Jumat, 26 Mei 2017, kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VI Jurnal Perempuan membincangkan mengenai “Sejarah Poligami dan Islam”. Dr. Nur Rofiah (Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran) mengampu kelas pada malam itu. Rofiah memulai kelas dengan memberikan sedikit gambaran dan penjelasan mengenai praktik poligami yang sudah berlangsung berabad-abad lalu di seluruh peradaban maupun dari praktik poligami yang dilakukan oleh berbagai agama di muka bumi ini. Tercatat bangsa Babilonia, Siria, dan Persia pra Islam, tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki. Bagi Bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa yang kemudian menjadi adat atau kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri. Bangsa Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang sudah melakukan praktik poligami jauh sebelum Islam datang. Begitu pun bangsa Timur Tengah seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bangsa Afrika, India, Tiongkok dan Jepang juga berpoligami. Bahkan ada raja Tiongkok yang beristri sampai 30.000 orang. Masyarakat Sparta bahkan melarang lelaki beristri lebih dari seorang, kecuali dalam keadaan tertentu. Sebaliknya, perempuan boleh mempunyai suami lebih dari seorang (poliandri). Rofiah juga menjelaskan bahwa agama Like di Tiongkok memperbolehkan poligami sampai 130 orang. Agama Hindu melakukan poligami secara meluas. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini perempuan sebanyak yang ia ingini. Dalam agama Yahudi, laki-laki dapat menikahi banyak istri dengan syarat mampu membiayai. Sejumlah kaum Yahudi yang ahli di bidang agama menganjurkan agar setiap pria beristri tidak lebih dari empat orang. Akan tetapi, golongan Yahudi Qurra tidak mengakui keabsahan pembatasan jumlah istri karena agama bani Israel membolehkan seorang lelaki mempunyai istri berapa saja tanpa batasan. Tetapi selanjutnya, poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabi di Worms pada abad ke-11. Namun kaum Yahudi Timur Tengah lazim melakukan poligami. Sedangkan agama Kristen melalui kaum reformer Jerman yang terdiri dari pemuka Nasrani, mengakui sahnya perkawinan dengan istri kedua dan ketiga bersama istri pertama. Keputusan itu dilaksanakan hingga abad ke-16 Masehi. Namun tiga abad kemudian, Sekte Mormon, sebuah sekte yang berafiliasi pada Gereja The Church of Jesus Christ of Latter Day Saint yang didirikan oleh Joseph Smith di tahun 1830 M menyerukan: “Keterikatan pria kepada seorang istri adalah soal yang tidak wajar“. Martin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sedangkan agama Islam dipahami oleh masyarakat luas sebagai agama yang memperbolehkan poligami hingga empat istri dan belum ada forum terbuka yang melarang poligami di dalam Islam. Rofiah juga menyebutkan bahwa alasan utama praktik poligami masih dilakukan hingga saat ini adalah karena faktor relasi gender yang tidak seimbang dan budaya patriarki yang begitu kental. Rofiah menjelaskan bahwa sejarah Islam dan poligami sebetulnya tidak lepas dari riwayat nabi-nabi di dalam Alquran yang secara eksplisit menceritakan tentang praktik poligami yang mereka lakukan. Tercatat Nabi Ibrahim AS, Ya’qub AS, Musa AS, Daud AS, Sulaiman AS, dan Muhammad SAW melakukan praktik poligami. Bahkan, dalam kasus Nabi Sulaiman AS, beliau menikah sebanyak seribu kali (sebagian menyebutkan 700 istri dan 300 selir). Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan pernikahan sebanyak dua belas kali. Sebenarnya, praktik poligami ini tidak lepas dari tradisi Arab pra Islam yang tidak mengenal jumlah maksimum bagi seorang laki-laki yang ingin melakukan poligami. Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya, perempuan pernah diragukan sebagai manusia utuh, berbeda dengan laki-laki yang dianggap manusia paripurna. Keadaan Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah poligami yang boleh dilakukan oleh laki-laki direspons oleh Islam dengan membatasinya sebanyak empat orang istri saja. Hal ini tertuang dalam surat An-Nisa ayat 2-3 sebagai berikut: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pembatasan poligami menjadi empat di dalam Islam juga tertuang dalam salah satu riwayat HR. Imam Syafi’i dalam Musnadnya yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW, menganjurkan sahabatnya yang baru memeluk Islam agar menceraikan istri-istri mereka dan memilih 4 saja diantara mereka. Rofiah mengatakan ada sekelompok orang yang memercayai bahwa sebetulnya jumlah poligami yang diperbolehkan adalah sebanyak 9, apabila mengacu pada surat An-Nisa: 3 (2+3+4 = 9), tetapi hal ini dianggap menyimpang dan hampir sebagian besar ulama sepakat bahwa di dalam Islam, poligami dibatasi hingga 4 saja. Rofiah memberikan pandangannya terhadap tafsir surat An-Nisa: 3 yang dijadikan landasan banyak orang untuk melakukan praktik poligami. Ada poin-poin yang coba dibahas oleh Rofiah yang mungkin selama ini luput oleh kita ketika kita menafsirkan surat An-Nisa: 3 ini. Pertama, surat An-Nisa: 3 seringkali dipotong begitu saja padahal surat An-Nisa: 3 adalah kelanjutan dari An-Nisa ayat 2 yang membicarakan tentang perempuan yatim dan berdosanya kita apabila memakan harta mereka sehingga lebih baik dinikahkan saja perempuan yatim tersebut daripada kita memakan hak mereka. Poin kedua yang dijelaskan oleh Rofiah terkait An-Nisa: 3 adalah konteks ketika ayat itu diturunkan, perilaku monogami dalam perkawinan di Arab kala itu adalah sesuatu yang tidak lazim. Sehingga, ketika An-Nisa: 3 turun maka konteks ayat ini adalah sebagai alat untuk menyesuaikan tradisi Arab yang sudah terbiasa dengan praktik poligami. Poin ketiga adalah perihal fakta bahwa sekalipun nabi Muhammad SAW mempunyai dua belas istri, beliau terlebih dahulu menjalani pernikahan monogami dengan Siti Khadijah selama 28 tahun sebelum akhirnya selama 8-10 tahun sisa hidupnya melakukan poligami. Poin keempat adalah mengenai sikap adil yang menjadi syarat utama dalam melakukan poligami. Rofiah kemudian menjelaskan mengenai perilaku adil adalah syarat mutlak karena apabila poligami tidak dilandaskan oleh keadilan, maka pernikahan tersebut akan penuh dengan kesengsaraan. Perihal keadilan ini bahkan sangat tegas diwahyukan Allah SWT pada An-Nisa: 3. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Tafsiran surat An-Nisa: 3 seringkali dijadikan sebagai ayat untuk menjustifikasi perilaku poligami, tetapi bagi Rofiah ayat ini sebenarnya lebih menganjurkan monogami dibandingkan dengan poligami itu sendiri karena manusia diragukan untuk dapat berlaku adil. Perilaku manusia yang cenderung tidak dapat berlaku adil ini kembali ditegaskan melalui surat An-Nisa: 129 yang berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Jika surat An-Nisa: 3 dianggap menganjurkan pernikahan poligami, maka sesungguhnya surat An-Nisa: 129 mempertegas bahwa poligami akan sangat sulit dilakukan sekalipun kita sebagai manusia ingin berlaku adil. Hal ini tentu menyiratkan bahwa sesungguhnya pernikahan yang dianjurkan dalam Islam adalah pernikahan monogami. Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Bukhari diceritakan menolak dengan tegas poligami yang akan dilakukan terhadap putrinya Fatimah bahkan mempertegas ucapannya sebanyak tiga kali untuk menolak poligami yang akan dilakukan oleh Ali terhadap putrinya. Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Shahih Bukhari, j.16, h.253, nomor hadis 4829, Jami’ul Ushul, j. 12, h. 162, nomor hadis 9026). Pertanyaan yang akan diajukan oleh orang-orang adalah, jika Nabi Muhammad SAW membenci poligami mengapa lantas beliau tetap melakukan praktik poligami? Rofiah menjelaskan bahwa ada latar belakang yang sangat kuat mengapa beliau melakukan poligami. Alasan pertama adalah karena beliau merupakan rasul yang diutus langsung oleh Allah SWT sehingga pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang beliau kerjakan akan berhubungan langsung dengan Allah SWT. Alasan berikutnya mengapa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami adalah adanya alasan khusus. Seperti pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy, beliau melakukan pernikahan tersebut untuk mencontohkan kepada pengikutnya bahwa anak angkat selamanya adalah anak angkat (Nabi Muhammad SAW menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya) atau pada kasus pernikahannya dengan Maria al-Qibthiyah seorang budak dari Mesir yang dihadiahkan oleh pengusaha Mesir kepada Nabi Muhammad SAW, sebetulnya untuk menunjukkan bahwa perbedaan kelas sosial bukanlah penghalang untuk melakukan pernikahan. Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW juga sebagai bentuk kepeduliannya terhadap janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya karena berperang bersama Nabi Muhammad SAW. Rofiah menyimpulkan sebenarnya ada perbedaan praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan umatnya. Para laki-laki yang melakukan poligami seringkali hanyalah alasan untuk melegalisasi nafsu seksualnya. Rofiah kemudian menyimpulkan bahwa pernikahan poligami adalah sasaran antara untuk menuju pernikahan monogami yang lebih direstui Allah SWT karena semakin jauh dari unsur ketidakadilan. Rofiah juga mengutip ucapan Syekh Muhammad Abduh dalam al-Manar yang mengatakan bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman. Hal ini juga sama dengan apa yang disebutkan oleh KH Quraish Shihab yang mengatakan bahwa poligami sebenarnya adalah “pintu darurat” di dalam perkawinan. Poligami bukanlah jalan utama apalagi tujuan di dalam sebuah pernikahan. Rofiah juga sepakat dengan cendekiawan muslim Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Sunnah Monogami, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya poligami adalah strategi meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi di mana nilai sosial seorang perempuan apalagi janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Islam membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Rofiah kemudian menutup kelas KAFFE VI ini dengan mengatakan bahwa surat An-Nisa: 3 yang seringkali dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan poligami harus dipahami dari sisi yang lain (ayat monogami) sebagai bentuk pengakuan islam atas keberadaan dan kesetaraan untuk perempuan. Selain itu, kita dapat memahami tafsiran surat An-Nisa: 3 mengenai poligami ini sebagai bentuk sasaran sementara untuk menuju pernikahan monogami sebagai tujuan akhir, sebagaimana kita memaknai ayat-ayat perbudakan yang ada di dalam Alquran sebagai usaha Islam untuk menghapuskan perbudakan sebagai tujuan utamanya. (Naufaludin Ismail) Senin (22/5) Jurnal Perempuan menggelar Gathering Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) bagi para SJP Papua di Jayapura. Acara yang berlangsung di kantor Yayasan Pengembangan Kesehatan Masyarakat (YPKM) ini selain diikuti oleh SJP juga dihadiri oleh mitra kerja YPKM dan diisi dengan sharing pengalaman pendampingan dan penguatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak selama ini. Dokter Fitri Riadini yang sejak 2013 bertugas sebagai dokter kebidanan dan kandungan di Jayapura, mengungkap pada tahun 2006/2007 ditemukan 2 persen kasus HIV/AIDS pada populasi umum di Papua yakni pada ibu rumah tangga atau bukan kelompok berisiko tinggi. Situasi tersebut membuat Ria merasa terpanggil dan mendorongnya untuk melanjutkan studi mendalami bidang kebidanan dan kandungan. Ria menuturkan akses informasi dan layanan kesehatan sangat terbatas terutama pada masyarakat dengan pendidikan rendah, sehingga biasanya mama-mama datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk berbagai kasus, baik kesehatan reproduksi maupun kesehatan secara umum sudah dalam kondisi yang buruk, maka pelayanan kesehatan yang diberikan lebih bersifat kuratif, pengobatan dan rehabilitatif. Sementara seharusnya akses kesehatan dimulai dari tingkat promotif dan preventif. Untuk itu Ria mengajak rekan-rekan kerjanya di YPKM untuk meningkatkan layanan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif agar akses tersebut dapat terbuka. Maka kemudian mereka mencoba melakukan pendekatan kelompok di gereja maupun di kampung-kampung. Masalah yang mereka hadapi sangat banyak, yakni terkait dengan aspek budaya, agama, kondisi geografis, dan pendidikan. Lebih lanjut Joiz Erlely dari YPKM menuturkan lembaganya mendampingi perempuan dengan HIV/AIDS, sebagian dari mereka putus sekolah dan 80 persennya berganti-ganti pasangan. Joiz menuturkan kadang perempuan yang ditawari untuk melakukan tes VCT (voluntary counseling and testing) merasa perlu untuk meminta izin pada suami terlebih dahulu dan bila suami tidak mengizinkan, maka perempuan tersebut batal melakukan VCT, dengan kata lain keputusan terkait kesehatan reproduksinya juga ditentukan oleh sang suami. Persoalan yang dihadapi dalam melakukan pendampingan adalah terdapat perempuan yang memiliki karakteristik mobilitas yang tinggi yang berpengaruh terhadap konsistensi dalam pemeriksaan dan pengobatan yang harus dilakukan secara terjadwal. Karena itu, Joiz menuturkan lembaganya berupaya untuk melibatkan keluarga pasien dalam proses pengobatan. Sementara untuk perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks, meskipun pihaknya selalu menganjurkan agar mereka meminta pelanggannya menggunakan kondom, tetapi hal tersebut tidak selalu dilakukan. Saat ini Joiz dan rekan-rekannya di YPKM berupaya untuk mengubah pola pikir kelompok dampingannya bahwa kesehatan merupakan hal yang penting, sehingga kesadaran untuk melakukan pengobatan ketika sakit datang dari diri sendiri, dan bukan karena ada dorongan dari LSM atau yang lainnya. Sementara itu, Mama Mientje Uduas dari KKW-Papua menuturkan di daerah dampingannya di wilayah di dekat perbatasan masyarakat masih sering menjodohkan anaknya meskipun usianya masih sangat muda dan paman punya peran untuk menentukan perkawinan, bukan orang tuanya. Selain itu di daerah tersebut masih terdapat kebiasaan yang tidak memperbolehkan perempuan melahirkan di rumah, mereka harus dibawa ke pinggir sungai dan melahirkan di sana seorang diri. Sementara itu, kekerasan dalam rumah tangga juga banyak terjadi yang salah satunya dipicu oleh minuman keras. Karena itu, Mama Mientje berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang relasi gender yang setara. Anita Sihombing dari DPPPA-KB (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana) Provinsi Papua mengatakan pergantian kepala daerah akan berpengaruh terhadap perubahan regulasi dan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan melahirkan kebijakan yang campur aduk. Karena itu, menurutnya data sangatlah penting sehingga DPPPA-KB melakukan pendataan profil gender dengan data terpilah bekerja sama dengan BPS (Badan Pusat Statistik). Anita yang sebelumnya aktif di LP3A (Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Papua menuturkan kasus kekerasan berbasis gender di Papua cukup banyak, selain itu masih terdapat juga kebiasaan kawin tukar dan di sisi lain pengetahuan perempuan tentang organ dan kesehatan reproduksi sangat terbatas. Untuk itu upaya untuk mendorong adanya Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) Perlindungan Perempuan dan Anak terus dilakukan dan tahun 2013 lahir peraturan daerah tersebut. Pertemuan sore itu diakhiri dengan komitmen dari masing-masing lembaga untuk melakukan pertemuan kembali tiga bulan mendatang guna menguatkan jaringan yang fokus pada isu kesehatan reproduksi. (Anita Dhewy) “Tubuh perempuan adalah milik perempuan, tubuh yang menjadi subjek bukan objek, tubuh yang bebas dari diskriminasi”, ungkap Gadis Arivia selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan dalam acara Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan Senin 22 Mei 2017 di Ballroom Grand Abe Hotel, Jayapura. Gadis menuturkan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bukanlah persoalan di ranah privat saja tapi juga menjadi persoalan di ruang publik sehingga perlu diintegerasikan dalam kebijakan nasional. "Kebijakan kesehatan nasional Indonesia belum berbasis pada hak dan kebutuhan kesehatan masyarakat terutama perempuan", ungkap Gadis. Menurutnya rahim perempuan yang sehat merupakan penanda masyarakat yang sehat begitu pun sebalikanya jika masyarakat penuh kekerasan berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi. Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih dengan dukungan Ford Foundation. Acara yang dihadiri 180 peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini merupakan media untuk menyebarkan informasi terkait isu-isu hak dan kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan papua dan seluruh stakeholder sekaligus peluncuruan JP 93 HKSR dan Kebijakan Pembangunan yang baru saja terbit. Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih, Dr. Nomensen Steffan Mambraku. Acara ini menghadirkan Dr. Agnes (Pusat Studi Wanita Universitas Cenderawasih), Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif Yayasan Pemerhati Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua) dan Fotarisman Zaluchu (Penulis JP 93 & Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Agnes dari Pusat Studi Wanita Uncen memaparkan data hasil penelitian PSW dan data-data dari hasil penelitian dari UNDP terkait isu kekerasan terhadap perempuan di Papua. "Perempuan sepanjang hidupnya mengalami kekerasan terus menerus, entah itu kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan ekonomi", ungkap Agnes dalam paparannya. Dari hasil penelitian ada sekitar 45% laki-laki yang melakukan kekerasan akan marah jika diminta pasangan untuk menggunakan kondom. Lebih dari 50% laki-laki menganggap bahwa kehamilan adalah tanggung jawab perempuan saja. Hasil kajiam ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara kekerasan dengan keputusan menggunakan alat kontrasepsi. Menurut Agnes masih banyak keluarga di Papua yang menolak program Keluarga Berencana (KB) karena dianggap akan menghentikan regenerasi masyarakat Papua. Padahal menurut Dr. Agnes program KB merupakan upaya untuk memastikan kesehatan reproduksi perempuan, memastikan bahwa jarak kehamilan harus diperhitungkan, memastikan bahwa keputusan memiliki anak adalah juga keputusan perempuan sebagai pemilik tubuh, memastikan bahwa sudah ada kesiapan mental, fisik dan ekonomi untuk memiliki anak. Menurut Agnes perlu ada sosialisasi terkait HKSR secara komprehensif termasuk soal program KB. Agnes mennyebutkan beberapa tantangan terkait isu kesehatan perempuan di Papua antara lain, 1) persoalan Seks dan reproduksi masih tabu dibicarakan, 2) Pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan belum disadari oleh pasangan, 3) Masih ada budaya patriarki yang mengakar seperti relasi kuasa antara suami dan istri, persoalan budaya dan peran gender. Selanjutnya ialah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif YPKM Papua). YPKM adalah organsasi yang melakukan penanganan HIV/Aids terhadap perempuan Papua. YPKM memiliki 5 lokasi pelayanan yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Kepulauan Waropen. Tahi Ganyang Butarbutar menjelaskan bahwa prevalensi HIV/Aids di Papua tahun 2016 adalah 26.973 (angka ini merupakan angka kumulatif dari tahun ke tahun Dinas Kesehatan Provinsi Papua). Berdasarkan data Tahi menjelaskan bahwa penduduk yang tinggal di dataran rendah jauh lebih tahu cara mencegah HIV dibandingkan penduduk di dataran tinggi. Sedangkan soal pengetahuan HIV Komprehensif menurut Tahi jmlahnya masih sedikit sekali baik penduduk yang tinggal di dataran tinggi maupun yang tinggal di dataran rendah dengan akses baik maupun tidak. Berdasarkan data yang diapaparkan Direktur Eksekutif YPKM ini, selama tahun 2016 ada 480 orang yang melakukan VCT di 5 wilayah yaitu Wamena, Sentani, Nabire, Serui dan Jayapura, terdapat 249 orang perempuan yang melalukan VCT dan yang didampingi oleh YPKM sebanyak 44 orang perempuan. Kenapa perempuan dengan HIV/Aids di Papua tinggi? Menurut Direktur Eksekutif YPKM, ada persoalan berlapis yang harus dihadapi perempuan Papua yaitu persoalan Miras, adat, seks bebas, KDRT, narkotika dan tindak kriminal lainnya yang akhirnya kebanyakan perempuan dengan HIV/Aids adalah korban. Menurut Tahi perlu ada edukasi terhadap masyarakat khususnya perempuan agar berani mengatakan TIDAK pada pasangan jika sudah diketahui bahwa terinfeksi virus HIV/Aids. Lebih jauh Tahi menjelaskan bahwa budaya juga memengaruhi pengetahuan dan pandangan masyarakat lokal terkait kesehatannya. Di beberapa daerah misalnya, ada pandangan bahwa ganggungan keseimbangan fisik merupakan akibat dari roh jahat, santet, fui-fui dan sebagainya. Terkait persoalan perempuan dan HIV, Tahi mengakui bahwa akses perempuan terhadap layanan kesehatan masih terbatas dan laki-laki cenderung kurang mendukung perempuan ketika terinfeksi HIV. Setelah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar, selanjutnya ialah paparan dari Fotarisman Zaluchu yang tulisannya dimuat dalam JP 93 dengan judul “Kematian Ibu: Masihkah Perempuan Memiliki Hak Hidup? (Sebuah Sudi Kasus di Pulau Nias). Laki-laki yang juga seorang Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara ini menjelaskan isu kematian ibu di Nias dalam kacamata antropologi kesehatan. Ia mengungkapkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sangat tinggi, wilayah terluar Indonesia memiliki risiko paling tinggi AKI. Lebih jauh Fotarisman menjelaskan bahwa ada konsep 4T dan 3T yang menjadi faktor penyebab terjadinya kematian ibu. Konsep 4T ialah Terlalu muda, Terlalu Sering, Terlalu dekat, Terlalu tua, sedangkan 3T ialah Terlambat mengenali bahaya, Terlambat membawa, Terlambat mengambil keputusan. Fotarisman menjelaskan di Nias perempuan yang menikah sangat dihormati, dimuliakan, dihargai. Salah satu adat pernikahan di Nias yaitu adanya mahar yang sangat tinggi—dianggap sebagai bentuk menghargai perempuan, mahar dibayarkan dalam bentuk babi, yang kemudian kepala babi dan minuman yang disediakan saat pesat pernikahan dinikmati oleh tamu laki-laki. Dalam ritual pernikahan juga ada acara fotu yaitu ceramah untuk pengantin perempuan yang isinya adalah perintah agar istri patuh terhadap suami. Hal ini menurut Fotarisman menunjukkan bahwa budaya patriarki menjadi problem penindasan perempuan. Dalam ritual pernikahan perempuan seakan-akan diberikan kemuliaan dan dihargai, namun setelah menikah kebanyakan perempuan harus bekerja di ladang, hasil kerja mereka digunakan untuk membayar mahar pernikahan yang kebanyakan dari hasil berhutang. Setelah menikah peran gender ada dalam struktur keluarga bukan hanya antara suami dan istri tapi juga antara ibu mertua dan menantu. Peran gender direproduksi melalui peran sebagai ibu mertua yang bertugas mengantar dan mengawasi menantu untuk pergi ke ladang. “AKI di Nias sangat tinggi, proses bersalin yang umumnya dibantu oleh dukun desa sangat berisiko tinggi bagi hidup perempuan, proses bersalin tersebut mengandalkan kekuatan fisik”, ungkap Fotarisman. Ia menjelaskan bahwa proses bersalin mayoritas perempuan di Nias itu masih dibantu oleh dukun dan mengandalkan kekuatan fisik, meskipun ada beberapa Puskesmas di sana namun mayoritas perempuan tidak memilih dibantu oleh bidan desa karena aksesnya sulit. “Di Nias ada anggapan bahwa proses bersalin harus cepat-cepat dilakukan karena ketakutan akan roh jahat yang akan masuk dalam tubuh perempuan melalui rahim, setelah bersalin plasenta juga tidak boleh dipotong dan dibiarkan keluar sendiri”, tutur Fotarisman. Lebih jauh Fotarisman mengungkapkan kekecewaanya terhadap sistem kesehatan nasional yang membiarkan perempuan-perempuan di daerah terpencil menghadang nyawa sendirian karena tidak tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai. Ia juga mengungkapkan bahwa setelah menikah tubuh perempuan menjadi bukan milik perempuan lagi tapi menjadi milik lingkungan sosialnya, tubuh perempuan telah diambil alih karena peran gender yang tidak setara. Menurutnya persoalan mendasar dari tragedi kematian ibu disebabkan karena perempuan tidak menjadi subjek atas kesehatan reproduksinya sendiri. Setelah paparan dari ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Acara yang dihadiri oleh 180 orang peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini berlangusung interaktif, banyak pertanyaan yang dilontarkan. Salah satu tanggapan datang dari Imelda Baransano (Pekerja GKI) yang mengungkapkan bahwa perlu perhatian penting terkait kesehatan perempuan di Papua. Imelda pernah menulis tentang perempuan yang mengorek sampah saat malam hari untuk makanan babi namun belum ada respons dan tindak lanjut terkait fenomena tersebut dari pemerintah. Menurut Imelda, kesehatan perempuan belum menjadi prioritas, padahal jika perempuan tidak sehat maka keluarganya akan tidak sehat dan seterusnya yang kemudian menjadi siklus. Anita Dhewy selaku moderator menjelaskan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) haruslah menjadi perhatian bersama seluruh pihak lintas disiplin ilmu, khususnya di Papua. Anita mengungkapkan bahwa kerja-kerja untuk memberdayakan perempuan dan kesehatan perempuan masih panjang dan diskusi ini merupakan salah satu langkah strategis untuk bersama-sama mewujudkan status kesehatan perempuan Papua yang lebih baik. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |