Pernah dikatakan bahwa karyanya mirip karya Gayatri Spivak, Indah Darmastuti kaget, apalagi jika dilihat sampul buku yang berjudul Makan Malam Bersama Dewi Gandari tersebut adalah karya desain kawan sejawatnya yang bekerja di perusahaan batik. Indah Darmastuti, novelis asal Solo yang cerpen-cerpennya kerap terbit di media nasional, seperti Jawa Pos, Femina dan Nyata, menghimpun karya-karya tersebut sehingga mewujud buku dengan tema tunggal tentang perempuan. Dihadiri oleh 15 anggota Komunitas Jejer Wadon, buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari menjadi bahan diskusi di samping buku dengan tema yang sama, kumpulan esai Dongeng Ibu karya feminis asal Solo, Fanni Chotimah, Minggu (17/4). Sekar Putri, yang menjadi pembedah buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari mengatakan bahwa ia melihat karakter-karakter perempuan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi dengan sederhana tetapi cukup menjadi persoalan yang sangat bervariasi yakni persoalan sehari-hari yang dekat dengan kita. “Ceritanya sederhana, plotnya juga. Buat saya menyenangkan untuk lebih mendalami karakter yang ingin diangkat oleh seperti apa, saya mampu untuk menikmatinya,”ungkap Sekar Putri. Masing-masing karakter perempuan-perempuan yang ditulis di buku Makan Malam Bersama Dewi Gandari sama-sama menyimpan perasaan cinta. Meski tidak digarap lebih menggigit lagi seperti harapan Sekar Putri, namun problem perempuan yang diangkat menjadi tema lumayan semakin serius menginjak judul ketiga buku ini. Di cerpen ketiga berkisah tentang perempuan yang mendapatkan pekerjaan, namun dijadikan pekerja seks. Mereka menghadapi siksaan lelaki yang selalu menggunakan tongkat di mana dia membuat perempuan pekerja ini patuh dan dia akan menyiksa dengan tongkat itu jika ada yang tidak berkenan. Cerita ini pendek namun lumayan dramatis ketika perempuan itu mencintai pelanggannya. Pelanggannya mati ketika dia menanti perempuan yang bernama Debora tersebut. Dia meninggal dalam masa penantiannya. Menunggu Debora melayani tamu, padahal dia sudah menyiapkan cincin untuk melamar tapi akhirnya tidak terlaksana. Judul kelima “Raisha dan Sekotak Tanah” ini menarik. Tanah adalah ibu bagi semua makhluk , mama yang ada bagi semua yang ada di dunia. Dua kalimat ini yang disampaikan kepada anak kecil, yang ibunya meninggal ketika dia masih kecil dan judul ini adalah persahabatan anak kecil yang bernama Raisha. Kemudian cerita juga berkisah tentang Mayang, seseorang yang hampir menjadi ibu tetapi karena sebuah kecelakaan bayi yang dia kandung harus gugur bersama suaminya. “Perahu Rongsok”, penggambaran yang cukup pelik tentang pekerja perempuan yang telah bekerja tetapi dia tidak pernah menerima upah. Sebagai hak-hak pekerja sampai nasib membawa mereka kembali ke rumah tanpa membawa apa pun. Jadi ada tiga cerita berkisah tentang perempuan dan pekerjaannya di luar rumah yang cukup berisiko yang akhirnya terjadi di cerita ini mereka bekerja tanpa menerima upah. Indah Darmastuti mengaku belajar dari pengarang lain seperti Dorothea Rosa Herliany, dan Oka Rusmini. “Saya membaca bahwa sejarah perempuan adalah sejarah penderitaan. Karena kita melihat, yang satu Gandari dan satunya Kunti. Kalau Gandari sebenarnya dia tidak cinta sama Destarastra tetapi dia mau mengungkapkan tidak mau, alasannya adalah empati terhadap suaminya. Dia diberkati dengan rahim yang bisa hamil 100 anak tetapi mati semua, yang satunya hanya anak lima tetapi hidup semua. Jadi dua orang ini berbicara tentang seorang ibu, mana yang paling menderita. Saya hanya mengangkat bahwa menjadi perempuan itu selalu tidak mudah. Berlomba-lomba menonjolkan kesuksesannya tetapi menonjolkan seberapa menderitanya,”jelas Indah saat bercerita tentang cerpen Makan Malam Bersama Dewi Gandari. “Ashima, Titip Rindu untuk Calcuta” cerita kesembilan ini lumayan panjang dan Indah menuliskannya agak terbolak balik. Dan yang menarik adalah si Ashima adalah perempuan India yang dijodohkan oleh orang tuanya. Perjodohan tidak berlangsung baik. Mereka sampai punya anak tetapi anaknya mati ketika Ashima sedang mempersiapkan makanan dan suami yang dijodohkan bukan orang yang toleran dengan pekerjaan yang dikerjakan di rumah sampai mereka kehilangan anak laki-laki. Ashima sendiri mengaku pernikahannya tidak bahagia. Karena anaknya meninggal saat disajikan makanan, dia dianggap oleh keluarga suami sebagai perempuan pembawa sial. Perbincangan dengan buku lainnya, Dongeng Ibu, kumpulan esai karya Fanny Chotimah adalah berangkat dari lomba menulis yang diselenggarakan oleh Majalah Femina. “Gado-gado adalah esai keseharian tentang kebaikan lalu saya ingat tentang dongeng ibu saya tentang cerita dongeng dalam bahasa Sunda dengan kerja keras, saya mendapat amanat dari dongeng itu bahwa setiap penderitaan mengajar kita agar bisa keluar dari masalah, menjadi pribadi yang mandiri. Saya kaitkan lagi dengan sosok-sosok yang saya temui di dunia nyata. Dulu di Sriwedari itu ada yang namanya Mbah Kucing. Semua dongeng itu saya ceritakan lagi kepada anak saya. Intinya kebaikan itu tidak hanya kita bagi kepada manusia tetapi semua makhluk. Saya pikir kita harus berpihak dan memilih. Saya jelas berpihak kepada perempuan dan kemanusiaan. Jadi apa pun yang terasa menyenggol itu semua, yang keluar jalur dari koridor kemanusiaan atau yang menindas kemanusiaan, saya suarakan,”pungkas Fanny Chotimah. (Astuti Parengkuh) Kekerasan simbolis yang beroperasi melalui bahasa atau wacana, simbol dan representasi merupakan jalan bahkan pembenaran bagi lahirnya kekerasan psikologis dan fisik. Karena itu upaya melawan kekerasan harus dilakukan sejak di tataran simbolik dengan membongkar wacana/bahasa, simbol dan representasinya. Demikian pernyataan Haryatmoko, pengajar Universitas Sanata Dharma dan Universitas Indonesia, kepada para peserta Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) di kantor Jurnal Perempuan, Kamis (21/4). Lebih lanjut Haryatmoko menjelaskan gagasan-gagasan Pierre Bourdieu yang dapat membantu untuk memahami dan membongkar bentuk-bentuk dominasi yang ada di sekitar kita yang mekanismenya bekerja secara halus melalui kekerasan simbolis. Kuliah yang diberikan Haryatmoko tersebut merupakan bagian dari program Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) yang diselenggarakan Jurnal Perempuan. Program Kaffe pertama yang dimulai bertepatan dengan peringatan hari Kartini ini membahas tema “Postrukturalisme: Membongkar Bentuk-Bentuk Dominasi dan Kekerasan Simbolis”. Selain Haryatmono, Program Kaffe pertama juga menghadirkan Gadis Arivia dan Rocky Gerung sebagai pengajar. Koordinator program Kaffe Abby Gina dalam sambutan pembukaan menjelaskan bahwa Kaffe hadir sebagai respons atas kondisi dunia yang saat ini menghadapi sejumlah persoalan, seperti tergerusnya nilai kemanusiaan, praktik dominassi dan ketidakadilan. Karena itu Kaffe hadir untuk membangun kembali refleksi kritis tiap individu dan membuka horizon baru dalam melihat realitas kehidupan sosial. Kaffe juga menawarkan fondasi kesetaraan dan moralitas manusia dalam memastikan keadilan gender. Untuk itu Kaffe diharapkan membawa perubahan baik pada tataran pemikiran dan juga pada praksis sosial. Program Kaffe pertama diikuti oleh 27 peserta yang memiliki latar belakang yang beragam, seperti mahasiswa, dosen, pekerja sosial, konsultan, penulis, dll. Pada kuliah pembukaan ini hampir semua pengajar Kaffe ikut hadir seperti Robertus Robert, Atnike Sigiro, Daniel Hutagalung, Musdah Mulia, Rocky Gerung dan Gadis Arivia. Kaffe mengambil bentuk kuliah serial dengan membahas tema yang berbeda setiap bulan dan berlangsung setiap minggu pada hari Kamis dengan menghadirkan pengajar yang kompeten di bidangnya. Pada bulan Ramadan nanti program Kaffe akan hadir dengan tema “Islam dan Feminisme”. (Anita Dhewy) Jumat, 15 April 2016, Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia meluncurkan Temuan Kunci Studi Penyusunan Definisi Resmi Usaha Milik Perempuan di Hotel Bidakara, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Badan Pusat Statistik (BPS), pemerintah daerah, peneliti, serta perempuan pengusaha dari berbagai sektor industri. Bonaria Siahaan sebagai Direktur Eksekutif MCA Indonesia mengungkapkan bahwa ia sangat bersyukur karena publikasi studi penyusunan definisi usaha milik perempuan dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. “Studi ini merupakan bagian dari komitmen MCA Indonesia untuk mengintegrasikan gender ke dalam program Compact Indonesia sekaligus sebagai kegiatan lanjutan dari survei gender dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah dilaksanakan pada tahun 2014”, papar Bonaria dalam sambutannya. Tujuan utama dari studi ini menurut Bonaria adalah untuk menyusun definisi resmi usaha milik perempuan yang inklusif dan mampu menggambarkan situasi terkini perempuan pemilik usaha di Indonesia. Bonaria juga mengharapkan definisi ini nantinya dapat dijadikan acuan dalam pengumpulan data mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan Indonesia serta dapat membantu berbagai pihak dalam mengidentifikasi usaha milik perempuan dalam program, kebijakan serta penelitian terkait. Acara ini juga menghadirkan Sarah Sadiqa, Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi LKPP, untuk memberikan sambutan. Sarah menyampaikan bahwa selama ini tidak ada definisi resmi usaha milik perempuan. Dunia usaha biasanya hanya mendefinisikan usaha berdasarkan bidangnya atau fokus usahanya, seperti industri, jasa dsb. “Saya rasa mainstreaming gender dalam dunia usaha maupun pengadaan barang amat penting, selain untuk mengetahui sejauh mana kontribusi perempuan pengusaha terhadap perekonomian namun juga untuk memberikan akses seluas-luasnya terhadap usaha milik perempuan”, papar Sara mengakhiri sambutannya. Dalam acara ini juga staf ahli Menteri PPPA, Sri Danti Anwar diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato kunci terkait isu perempuan pengusaha di Indonesia. Sri Danti Anwar mengungkapkan bahwa pembangunan ekonomi tidak terlepas dari seberapa besar laki-laki dan perempuan ikut terlibat. Ekonomi di era digital ini menunjukan bahwa Indonesia adalah pengguna internet terbesar nomor 3 di dunia yaitu sebanyak 88,1 juta orang dan 40 juta perempuan mengakses internet. “Perempuan pengusaha mikro dan kecil menengah dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan keluarga, ini peluang besar”, papar Sri Danti Anwar. KPPPA mengharapkan nantinya definisi usaha milik perempuan sifatnya inklusif, fleksibel, mainstreaming gender, dan sustainable. Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan paparan temuan kunci definisi usaha milik perempuan oleh Marisna Yulianti dari MCA Indonesia. Marisna menjelaskan bahwa studi penyusunan definisi usaha milik perempuan ini diawali oleh survei gender dalam pengadaan barang dan jasa pada tahun 2014 kerjasama LKPP dan Bappenas. Tujuannya studi ini, 1) untuk melihat analisis gender apa saja yang ada dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, 2) untuk mengadopsi definisi resmi usaha milik perempuan yang nantinya akan diintegrasikan terhadap data agar dapat dilihat sejauh mana akses perempuan terhadap dunia usaha. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif di 8 kota besar di Indonesia dengan metode diskusi, desk review, lokakarya antara pemerintah dan non pemerintah, asosiasi, universitas, serta perempuan pelaku usaha. Marisna menjelaskan bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi perempuan dalam menjalani sebuah usaha. Kendala internal antara lain, 1) beban ganda, 2) kurangnya percaya diri, 3) tidak berani mengambil risiko, 4) kurangnya kapasitas dalam mengelola keuangan dan manajemen bisnis. Kemudian kendala lainnya datang dari eksternal yaitu, 1) sulit mendapatkan modal, 2) sulit mendapatkan dokumen usaha atas nama perempuan (biasanya atas nama suami), 3) sulitnya akses pemasaran, 4) sulit dapat dukungan keluarga. “Ketiadaan definisi resmi mengenai usaha milik perempuan menyebabkan tidak adanya data nasional mengenai jumlah dan dinamika usaha milik perempuan”, sambung Marisna. Ia juga mengungkapkan bahwa ada 3 negera di dunia yaitu Amerika, Kanada dan India yang telah memiliki definisi resmi serta kriteria seperti apa sehingga usaha tersebut dapat dikatakan sebagai usaha milik perempuan. Kriteria tersebut adalah kepemilikan modal, manajemen perusahaan, kontrol dan tanggung jawab risiko, dan tenaga yang didominasi perempuan. Dengan kriteria tersebut maka usaha yang dijalankan dapat dikategorikan sebagai usaha milik perempuan di negara-negara tersebut. Sebelum mendefinisikan apa dan seperti apa usaha milik perempuan, Marisna menjelaskan bahwa definsi ini diharapkan memang cocok dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam. “Terminologi perusahaan yang digunakan di tiga negara tersebut, kami rasa kurang pas dengan wajah industri di Indonesia, karena perusahaan adalah usaha yang sudah memiliki banyak pegawai sedangkan tujuan kami adalah menjaring seluruh data usaha yang dilakukan perempuan dari hulu ke hilir secara menyeluruh termasuk usaha perempuan penjual ikan dan sayur di pasar”, tutur Marisna. Prinsip utama definisi ini nantinya adalah bersifat fleksibel dalam aplikasi dan penggunaanya dapat strategis, tidak diskriminatif dan tidak menyulitkan perempuan, harus sesuai dengan kondisi Indonesia dan dapat diadopsi oleh pemerintah untuk membuat kebijakan. Definisi usaha milik perempuan hasil studi MCA Indonesia sebagai berikut:
Dewi Candraningrum: Kampanye Sosial tentang Pemasungan Orang dengan Gangguan Jiwa Penting Dilakukan2/4/2016
Menanggapi keprihatinan atas maraknya dan tingginya angka pemasungan terhadap difabel skizofrenia atau psikososial, biasa disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Dewi Candraningrum, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan mengatakan bahwa penting bagi kita untuk terus melakukan kampanye sosial. “Orang dengan gangguan jiwa, anak dengan autisme, serta anak difabel lainnya berbeda dengan anak-anak ‘normal’. Siapapun Anda perlu membukakan pintu untuk mereka,” ujar Dewi Candraningrum. Bercerita tentang pengalamannya sebagai ibu dari seorang anak dengan autisme, Dewi Candraningrum mengatakan bahwa dirinya banyak melakukan trial and error dan tidak pernah berputus asa. “Anak saya minta dibelikan piano. Setiap hari selama tiga bulan saya ajari sampai lancar. Anak saya belajarnya secara visual, dia lebih terampil membaca not balok daripada a,b,c,d,”imbuh Dewi Candraningrum dalam diskusi memperingati Hari Perempuan Internasional yang diselenggarakan oleh Komunitas Jejer Wadon bersama Silent Tears Australia dan didukung The Sunan Hotel, Minggu (27/3). Acara yang bertajuk “Saatnya Perempuan Difabel Bicara” menghadirkan pula dua pembicara, Denise Beckwith dan Belinda Mason dari Silent Tears Australia. Denise Beckwith mengatakan bahwa difabel tergantung dengan keluarga dan orang tuanya. Dia diajarkan oleh keluarganya dengan filosofi baru dan bisa hidup seperti yang lain. “Difabel di sini (Indonesia-red) dipandang hal yang memalukan. Saya dan Belinda beruntung sebagai seorang difabel dewasa bahwa keluargalah yang harus berjuang bahwa anaknya memiliki difabilitas. Ini lebih pada penerimaan keluarga,” jelas Denise Beckwith. “Ini hari ketiga kami belajar tentang inklusivitas yang berawal dari pemberdayaan masyarakat. Ini menarik untuk saya sebagai seorang difabel dan bekerja untuk advokasi difabel. Hal terpenting dalam kerja hari ini adalah bagaimana orang-orang bekerja untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada,” kata Belinda Mason. Utami, perempuan difabel pegiat Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Solo berbagi pengalaman hidupnya. “Dulu waktu kecil saya diasingkan oleh orang tua. Mungkin orang tua saya malu, lalu saya disekolahkan di Yogya. Setelah mengenal penerjemah, orangtua saya mulai percaya. Anggapan awam, tuli itu bodoh. Padahal tuli itu bisa melukis, memasak dan pekerjaan apa saja asal ada kesempatan. Anggapan masyarakat masih melekat. Stigma difabel masih menguat. Difabel masih dianggap ‘aib’,” ungkap Utami. Menyinggung tentang kebijakan, Denise Beckwith menambahkan bahwa Australia memiliki sistem kebijakan yang bagus, “Sistem ini saya tidak menyangkal. Indonesia punya cara lain dengan dukungan dari komunitas-komunitas. Menjadi modal yang besar untuk menyuarakan kebutuhan yang besar. Komunitas akan lebih kuat. Sistem kebijakan yang bagus harus dimiliki. Indonesia sedang menyesuaikan cara pandang menjadi inklusi,” terang Denise. Dewi Candraningrum yang pernah tinggal dua tahun di Australia bersama anak dengan autisme membenarkan bahwa dukungan negara (komunitas) di Indonesia tidak sama dengan di Australia. “Saya bisa memahami bahwa orangtua di sini “sendiri”. Karena jaring sosial tidak seperti negara-negara maju. Saya hanya mampu membandingkan dengan keponakan, misal kalau lebaran tiba, bahwa tidak akan ada makanan dengan gula, tepung, karena kalau tantrum bisa dua jam lebih. Saya dan keluarga bergaya hidup orang desa yang tidak pernah jajan. Orang dengan difabilitas itu kondisional, kita orang tua menyesuaikan.” Acara diskusi yang dimoderatori oleh Fanny Chotimah dan dihadiri oleh para pegiat difabel, perempuan dan anak serta kepemudaan dan lintas agama tersebut difasilitasi oleh The Sunan Hotel dengan program CSR. Retno Wulandari, selaku general manager The Sunan Hotel mengatakan bahwa pihaknya tidak hanya berpikir tentang keuntungan saja tetapi juga dampak sosial. “Acara seperti ini bisa menjadi edukasi publik,” pungkas Retno Wulandari. (Astuti Parengkuh) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |