa penjajahan Jepang). Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan zaman penjajahan Jepang tersebut diadopsi oleh rezim otoritarian Orde Baru dalam rangka membangun kekuasaannya. Rezim Orde Baru melakukan depolitisasi partai politik dan organsiasi massa serta menata organisasi perempuan agar tidak aktif berpolitik. “Pada masa Orba perempuan diarahkan untuk mengatasi perkembangan populasi melalui program keluarga berencana dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS),” ungkapnya. Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan di masa fasisme Italia, fasisme Jerman, penjajahan Jepang, dan Orde Baru berakar pada mitos adam hawa sebagai asal mula penciptaan manusia--yang kemudian melahirkan ideologi patriarki. Menurut Ruth, RUU Ketahanan Keluarga adalah wujud nyata dari ideologi pengibuan yang meletakkan segala akar permasalahan keluarga pada perempuan bukan pada fakta adanya ketimpangan gender. Pada simpulannya, Ruth menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga: 1) sasarannya adalah mengontrol perempuan dalam praktik sebagai ibu untuk tugas-tugas pengasuhan; 2) tidak mengakui adanya sistem patriarki dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam keluarga, termasuk kekerasan terhadap perempuan; 3) adanya regulasi penataan keluarga/perempuan menunjukkan adanya gejala fasisme yang akan bertarung dalam kekuasaan negara; 4) keluarga tidak perlu menjadi regulasi negara, apalagi menjadikannya pengarustamaan dalam kebijakan. KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) dalam paparannya menjelaskan bahwa dalam konteks islam prinsip membangun ketahanan keluarga telah dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara umum, ia juga menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga juga menuai kritik dari para feminis muslim karena dinilai akan mengembalikan perempuan dalam ruang domestik. “Ada ideologi yang dipaksakan masuk di tengah-tengah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia dan dibangun atas dasar norma agama tertentu,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan tersebut. Menurut Imam Nahe’I ada penyimpitan makna keluarga, pembakuan tugas-tugas domestik, potensi kriminalisasi anggota keluarga dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam islam, keluarga tidak dimaknai secara sempit. Ia menceritakan bahwa di masa Nabi, warga anshor dan muhajirin bagaikan sebuah keluarga besar yang saling mewarisi. “Di dalam islam juga dikenal adopsi. Misalnya ada seseorang yang menemukan anak di jalan, lalu diambil sebagai keluarga. Ini bagian dari keluarga juga yang diakui dalam islam,” pungkasnya. Lebih jauh, Imam Nahe’I menjelaskan bahwa bangunan keluarga pada masa jahiliyah pra islam sangat diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan. Pada masa itu: 1) perempuan dipilih; 2) perempuan dipaksa dinikahkan; 3) dalam perkawinan perempuan mirip seorang budak, ia harus tunduk suami tanpa batas; 4) istri diceraikan dan dirujuk tanpa batas dan tanpa persetujuan; 5) perkawinan adalah bentuk eksploitasi kemerdekaan perempuan. “Sedangkan jika dilihat bangunan keluarga dalam perspektif islam, hal ini sangat jauh berbeda dan justru menjadikan pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh,” ungkap Imam Nahe’I. Pada masa setelah islam datang: 1) perempuan boleh memilih dan menentukan kapan dan dengan siapa menikah; 2) perempuan tidak boleh dipaksa menikah; 3) suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang adil/seimbang; 4) perceraian harus dengan alasan yang kuat dan rujuk harus dengan persetujuan istri; 5) perkawinan bertujuan membangun ketentraman jiwa dengan bekal cinta kasih, bebas dari perbudakaan, dan eksploitasi/kekerasan. “Islam mengubah relasi kuasa perkawinan menjadi relasi kesalingan dan keseimbangan. Islam mengubah tujuan perkawinan dari eksploitasi menjadi sakinah dengan bekal kasih sayang, bahagia membahagiakan,” jelas Imam. Dalam ajaran islam, sebuah perkawinan harus meletakkan pilar-pilar mu’asyarah bil ma’ruf, taradhin, tasyawurin, husnu at-tafahum, tasamuh dan meletakkan prinsip-prinsip al-’adalah, at-tawazun al-mubadalah. Imam Nahe’I menegaskan bahwa di dalam islam bukan hanya ridho laki-laki yang diutamakan tetapi justru ridho kedua belah pihak yakni laki-laki dan perempuan. “Dalam konteks Islam jika RUU Ketahanan Keluarga tidak menggunakan prinsip kebaikan, musyawarah, kesalingan, maka hanya akan melahirkan keluarga yang semu dan hakikatnya rapuh,” tutupnya. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |