Jumat (02/10) Cakra Wikara Indonesia (CWI) menyelenggarakan diskusi dengan tema "Membincangkan Urgensi RUU Ketahanan Keluarga dari Perspektif Hukum, Sejarah, dan Islam" via aplikasi zoom. Acara ini menghadirkan Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia), Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena), dan KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) sebagai pembicara dan Dirga Ardiansa (Cakra Wikara Indonesia) sebagai moderator. Anna Margret, selaku Direktur CWI dalam pengantarnya menyampaikan bahwa RUU Ketahanan Keluarga telah menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk organsiasi masyarakat sipil, gerakan perempuan, dan pegiat HAM. Meski demikian, RUU Ketahanan Keluarga terus dibahas di legislatif. “Dalam RUU ini, pembangunan ketahanan keluarga dibutuhkan untuk menghindari kerentanan keluarga yang disusun dalam rencana induk pemerintah pusat. Artinya dalam konteks ini negara diposisikan sebagai penanggung jawab secara hierarkis terhadap tata kelola keluarga,” jelas Anna. Anna melanjutkan bahwa dalam sejumlah riset CWI sejak tahun 2017 tentang partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan di ranah legislatif, pemerintahan daerah, dan birokrasi ada persamaan pola terkait keluarga. “Dari hasil wawancara dengan perempuan potensial di tiga ranah politik, kata ‘keluarga’ muncul sebagai sumber dukungan utama bagi perempuan, sementara lainnya merasa keluarga menjadi sumber tantangan dalam alokasi kerja domestik di dalam rumah,” jelas Anna. Dengan demikian menurut Anna, dinamika yang terjadi di dalam keluarga memengaruhi perempuan dalam keputusan-keputusannya di ruang publik. Sebagai sebuah lembaga riset yang bergerak di isu hak asasi perempuan dan politik, CWI melihat ada urgensi untuk mengupas tuntas urgensi RUU Ketahanan Keluarga ini dalam tiga perspektif yakni hukum, sejarah, dan islam. Lidwina Inge Nurtjahyo (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam paparannya menjelaskan secara detail persoalan pasal per pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga dengan lensa hukum kritis. Lensa tersebut memeriksa sekaligus menguji RUU tersebut dengan beberapa pertanyaan kritis yakni: Apa filosofi yang dipakai saat pembentukan suatu produk hukum? Apakah produk hukum mengakomodir prinsip-prinsip HAM? Bagaimana negara memposisikan perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat (jenis kelamin, ras, gender, ekonomi, budaya)? Apakah peletakan posisi hukum merugikan kelompok tertentu? Apakah produk hukum mengakomodir pengalaman yang beragam? Implikasi apa yang akan dialami perempuan Indonesia jika RUU ini disahkan? Berangkat dari lensa hukum kritis, Lidwina Inge Nurtjahyo menemukan beberapa masalah dalam aspek pertimbangan. Pertama, RUU ini tidak merujuk pada peraturan sebelumnya tentang keluarga. Kedua, RUU ini tidak menyebutkan salah satu persoalan kerentanan keluarga yakni kekerasan domestik. Ketiga, RUU ini tidak merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang perlindungan HAM yang mengusung anti diskriminasi dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi CEDAW. Pada pasal 1 butir 2 RUU Ketahanan Keluarga, menurut Inge ada kekeliruan logika bahasa hukum yakni dalam kata “perkawinan” dan “keluarga sedarah”. Menurut Inge, dalam konteks Indonesia, konsep ini tidak bisa diterapkan. Contohnya: 1) ketika seorang paman atau bibi yang mengasuh keponakannya dan menjadikannya keluarga; 2) banyak keluarga yang tidak lengkap (tidak terdiri dari ayah, ibu, dan anak). “Keragaman bentuk keluarga di Indonesia dinafikan dalam RUU Ketahanan Keluarga ini, ada logika hukum yang locat,” jelas Inge. Pada pasal 1 butir 5, terdapat inkonsistensi konsep keluarga dan adanya penyempitan makna keluarga yang sudah disebutkan pasal 1 butir 2. Dalam butir 5 disebutkan bahwa keluarga berkualitas dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah. Inge mengkritisi teks tersebut, sebab menurutnya ukuran sah atau tidaknya sebuah perkawinan sangat beragam di Indonesia, yakni negara, agama, dan adat. Lebih jauh, catatan kritis Inge yakni pada pasal 2 butir c yang menggunakan kata pencegahan sebagai asas. “Asas pencegahan adalah bahwa pembangunan ketahanan keluarga harus mengutamakan upaya pencegahan munculnya kerentanan keluarga. Hukum yang mengikat secara luas tidak boleh didasarkan pada asumsi,” jelas Dosen Fakultas Hukum UI tersebut. Pasal-pasal lainnya yang dikritik oleh Inge yakni: 1) Pasal 9 tentang pengaturan psikologis dan emosi yang tidak dikaitkan dengan UU Kesehatan, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak; 2) Konsep kemampuan anggota keluarga dalam pasal 9 yang hanya melingkupi perempuan, anak, dan lansia, tetapi tidak pada laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga. 3) Pasal 14 huruf c dinilai ambigu dan seharusnya ada pengaturan khusus terkait kekerasan seksual di ruang domestik secara umum. Lebih jauh menurutnya, guna membangun ketahanan keluarga diperlukan pendidikan hak reproduksi dan pendidikan anti kekerasan seksual. Namun sayangnya konsep-konsep tersebut tidak termuat dalam RUU Ketahanan Keluarga. Menurut Inge, RUU tersebut juga terlalu ambisius mengatur semua hal termasuk menyoal data privasi keluarga yang memungkinkan dapat diakses pihak ketiga. Baginya, RUU tersebut bermasalah secara konseptual dan tidak mengakomodir keberagaman konteks kelaurga di Indonesia. Dalam simpulannya, Inge menekankan bahwa negara tidak seharusnya melakukan pengaturan ke ranah privat atas dasar asumsi kerentanan keluarga karena justru akan melahirkan pelanggaran HAM. “Kalau ada pelanggaran HAM seperti KDRT ya negara boleh masuk,” tegas Inge. Ruth Indiah Rahayu (Inkrispena) dalam pemaparannya menjelaskan bahwa RUU Ketahanan Keluarga melanjutkan kembali ideologi pengibuan pasca orde baru. Menurutnya, kontrol negara terhadap keluarga dan tubuh perempuan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah dunia maupun Indonesia. “Pengaturan keluarga erat kaitannya dengan kekuasaan politik,” tegas Ruth. Ruth menjelaskan bahwa kontrol negara terhadap keluarga bisa ditemukan dalam sejarah, khususnya di abad 20 pada masa fasisme Mussolini Italia dan Hitler di Jerman. Pada saat partai fasis tegak di italia, yang ditata paling pertama adalah keluarga--dengan menggunakan terminologi keluarga inti tradisional. Pada masa itu, perempuan dijadikan mesin untuk memperbanyak generasi baru partai fasis. Dengan memperbanyak populasi maka akan ada kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Pada masa itu negara juga membatasi pekerjaan perempuan dan dipaksa menikah cepat—jika pada umur tertentu perempuan belum menikah maka akan didenda. Tidak jauh berbeda dengan fasisme Italia, Ketika Hitler berkuasa di Jerman yang paling pertama ia lakukan adalah mempromosikan konsep keluarga tradisional, menerapkan pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Perempuan diharuskan melayani laki-laki dan memproduksi keturunan untuk mengamankan masa depan ras Arya. Ruth menambahkan bahwa militer Jepang juga memobilisasi keluarga pada masa penjajahan di Indonesia. Mereka menerapkan ideologi pengibuan di tanah jajahan dengan melakukan pembagian kerja seksual yang eksploitatif terhadap perempuan. Laki-laki Indonesia berperan menyiapkan logistik perang dan perempuan membuat pakaian tentara Jepang. Sedangkan perempuan yang berlum menikah dijadikan Jugun Ianfu (sistem perbudakan seksual masa penjajahan Jepang). Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan zaman penjajahan Jepang tersebut diadopsi oleh rezim otoritarian Orde Baru dalam rangka membangun kekuasaannya. Rezim Orde Baru melakukan depolitisasi partai politik dan organsiasi massa serta menata organisasi perempuan agar tidak aktif berpolitik. “Pada masa Orba perempuan diarahkan untuk mengatasi perkembangan populasi melalui program keluarga berencana dan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS),” ungkapnya. Ruth menjelaskan bahwa ideologi pengibuan di masa fasisme Italia, fasisme Jerman, penjajahan Jepang, dan Orde Baru berakar pada mitos adam hawa sebagai asal mula penciptaan manusia--yang kemudian melahirkan ideologi patriarki. Menurut Ruth, RUU Ketahanan Keluarga adalah wujud nyata dari ideologi pengibuan yang meletakkan segala akar permasalahan keluarga pada perempuan bukan pada fakta adanya ketimpangan gender. Pada simpulannya, Ruth menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga: 1) sasarannya adalah mengontrol perempuan dalam praktik sebagai ibu untuk tugas-tugas pengasuhan; 2) tidak mengakui adanya sistem patriarki dan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam keluarga, termasuk kekerasan terhadap perempuan; 3) adanya regulasi penataan keluarga/perempuan menunjukkan adanya gejala fasisme yang akan bertarung dalam kekuasaan negara; 4) keluarga tidak perlu menjadi regulasi negara, apalagi menjadikannya pengarustamaan dalam kebijakan. KH. Imam Nahe'I (Komisioner Komnas Perempuan) dalam paparannya menjelaskan bahwa dalam konteks islam prinsip membangun ketahanan keluarga telah dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara umum, ia juga menyebutkan bahwa RUU Ketahanan Keluarga juga menuai kritik dari para feminis muslim karena dinilai akan mengembalikan perempuan dalam ruang domestik. “Ada ideologi yang dipaksakan masuk di tengah-tengah perjuangan gerakan perempuan di Indonesia dan dibangun atas dasar norma agama tertentu,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan tersebut. Menurut Imam Nahe’I ada penyimpitan makna keluarga, pembakuan tugas-tugas domestik, potensi kriminalisasi anggota keluarga dalam RUU Ketahanan Keluarga. Dalam islam, keluarga tidak dimaknai secara sempit. Ia menceritakan bahwa di masa Nabi, warga anshor dan muhajirin bagaikan sebuah keluarga besar yang saling mewarisi. “Di dalam islam juga dikenal adopsi. Misalnya ada seseorang yang menemukan anak di jalan, lalu diambil sebagai keluarga. Ini bagian dari keluarga juga yang diakui dalam islam,” pungkasnya. Lebih jauh, Imam Nahe’I menjelaskan bahwa bangunan keluarga pada masa jahiliyah pra islam sangat diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan. Pada masa itu: 1) perempuan dipilih; 2) perempuan dipaksa dinikahkan; 3) dalam perkawinan perempuan mirip seorang budak, ia harus tunduk suami tanpa batas; 4) istri diceraikan dan dirujuk tanpa batas dan tanpa persetujuan; 5) perkawinan adalah bentuk eksploitasi kemerdekaan perempuan. “Sedangkan jika dilihat bangunan keluarga dalam perspektif islam, hal ini sangat jauh berbeda dan justru menjadikan pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kokoh,” ungkap Imam Nahe’I. Pada masa setelah islam datang: 1) perempuan boleh memilih dan menentukan kapan dan dengan siapa menikah; 2) perempuan tidak boleh dipaksa menikah; 3) suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang adil/seimbang; 4) perceraian harus dengan alasan yang kuat dan rujuk harus dengan persetujuan istri; 5) perkawinan bertujuan membangun ketentraman jiwa dengan bekal cinta kasih, bebas dari perbudakaan, dan eksploitasi/kekerasan. “Islam mengubah relasi kuasa perkawinan menjadi relasi kesalingan dan keseimbangan. Islam mengubah tujuan perkawinan dari eksploitasi menjadi sakinah dengan bekal kasih sayang, bahagia membahagiakan,” jelas Imam. Dalam ajaran islam, sebuah perkawinan harus meletakkan pilar-pilar mu’asyarah bil ma’ruf, taradhin, tasyawurin, husnu at-tafahum, tasamuh dan meletakkan prinsip-prinsip al-’adalah, at-tawazun al-mubadalah. Imam Nahe’I menegaskan bahwa di dalam islam bukan hanya ridho laki-laki yang diutamakan tetapi justru ridho kedua belah pihak yakni laki-laki dan perempuan. “Dalam konteks Islam jika RUU Ketahanan Keluarga tidak menggunakan prinsip kebaikan, musyawarah, kesalingan, maka hanya akan melahirkan keluarga yang semu dan hakikatnya rapuh,” tutupnya. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |