Jumat, 26 Mei 2017, kuliah kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VI Jurnal Perempuan membincangkan mengenai “Sejarah Poligami dan Islam”. Dr. Nur Rofiah (Dosen Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran) mengampu kelas pada malam itu. Rofiah memulai kelas dengan memberikan sedikit gambaran dan penjelasan mengenai praktik poligami yang sudah berlangsung berabad-abad lalu di seluruh peradaban maupun dari praktik poligami yang dilakukan oleh berbagai agama di muka bumi ini. Tercatat bangsa Babilonia, Siria, dan Persia pra Islam, tidak mengadakan pembatasan mengenai jumlah perempuan yang dikawini oleh seorang laki-laki. Bagi Bangsa Israel, poligami telah berjalan sejak sebelum zaman nabi Musa yang kemudian menjadi adat atau kebiasaan yang dilanjutkan tanpa ada batasan istri. Bangsa Eropa seperti Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang sudah melakukan praktik poligami jauh sebelum Islam datang. Begitu pun bangsa Timur Tengah seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bangsa Afrika, India, Tiongkok dan Jepang juga berpoligami. Bahkan ada raja Tiongkok yang beristri sampai 30.000 orang. Masyarakat Sparta bahkan melarang lelaki beristri lebih dari seorang, kecuali dalam keadaan tertentu. Sebaliknya, perempuan boleh mempunyai suami lebih dari seorang (poliandri). Rofiah juga menjelaskan bahwa agama Like di Tiongkok memperbolehkan poligami sampai 130 orang. Agama Hindu melakukan poligami secara meluas. Seorang Brahma berkasta tinggi, boleh mengawini perempuan sebanyak yang ia ingini. Dalam agama Yahudi, laki-laki dapat menikahi banyak istri dengan syarat mampu membiayai. Sejumlah kaum Yahudi yang ahli di bidang agama menganjurkan agar setiap pria beristri tidak lebih dari empat orang. Akan tetapi, golongan Yahudi Qurra tidak mengakui keabsahan pembatasan jumlah istri karena agama bani Israel membolehkan seorang lelaki mempunyai istri berapa saja tanpa batasan. Tetapi selanjutnya, poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabi di Worms pada abad ke-11. Namun kaum Yahudi Timur Tengah lazim melakukan poligami. Sedangkan agama Kristen melalui kaum reformer Jerman yang terdiri dari pemuka Nasrani, mengakui sahnya perkawinan dengan istri kedua dan ketiga bersama istri pertama. Keputusan itu dilaksanakan hingga abad ke-16 Masehi. Namun tiga abad kemudian, Sekte Mormon, sebuah sekte yang berafiliasi pada Gereja The Church of Jesus Christ of Latter Day Saint yang didirikan oleh Joseph Smith di tahun 1830 M menyerukan: “Keterikatan pria kepada seorang istri adalah soal yang tidak wajar“. Martin Luther mempunyai sikap yang toleran dan menyetujui status poligami Philip dari Hesse. Tahun 1531 kaum Anabaptis mendakwakan poligami. Sedangkan agama Islam dipahami oleh masyarakat luas sebagai agama yang memperbolehkan poligami hingga empat istri dan belum ada forum terbuka yang melarang poligami di dalam Islam. Rofiah juga menyebutkan bahwa alasan utama praktik poligami masih dilakukan hingga saat ini adalah karena faktor relasi gender yang tidak seimbang dan budaya patriarki yang begitu kental. Rofiah menjelaskan bahwa sejarah Islam dan poligami sebetulnya tidak lepas dari riwayat nabi-nabi di dalam Alquran yang secara eksplisit menceritakan tentang praktik poligami yang mereka lakukan. Tercatat Nabi Ibrahim AS, Ya’qub AS, Musa AS, Daud AS, Sulaiman AS, dan Muhammad SAW melakukan praktik poligami. Bahkan, dalam kasus Nabi Sulaiman AS, beliau menikah sebanyak seribu kali (sebagian menyebutkan 700 istri dan 300 selir). Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan pernikahan sebanyak dua belas kali. Sebenarnya, praktik poligami ini tidak lepas dari tradisi Arab pra Islam yang tidak mengenal jumlah maksimum bagi seorang laki-laki yang ingin melakukan poligami. Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya, perempuan pernah diragukan sebagai manusia utuh, berbeda dengan laki-laki yang dianggap manusia paripurna. Keadaan Arab pra Islam yang tidak membatasi jumlah poligami yang boleh dilakukan oleh laki-laki direspons oleh Islam dengan membatasinya sebanyak empat orang istri saja. Hal ini tertuang dalam surat An-Nisa ayat 2-3 sebagai berikut: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pembatasan poligami menjadi empat di dalam Islam juga tertuang dalam salah satu riwayat HR. Imam Syafi’i dalam Musnadnya yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW, menganjurkan sahabatnya yang baru memeluk Islam agar menceraikan istri-istri mereka dan memilih 4 saja diantara mereka. Rofiah mengatakan ada sekelompok orang yang memercayai bahwa sebetulnya jumlah poligami yang diperbolehkan adalah sebanyak 9, apabila mengacu pada surat An-Nisa: 3 (2+3+4 = 9), tetapi hal ini dianggap menyimpang dan hampir sebagian besar ulama sepakat bahwa di dalam Islam, poligami dibatasi hingga 4 saja. Rofiah memberikan pandangannya terhadap tafsir surat An-Nisa: 3 yang dijadikan landasan banyak orang untuk melakukan praktik poligami. Ada poin-poin yang coba dibahas oleh Rofiah yang mungkin selama ini luput oleh kita ketika kita menafsirkan surat An-Nisa: 3 ini. Pertama, surat An-Nisa: 3 seringkali dipotong begitu saja padahal surat An-Nisa: 3 adalah kelanjutan dari An-Nisa ayat 2 yang membicarakan tentang perempuan yatim dan berdosanya kita apabila memakan harta mereka sehingga lebih baik dinikahkan saja perempuan yatim tersebut daripada kita memakan hak mereka. Poin kedua yang dijelaskan oleh Rofiah terkait An-Nisa: 3 adalah konteks ketika ayat itu diturunkan, perilaku monogami dalam perkawinan di Arab kala itu adalah sesuatu yang tidak lazim. Sehingga, ketika An-Nisa: 3 turun maka konteks ayat ini adalah sebagai alat untuk menyesuaikan tradisi Arab yang sudah terbiasa dengan praktik poligami. Poin ketiga adalah perihal fakta bahwa sekalipun nabi Muhammad SAW mempunyai dua belas istri, beliau terlebih dahulu menjalani pernikahan monogami dengan Siti Khadijah selama 28 tahun sebelum akhirnya selama 8-10 tahun sisa hidupnya melakukan poligami. Poin keempat adalah mengenai sikap adil yang menjadi syarat utama dalam melakukan poligami. Rofiah kemudian menjelaskan mengenai perilaku adil adalah syarat mutlak karena apabila poligami tidak dilandaskan oleh keadilan, maka pernikahan tersebut akan penuh dengan kesengsaraan. Perihal keadilan ini bahkan sangat tegas diwahyukan Allah SWT pada An-Nisa: 3. “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” Tafsiran surat An-Nisa: 3 seringkali dijadikan sebagai ayat untuk menjustifikasi perilaku poligami, tetapi bagi Rofiah ayat ini sebenarnya lebih menganjurkan monogami dibandingkan dengan poligami itu sendiri karena manusia diragukan untuk dapat berlaku adil. Perilaku manusia yang cenderung tidak dapat berlaku adil ini kembali ditegaskan melalui surat An-Nisa: 129 yang berbunyi: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Jika surat An-Nisa: 3 dianggap menganjurkan pernikahan poligami, maka sesungguhnya surat An-Nisa: 129 mempertegas bahwa poligami akan sangat sulit dilakukan sekalipun kita sebagai manusia ingin berlaku adil. Hal ini tentu menyiratkan bahwa sesungguhnya pernikahan yang dianjurkan dalam Islam adalah pernikahan monogami. Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Bukhari diceritakan menolak dengan tegas poligami yang akan dilakukan terhadap putrinya Fatimah bahkan mempertegas ucapannya sebanyak tiga kali untuk menolak poligami yang akan dilakukan oleh Ali terhadap putrinya. Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Shahih Bukhari, j.16, h.253, nomor hadis 4829, Jami’ul Ushul, j. 12, h. 162, nomor hadis 9026). Pertanyaan yang akan diajukan oleh orang-orang adalah, jika Nabi Muhammad SAW membenci poligami mengapa lantas beliau tetap melakukan praktik poligami? Rofiah menjelaskan bahwa ada latar belakang yang sangat kuat mengapa beliau melakukan poligami. Alasan pertama adalah karena beliau merupakan rasul yang diutus langsung oleh Allah SWT sehingga pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang beliau kerjakan akan berhubungan langsung dengan Allah SWT. Alasan berikutnya mengapa Nabi Muhammad SAW melakukan poligami adalah adanya alasan khusus. Seperti pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy, beliau melakukan pernikahan tersebut untuk mencontohkan kepada pengikutnya bahwa anak angkat selamanya adalah anak angkat (Nabi Muhammad SAW menikahi Zainab yang merupakan mantan istri anak angkatnya) atau pada kasus pernikahannya dengan Maria al-Qibthiyah seorang budak dari Mesir yang dihadiahkan oleh pengusaha Mesir kepada Nabi Muhammad SAW, sebetulnya untuk menunjukkan bahwa perbedaan kelas sosial bukanlah penghalang untuk melakukan pernikahan. Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW juga sebagai bentuk kepeduliannya terhadap janda-janda yang ditinggal mati oleh suaminya karena berperang bersama Nabi Muhammad SAW. Rofiah menyimpulkan sebenarnya ada perbedaan praktik poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan umatnya. Para laki-laki yang melakukan poligami seringkali hanyalah alasan untuk melegalisasi nafsu seksualnya. Rofiah kemudian menyimpulkan bahwa pernikahan poligami adalah sasaran antara untuk menuju pernikahan monogami yang lebih direstui Allah SWT karena semakin jauh dari unsur ketidakadilan. Rofiah juga mengutip ucapan Syekh Muhammad Abduh dalam al-Manar yang mengatakan bahwa poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman. Hal ini juga sama dengan apa yang disebutkan oleh KH Quraish Shihab yang mengatakan bahwa poligami sebenarnya adalah “pintu darurat” di dalam perkawinan. Poligami bukanlah jalan utama apalagi tujuan di dalam sebuah pernikahan. Rofiah juga sepakat dengan cendekiawan muslim Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Sunnah Monogami, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya poligami adalah strategi meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi di mana nilai sosial seorang perempuan apalagi janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Islam membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Rofiah kemudian menutup kelas KAFFE VI ini dengan mengatakan bahwa surat An-Nisa: 3 yang seringkali dianggap sebagai justifikasi untuk melakukan poligami harus dipahami dari sisi yang lain (ayat monogami) sebagai bentuk pengakuan islam atas keberadaan dan kesetaraan untuk perempuan. Selain itu, kita dapat memahami tafsiran surat An-Nisa: 3 mengenai poligami ini sebagai bentuk sasaran sementara untuk menuju pernikahan monogami sebagai tujuan akhir, sebagaimana kita memaknai ayat-ayat perbudakan yang ada di dalam Alquran sebagai usaha Islam untuk menghapuskan perbudakan sebagai tujuan utamanya. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |