Jurnal Perempuan menggelar konsultasi Publik Laporan Tahunan 2015 pada Kamis, (17/12) bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Acara yang dihadiri sejumlah Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) dan mitra kerja JP ini bertujuan untuk mendengar tanggapan dan masukan dari para pemangku kepentingan atas kinerja dan aktivitas JP sepanjang tahun 2015. Gadis Arivia, Direktur Eksekutif JP membuka acara dengan memberikan pengantar singkat dan menjelaskan alur acara yang dilanjutkan dengan perkenalan para undangan. Setelah itu Pemred JP, Dewi Candraningrum memaparkan capaian-capaian dari program-program yang dijalankan JP pada tahun 2015. Dewi juga mengungkapkan sejumlah keberhasilan JP seperti JP86 yang membahas topik SRHR (Sexual & Reproductive Health & Rights) dan Perubahan Iklim yang hanya dalam waktu 2 bulan telah habis cetak sehingga perlu cetak ulang mengingat permintaan dari para calon pembaca masih ada. Selain itu pada tahun 2015 ini JP juga menerbitkan buku-buku fiksi yang mengupas tragedi 65 dalam bentuk novel dan puisi dan mengadakan peluncuran tiga buku yang diterbitkan serta menggelar pendidikan publik termasuk ke daerah yang diikuti peserta dalam jumlah yang cukup banyak. Sementara Himah Sholihah yang bertanggung jawab untuk mengelola SJP dan Marketing memaparkan capaian-capaian marketing dan penambahan SJP sepanjang 2015. Himah menjelaskan karakteristik SJP berdasarkan jenis kelamin, latar belakang profesi, jenis donasi dan persebaran wilayah. Berdasarkan jenis profesi, SJP dari kalangan akademisi dan LSM sangat mendominasi, sedang dari sebaran wilayah, SJP banyak terkonsentrasi di pulau Jawa terutama Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Namun demikian tercatat SJP dari Wamena, Papua Barat dan Aceh serta 12 SJP yang bermukim di luar negeri, seperti Dili, Leiden, Bangkok, Belanda dan Jerman. Untuk penjualan produk jurnal dan buku masih mendominasi, sedang merchandise belum banyak karena jenis produknya juga masih terbatas pada t-shirt, pouch dan mug. Tahun ini JP juga gencar berjualan dengan mengikuti berbagai pameran yang diadakan oleh organisasi jaringan dan mendorong promosi via e-newsletter yang ikut meningkatkan penjualan selain juga mengembangkan penjualan online melalui website JP. Usai presentasi, acara dilanjutkan dengan mendengarkan tanggapan dan masukan dari para pemangku kepentingan. Melli Darsa, Dewan Pengawas JP yang baru saja meletakkan jabatannya sebagai Ketua Umum ILUNI FHUI mengatakan bahwa dependensi pada donor yang tahun ini sebesar 70 persen ke depan perlu semakin dikurangi dengan memperluas jangkauan JP ke kalangan profesional misalnya. Toeti Heraty, Pendiri JP memberikan paparan mengenai sejarah berdirinya JP dan perkembangannya. Rocky Gerung, pengajar Filsafat FIB UI mengungkapkan bahwa ia mengikuti perkembangan ideologis JP, karena itu ditengah fenomena creeping fundamentalism di berbagai bidang kehidupan termasuk di ranah pendidikan melalui kampus-kampus, JP diharapkan tetap menjadi sumber pemikiran kritis. Ia juga berharap JP menyelenggarakan kursus-kursus feminisme lewat kelas-kalas kecil secara rutin. Ahmad Junaidi, Redaktur Jakarta Post dan Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) sekaligus SJP mengatakan tren ke depan pembaca akan meninggalkan versi cetak dan bergeser ke versi online, fenomena ini perlu diantisipasi oleh JP. Nadja Jacubowski, Gender Advisor GIZ menegaskan komitmennya untuk mendukung JP dengan mensosialisasikan JP ke kalangan akademisi Jerman dan melanjutkan kerjasama dengan JP untuk menyelenggarakan training bagi para gender focal point GIZ. Sementara itu penulis dan SJP Ayu Utami memberikan apresiasinya atas perjuangan JP di level akademis. Namun ia juga mengungkapkan bahwa JP perlu menggarap level anak muda yang memiliki karakter berorientasi pada kesuksesan, karena hasil kajian JP juga perlu dibahasakan secara popular agar mampu menjawab hasrat zaman akan kesuksesan. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengemas kursus feminisme JP dengan menggabungkannya dengan keterampilan praktis atau memberi kesempatan pada para pesertanya untuk magang di media atau lembaga-lembaga jejaring. Jane Ardhaneswari, Editorial Board MRA Media sekaligus SJP mengungkapkan JP perlu tetap pada khitahnya sebagai jurnal ilmiah, sementara untuk publik yang lebih luas, JP bisa mengoptimalkan website. Jane juga mengatakan bahwa tanpa mengabaikan perempuan di ranah akar rumput, JP perlu berfokus pada perempuan kelas menengah, yang bisa jadi mereka “sakit” dan butuh pertolongan tetapi tidak menyadarinya. Pinky Saptandari, Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan meskipun pembaca JP paling banyak adalah kalangan akademisi, tetapi banyak kalangan akademisi yang tidak tercerahkan dengan merujuk pada contoh-contoh fenomena creeping fundamentalism di lingkungan kampus. Karena itu menurut Pinky, JP mempunyai kewajiban untuk tidak hanya memperbanyak anggota SJP tapi juga meningkatkan kualitas mereka. Ia juga berharap JP lebih serius masuk ke kampus. Mardety, Staf Ahli Komisi VIII DPR RI dan juga SJP mengungkapkan bahwa JP perlu membangun strategi marketing communication-nya dengan merangkul kalangan partai politik karena parpol juga memiliki kader-kader perempuan. Sehingga mereka dapat benar-benar memperjuangkan isu perempuan ketika terpilih sebagai wakil rakyat. Sjamsiah Achmad, Pendiri Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik sekaligus SJP mengutarakan bahwa JP masih tetap dibutuhkan, selain itu JP juga perlu lebih banyak ke daerah dan menggandeng PSW (Pusat Studi Wanita) yang ada di kampus-kampus. Sjamsiah juga mengusulkan agar JP juga mencermati perkembangan yang terjadi di UN Women bahkan jika perlu ikut memengaruhi kebijakan di UN Women. Usai paparan dan masukan dari SJP, Gadis Arivia memberikan tanggapan. Acara kemudian diakhiri dengan makan siang bersama. Masukan dari para SJP akan menjadi bahan berharga bagi JP untuk membuat perencanaan ke depan. (Anita Dhewy) Diskusi Jejer Wadon HAKTP: Butuh Narasi Hukum yang Berpihak kepada Korban Kekerasan Seksual7/12/2015
Apakah kekerasan seksual? Bentuk-bentuknya seperti dijabarkan Komnas Perempuan ada 15. Sesungguhnya ada lagi, pemaksaan KB, alat kontrasepsi, kehamilan, aborsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan pernikahan, intimidasi bernuansa seksual, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, terakhir adalah kontrol seksual terhadap perempuan berbasis aturan moralitas dan agama. Di Indonesia dalam narasi hukum harus ada penetrasi, kalau tidak ada penetrasi tidak disebut kekerasan seksual. Lembaga dunia seperti PBB, WHO, negara-negara maju secara sederhana mengartikan bahwa serangan seksual sebagai tindakan menyerang secara fisik dan psikologis seperti tersebut di atas. Mengapa kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan di Indonesia? Kekerasan seksual di negara maju disebut kejahatan kemanusiaan, tetapi di negara kita disebut kejahatan asusila. “Kita berada di abad pertengahan atau kegelapan,” demikian paparan yang diberikan oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan sekaligus pendiri Jejer Wadon kepada para anggota komunitas Jejer Wadon peserta diskusi dan refleksi dalam memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (HAKTP)di kantor LPH YAPHI, Rabu (2/12). Dewi Candraningrum menambahkan mengapa seksualitas dikaitkan dengan susila dan asusila, dan rape culture. Masyarakat kita masih menganggap perkosaan sebagai seperempat, setengah cerita porno. Itu menunjukkan apa yang terjadi psikologi sosial masyarakat kita hari ini. Kalaupun ada kejahatan perkosaan, maka awak media akan mengatakan “Bunga digagahi empat kali….”. Orang membaca seperti akan terangsang. Sigmund Freud menyampaikan sebuah kuliah tentang teka-teki femininitas. Di dalam kuliah Freud, “Perempuan adalah subjek seksualitas”. Yang kedua adalah kecemburuan penis, perempuan punya penis kecil, perempuan adalah laki-laki kecil, kalau perempuan menderita kegilaan karena perihal-perihal itu, maka itu disebut histeria. Ada banyak pernyataan Freud. Freud adalah metafora, satu ujung dari representasi dan pencitraan masyarakat pada saat itu tentang perempuan itu siapa. Freud tidak sendirian, dari masyarakat sangat misoginis, dan sangat seksis. Dari kuliah Freud kemudian, lahirlah feminis-feminis untuk menantang apa yang dikatakan oleh Freud. “Psikologi Eropa 1933, masih ada di sini, di abad ke-21. Kita mengadopsi, sedangkan mereka telah jauh meninggalkan. Masyakarat kita masih melihat tangis perempuan karena kejahatan seksualitas masih tetap menawan meski telah mengalami,” terang Dewi Candraningrum. Ada standar ganda terhadap kejahatan atas perempuan. Kalau dia melanggar kode etik subordinasi supremasi seksual patriarki maka dia adalah pecun, dia adalah jalang. Dia bukan perempuan baik-baik. Kejahatan seksualitas atau rasa malu, atau kehinaan hanya ditimpakan kepada perempuan atau minoritas seksual misalnya waria, LGBT. Jadi hukumnya jauh lebih mengenaskan. Kalau hukum laki-laki adalah kejahatan, kalau untuk perempuan, kejahatan, kehinaan dan rasa malu. Fakta menunjukkan dari 100 persen, 42 persen sampai 62 persen adalah kejahatan seksual dan itu sulit dijerat karena masuknya delik asusila jadi bukan delik kriminal atau kejahatan manusia. “Dari situ saja kalau kita melacak sejarahnya, seseorang bisa kehilangan masa depannya, seorang perempuan bisa masuk rumah sakit jiwa, seorang perempuan bisa terkena HIV/AIDS. Mengapa Indonesia seperti ini? Mengapa hukumnya seperti ini, karena pandangan dunia mengalami kemunduran, kita jauh dari buta, mundur dari nenek moyang kita. Nenek moyang kita bikin candi lingga yoni, bikin tarian ada belahan dada, abad ke-21 Indonesia mengalami kemunduran pengetahuan tentang tubuh dan seksualitas,”jelas Dewi Candraningrum. Dalam diskusi HAKTP yang berlangsung selama lebih dari dua jam, dihadirkan pula aktivis perempuan difabel dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Purwanti yang akrab dipanggil Ipung. Ipung mengemukakan tentang berbagai hal terkait perempuan difabel berhadapan dengan hukum. “Komnas Perempuan coba membikin konsep pendampingan, memasukkan yang kita lakukan Judicial Review tentang usia mental, kita berikan referensi terkait usia mental dan usia kronologis. Kita sedang memengaruhi Komisi Yudisial agar tim pemantau pengadilan memiliki perspektif difabilitas. Kami sudah mulai memfasilitasi training sensitif difabilitas untuk hakim dan pemantau di Yogyakarta, Makassar dan NTT,” jelas Ipung kepada JP. (Astuti Parengkuh) Masthuriyah Sa’dan dari Solidaritas Perempuan Kinasih dan juga dosen di UIN Sunan Kalijaga mengkaji pemikiran Khaled M. Abou El-Fadl mengenai agama dan Hak Asasi Manusia (HAM) pada acara Pendidikan Publik JP 87 Keragaman Gender dan Seksualitas yang diselenggarakan oleh Yayasan Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute didukung oleh HIVOS Southeast Asia pada Sabtu (5/12/15) di Joglo Patheya. Pada kesempatan ini, Masthuriyah yang juga merupakan salah satu penulis JP 87 hadir sebagai narasumber dan menjelaskan bahwa tulisannya mengkaji pemikiran Khaled M. Abou seorang Profesor hukum di University of California Los Angeles (UCLA) School of law dan juga seorang penulis hukum islam. Khaled memang tidak secara signifikan menjelaskan tentang LGBT dalam pandangan keislaman, namun Khaled mendialogkan islam dan HAM. Menurut Masthuriyah jika berbicara HAM berarti berlaku untuk setiap manusia—termasuk kelompok LGBT. Masthuriyah membedah bagaimana pemikiran Khaled tentang agama dan HAM dapat memiliki kontribusi terhadap persoalan kelompok LGBT di Indonesia. Kemudian Mathuriyah mengaitkan fatwa MUI tertanggal 31 Desember 2014 yang berbunyi “Homoseksual merupakan perbuatan yang hukumnya haram, merupakan suatu bentuk Kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati” dengan pemikiran Khaled tentang agama dan HAM. Fatwa MUI tersebut adalah berdasarkan fiqih yang menurutnya fiqih masih memiliki kemungkinan benar atau salah karena merupakan hasil dari interpretasi teks agama. “Setiap keputusan, perkataan, perbuatan dan teks agama sekalipun berpeluang untuk dibaca ulang dengan menggunakan analisa hermeneutika”, tutur Masthuryiah. Ia melanjutkan bahwa jika fiqih kita anggap sebagai sesuatu yang mutlak, final dan absolut, maka menurutnya apa gunanya manusia yang sudah diberikan akal oleh Allah SWT untuk berpikir. “Teks agama harus terbuka untuk diinterpretasi ulang, jika dibatasi maka akan ada kemunduran berpikir umat islam, dan nantinya islam tidak bisa menghadapi tantangan globalisasi”, ungkap Masthuriyah. Menyinggung mengenai agama dan Hak Asasi Manusia, Mathuriyah merasa penting untuk melihat pemikiran Khaled yang berupaya melerai ketegangan anatara agama (islam) dan HAM dengan pendekatan social humanity contemporary. Khaled mengutip pendapat Al-Ghazali (505 H/1111 M) tentang lima hak dasar manusia yang harus dipenuhi yaitu, hak atas agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta. Kelima hak ini menurutnya adalah hak dasar manusia yang harus dijaga, dihormati dan diperjuangkan melalui sistem politik dan hukum. Lima hak dasar diatas bersifat universal dan diakui oleh semua agama dan merupakan norma-norma yang melekat dalam fitrah manusia dan kemanusiaanya. Dalam arti lain perwujudan perlindungan lima hak tersebut mengakomodasi kepentingan semua pihak, tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit, etnis dan jenis kelamin. “Penegakan hak-hak dasar manusia harus memperlihatkan keadilan, kemerdekaan, kesetaraan manusia di depan hukum”, tegas Masthuriyah. (Andi Misbahul Pratiwi) Pada Sabtu (05/12/2015), Jurnal Perempuan menggelar acara Pendidikan Publik sekaligus peluncuran Jurnal Perempuan edisi 87 Keragaman Gender dan Seksualitas. Acara yang mengambil tempat di Joglo Patheya, milik keluarga Alm. Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed ini menghadirkan pembicara-pembicara yang membagikan pengetahuan dan sudut pandang mereka seputar keragaman gender dan seksualitas. Sore itu Hendry Yulius Wijaya, alumnus Lee Kuan Yew School of Public Policy NUS, selaku salah satu pembicara mengangkat topik mengenai Queer Theory. Hendry membuka penjelasan dengan menyatakan bahwa, menurut Foucault, umumnya terjadi kesalahpahaman ketika masyarakat berbicara tentang queer. Queer biasanya langsung diidentifikasikan dengan LGBT oleh masyarakat awam padahal bukan LGBT sajalah yang bisa dikategorikan sebagai queer melainkan hampir semua orang mungkin dapat dikatakan sebagai queer. Hendry kemudian membahas bahwa dari sudut pandang sejarah, awalnya hanya ada satu istilah yang menggambarkan segala sesuatu yang dianggap menyimpang yaitu sodomite. Begitu banyaknya istilah yang muncul di masa ini berawal dari keinginan bangsa Barat untuk melabeli dan mengkaji segala sesuatu. Inilah yang membedakannya dengan bangsa Timur di masa lampau. Begitu seksologi menjadi salah satu cabang ilmu yang dipelajari di Barat, para seksolog langsung menginventarisir dan membuat daftar istilah-istilah bagi segala sesuatu yang dianggap menyimpang. Gender pun kemudian menjadi salah satu istilah yang melekat pada manusia sebagai sebuah identitas alih-alih aktivitas. Selain Foucault, Hendri pun mengupas pemikiran Sigmund Freud. Freud, terlepas dari bagaimana ia mengagungkan phallus, ia memberi kontribusi karena dalam teorinya seks diakui sebagai salah satu kebutuhan manusia dan ia pun menyoroti fantasi seksual yang kemudian menjadi salah satu pemikiran yang menginspirasi kajian queer. Pemikiran Freud mengenai fantasi seksual menunjukkan bahwa manusia dapat berganti-ganti peran ketika tengah berfantasi. Tidak selamanya seseorang akan berfantasi sesuai dengan orientasi seksualnya. Ini kemudian dikembangkan lebih lanjut di dalam Sedgewick’s Queer Concept. Bisa saja seorang perempuan yang menyukai laki-laki justru berfantasi tentang tubuh seorang perempuan ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan laki-lakinya. Dari pemikiran ini kemudian dapat disimpulkan bahwa jika peran gender dan orientasi seksual adalah sesuatu yang cair maka fantasi sebagai bagian dari seksualitas itu pun dapat dikatakan bersifat cair. Begitu pula dengan femininitas dan maskulinitas, keduanya dapat dipertukarkan. Inilah yang kemudian memancing pemikiran Deleuze mengenai N-sexes yaitu keinginannya akan dunia tanpa label karena, menurut Deleuze, semuanya tergantung pada kejujuran manusia. Ketika masing-masing manusia berani untuk jujur maka kita mungkin sekali akan menemukan bahwa sesungguhnya kita semua adalah cair. Jika dikaji dari sudut pandang beberapa filsuf dan feminis seperti Beauvoir, Butler, dan Derrida maka jelas bahwa semenjak lahir manusia telah dilabeli dengan stereotip gender tertentu berdasarkan jenis kelamin mereka. Tidak ada sesuatu yang benar-benar alami dalam gender karena gender merupakan proses naturalisasi yang dilakukan oleh mayarakat. Masyarakat terbiasa dengan klasifikasi, pengkotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki beserta peran ideal mereka. Padahal keberadaan LGBT dan kemampuan mereka untuk mengadaptasi peran perempuan dan laki-laki dalam relasi mereka adalah sebuah contoh bahwa klasifikasi yang diciptakan oleh masyarakat dapat di-copy dan tidak eksklusif sifatnya. Gender itu seperti sebuah pertunjukkan sandiwara, menurut Hendry. Berikan setiap manusia sebuah skrip maka ia akan berpakaian dan bertindak sejalan dengan skrip tersebut. (Johanna Poerba) Pada hari Sabtu (5/12/15) Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 87 Keragaman Gender dan Seksualitas. Di acara yang diadakan di Joglo Patheya, Kemang Utara ini Gadis Arivia menceritakan penelitiannya yang dipublikasikan di Jurnal Perempuan 87 Keragaman Gender dan Seksualitas mengenai makna hidup bagi LGBT. Gadis memaparkan bahwa di dalam penelitian yang ia lakukan dengan Abby Gina tersebut ada 4 hal yang menjadi kesulitan untuk meneliti LGBT. Kesulitan-kesulitan itu lebih besar ia temukan dibandingkan ketika ia meneliti perempuan atau etnis minoritas tertentu. Hambatan pertama adalah seringnya konsep-konsep agama dibenturkan dengan LGBT yang berdampak pada diskriminasi, karena mereka dianggap “menyimpang” dari jalan Tuhan. Gadis mengatakan bahwa tuduhan tidak “direstui” agama tidak ia jumpai pada perempuan. Hal kedua adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya penelitian tentang LGBT karena seringkali dianggap sebagai gaya hidup atau lifestyle. Di samping itu media seringkali merepresentasikan LGBT dengan kehidupan glamor, misalnya banyak dari mereka yang menjadi fashion designer. Hal itu menimbulkan keraguan, “Apakah mereka benar-benar tertindas? Apakah mereka kelompok miskin? Apakah mereka kelompok yang harus dilindungi?”. Yang terakhir adalah kenyataan bahwa mereka “tidak terlihat” karena seringkali menyembunyikan identitasnya. Misalnya jika memiliki kekasih, tidak dapat secara gamblang menunjukkan afeksinya karena ada permasalahan kultur dan agama. Bagi Gadis, keempat hal itu merupakan problem metodologi yang harus dihadapi. Problem itu tercermin dari penelitian Gadis tentang kekerasan terhadap LGBT. Ada gap antara data kuantitatif dengan narasi kualitatif yang didapat dari responden. Misalnya secara kuantitatif, sebanyak 60 persen responden mengaku mengalami kekerasan, tetapi ketika dilakukan wawancara mendalam, hampir seluruhnya pernah mengalami kekerasan baik secara psikis, fisik, ekonomi, maupun seksual. Berbagai hambatan yang dipaparkan tadi mengharuskan peneliti untuk lebih sabar dan cermat dalam menteorisasi temuan-temuannya. Hal lainnya adalah, sebagai subjek penelitian, LGBT memiliki definisi yang sangat kaya sekaligus sangat cair. Kekayaan definisi itu tidak hanya berhenti pada jenis kelamin, tetapi juga orientasi seksual, identitas, ekspresi gender dan lain sebagainya. Sayangnya kekayaan dan kecairan itu di sisi lain menjadi dasar bagi penindasan terhadap mereka. Kesulitan untuk merumuskan definisi itu menjadi masalah yang berdampak pada berbagai hal, contoh yang paling signifikan adalah kebijakan-kebijakan negara, seperti Kartu Tanda Penduduk yang tidak mengakui gender ketiga. Akhirnya hak-haknya sebagai warga negara tidak terpenuhi. Misalnya dalam hal pernikahan, sebagai kelompok yang “tidak terlihat”, teman-teman LGBT dilarang untuk menikah, “Padahal semua orang punya hak untuk mencintai”, papar Gadis. Dalam penelitian mengenai LGBT, Gadis lebih mengandalkan analisis narasi dibandingkan dengan data kuantitatif. Gadis mengatakan, “Menurut saya, mendengarkan mereka bercerita membuat saya lebih memahami mereka.” Lebig lanjut ia mengatakan, “Seringkali kebijakan negara hanya memikirkan distribusi, tidak mau mendengarkan konversasi.” Dengan mendengarkan suara mereka, kita baru bisa memahami dan membuat kebijakan yang adil. Persoalannya adalah suara-suara itu tidak muncul, pengalaman mereka tidak terkisahkan. Di dalam penelitiannya, Gadis juga menyoal absennya negara dalam melindungi hak-hak LGBT. Di dalam kasus kekerasan terhadap LGBT, ketika teman-teman melapor, otoritas terkait justru cenderung membenarkannya karena mereka dianggap menyimpang, dan malah diancam untuk diperkosa. Dalam hal ini negara absen, otoritas tidak mau melindungi. Yang muncul adalah perda-perda yang mengkriminalisasi homoseksual. Yang terakhir, mengenai makna hidup dan kebahagiaan bagi kaum LGBT, Gadis mengatakan, “Jika bagi Aristoteles tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, apakah ada kebahagiaan bagi mereka?”. Satu hal penting yang jarang ditemukan oleh teman-teman LGBT adalah dukungan dari keluarga. Mayoritas mereka memiliki kedekatan dan kepercayaan yang lebih besar kepada sahabat-sahabatnya, bukan keluarga. Mengenai pernikahan, itu merupakan hal yang sangat jauh dari pikiran mereka. Harapan mereka adalah tidak lagi mendapatkan pelecehan dan penindasan dari masyarakat. Yang terpenting bagi teman-teman LGBT saat ini bukan persoalan distribusi, tetapi rekognisi. (Lola Loveita) Pendidikan Publik JP87 Keragaman Gender dan Seksualitas: Mengakui Perbedaan, Merayakan Keragaman6/12/2015
Dalam rangka hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sekaligus Peluncuran JP87 tentang Keragaman Gender dan Seksualitas, Jurnal Perempuan bersama Ardhanary Institute dan HIVOS menyelenggarakan Pendidikan Publik JP87 pada Sabtu (5/12) di Joglo Patheya, Jakarta. Acara yang dihadiri sebanyak 70 peserta dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, aktivis, akademisi, dan wartawan ini dipandu oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Dewi Candraningrum yang juga sekaligus menjadi moderator. Dewi membuka acara dengan mengungkapkan bahwa siang ini merupakan awal bagi kita semua untuk bertemu di bulan Desember sekaligus merayakan perbedaan. Acara dibuka dengan sambutan oleh Sjamsiah Achmad yakni perempuan Indonesia pertama yang berada di UN Women dan juga Ketua Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik sekaligus SJP (Sahabat Jurnal Perempuan) sejak tahun 2012. Sjamsiah memberikan ucapan terima kasih pada Jurnal Perempuan dan menyampaikan pesan pada para generasi muda agar meneruskan apa yang sudah diperjuangkan dan dilakukan Jurnal Perempuan. Syamsiah juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak asing dengan Calalai, karena sejak kecil dia sudah mengenal dan akrab dengan calalai dan mereka juga sangat diterima dan memiliki tugas tersendiri di dalam masyarakat. Ia mengatakan bahwa calalai adalah juga manusia dan karenanya kita harus bersama-sama membangun masyarakat menjadi lebih baik. Acara dilanjutkan dengan pidato pembuka oleh Direktur Ardhanary Institute Agustine. Dalam sambutannya Agustine menyatakan rasa terima kasihnya kepada Jurnal Perempuan yang tidak hanya berkontribusi pada gerakan perempuan secara umum tetapi juga pada gerakan LGBT. Ia menambahkan bahwa JP edisi 87 merupakan edisi tertebal dan dari segi konten Agustine merasa senang karena teori Queer sudah dibahas dalam jurnal ini. Ia juga berharap para peserta yang hadir dapat membaca jurnal yang tebal tersebut hingga tuntas. Usai pidato pembuka, Pendidikan Publik pada siang hari itu dibuka oleh salah satu pendiri Jurnal Perempuan Toeti Heraty. Sebelum membuka acara Toeti Heraty mengajak para peserta untuk mengheningkan cipta sejenak mengenang Prof. Dr. Benny Hoedoro Hoed, pakar linguistik sekaligus pemilik Joglo Patheya, yang menjadi SJP sejak 2012 dan meninggal bulan lalu. Terkait dengan tema diskusi tentang Keragaman Gender dan Seksualitas, Toeti mengatakan kita bisa membayangkan sebuah kontinum dengan perempuan berada di ujung yang satu dan laki-laki di ujung yang lain dan kita dapat memilih berada dimana saja diantara keduanya. Ada kebebasan untuk menentukan pada kontinum tersebut, kita mau berdiri dimana. Toeti kemudian menceritakan pengalaman dan kedekatannya dengan seorang transgender yang tak lain adalah kaptersnya, juga interaksinya dengan kenalannya di Amsterdam, pasangan lesbian. Sambutan dari pendiri JP disambung dengan sambutan dari Rahayu, pemilik Joglo Patheya yang mengungkapkan terima kasih pada Jurnal Perempuan yang sudah menggunakan restoran miliknya untuk acara pendidikan publik. Dalam kesempatan tersebut Rahayu mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan restoran miliknya tersebut sebagai tempat untuk buku-buku almarhum Benny Hoed dan kegiatan-kegiatan yang selama ini didukung almarhum. Karenanya ia berencana untuk mengadakan kursus-kursus bagi ibu-ibu dan anak yatim, salah satunya kursus penerjemahan hukum karena dirinya seorang pengacara. Usai sambutan acara dilanjutkan dengan sesi diskusi yang menghadirkan pembicara ketiga penulis JP87, yakni Gadis Arivia, Pengajar Filsafat, FIB UI sekaligus Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Hendri Yulius Wijaya, alumnus Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore dan Masthuriyah Sa’dan, dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dewi Candraningrum moderator diskusi membuka sesi dengan memaparkan bahwa di abad ke-21, pergerakan di Amerika, Eropa, Afrika Selatan dan sebagian besar Amerika Latin menunjukkan bahwa basis perbedaan adalah basis keragaman dan hal itu menjadi satu modus pemberangkatan sebuah perayaan. Jadi tidak ada alasan lagi bahwa perbedaan itu menjadi dasar eksploitasi. Tetapi perbedaan adalah dasar dari perayaan. Gadis Arivia mengawali diskusi dengan memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Abby Gina yang tentang makna hidup bagi LGBT. Gadis mengemukakan ada problem metodologi yang ia hadapi ketika melakukan riset tersebut. Ia dihadapkan pada 4 hal ketika meneliti LGBT, yakni pandangan agama, anggapan bahwa LGBT terkait dengan gaya hidup, asosiasi LGBT dengan kehidupan glamor dan terakhir, banyak LGBT yang tidak mau orientasi seksualnya diketahui. Sementara Hendri Yulius memaparkan kajian tentang teori queer. Ia memaparkan perkembangan teoritis kajian seksualitas dari sejumlah pemikir, mulai dari Foucault hingga Deleuze, termasuk juga kontribusi feminisme. Pembicara terakhir, Masthuriyah Sa’dan mengupas pemikiran Khaled M. Abou El-Fadl yang mengurai ketegangan antara agama Islam dan HAM dengan menggunakan pendekatan social humanity contemporary sebagai pijakan bagi fikih yang ramah LGBT. Paparan para narasumber diikuti dengan sesi tanya jawab yang membuka kesempatan bagi peserta untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan. Baby Jim Aditya mengungkapkan apresiasinya kepada Jurnal Perempuan dan Ardhanary Institute yang menggelar diskusi tentang LGBT secara terbuka. Sebagai psikolog sekaligus seksolog Baby membuka diri bagi teman-teman yang membutuhkan layanan psikologi klinis yang ramah LGBT. Sementara Lui menyampaikan pertanyaan tentang pandangan agama khususnya Islam yang membuat homoseksual menjadi denial ketika terhimpit nilai-nilai agama. Penanya yang lain, Jonta dari Hivos menanyakan rekomendasi bagi mereka yang menindas LGBT atas alasan agama. Diskusi ditutup oleh Julia Suryakusuma yang mengungkapkan rasa harunya mengingat di acara pendidikan publik siang hari itu dia mengetahui bahwa kajian seksualitas yang dulu dia rintis kini ada yang meneruskan. Ia menambahkan sebagai generasi awal kini ia ingin belajar dari generasi ketiga yang hadir hari itu. Usai diskusi acara dilanjutkan dengan open forum berupa yoga dengan instruktur Gadis Arivia dan pemeriksaan payudara dan VCT (Voluntary Consultation and Testing) dari PKBI bagi peserta yang berminat. Pendidikan Publik kali ini juga dihadiri oleh sebagian besar penulis JP87, selain ketiga penulis yang menjadi pembicara, seperti BJD. Gayatri, Hartoyo, Yulianti Muthmainah dan Nur Iman Subono. Dalam acara ini juga ada pameran produk dari Ardhanary Institute, Jurnal Perempuan, ASPPUK dan Sri Kendes. (Anita Dhewy) Dewi Candraningrum: Seksualitas Seharusnya Tidak Direduksi Menjadi Rasa Malu dan Kejijikan3/12/2015
Kamis, 3 Desember 2015, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI bekerjasama dengan SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies), SEPERLIMA dan didukung oleh UN Women mengadakan parade film dan seminar “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja” dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Auditorium Komunikasi, FISIP UI Depok. Acara ini berlangsung selama 2 hari, pada hari rabu 2 Desember telah berlangsung pemutaran film dan pada hari pelaksanaan seminar tersebut. Seminar ini mengundang Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan), Tinuk (Puska Perlindungan Anak), dan Syaldi Sahude (Aliansi Laki-laki Baru). Sebelum masuk pada sesi diskusi, panitia memutarkan film pendek produksi SEPERLIMA yang berjudul “Masa Sih”. Film tersebut menggambarkan tentang bagaimana seksualitas sangat tabu untuk diperbincangkan oleh siswa di lingkungan sekolah. Di dalam film tersebut akhirnya ada sosok guru yang memberikan pencerahan dan pembahasan yang sangat terbuka mengenai seksualitas sehingga siswa tidak segan untuk berdiskusi lebih dalam. Para peserta yang datang dari berbagai kalangan itu turut terhibur dengan film yang berdurasi 15 menit tersebut. Materi pertama pada seminar ini disampaikan oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan. Dewi Candraningrum dalam presentasinya menyampaikan bahwa sebenarnya peradaban Indonesia mempunyai hutang besar pada kelamin kita. Dewi menjelaskan mengenai buku yang ditulis Freud yaitu The Riddle of Femininity yang menjelaskan bahwa pada seksualitas perempuan ada kecemburuan terhadap penis yang disebut penis envy. Ia juga menjelaskan bahwa pada abad pertengahan Eropa itu menempatkan seks sebagai shame dan disgust, sebagai sesuatu yang memalukan dan menjijikkan. “Peradaban kita telah mereduksi apa yang disebut kelamin seperti yang terjadi pada abad pertengahan Eropa”, Dewi menegaskan. Karena menurutnya sebelum Portugis dan Belanda masuk, Indonesia mempunyai rekam jejak dan dokumentasi yang agung dan suci mengenai seksualitas, seperti Lingga dan Yoni yang ada di Candi Ceto. Mitos seks di Nusantara itu digambarkan sebagai ritual yang suci. “Peradaban, negara dan kita semua punya hutang pada kelamin”, sekali lagi Dewi menegaskan. Dia menyebutkan tragedi Jugun Ianfu pada tahun 1945, Gerwani pada 1965 dan sampai dengan tragedi perkosaan pada perempuan etnis Tionghoa membuktikan bahwa seksualitas itu bisa menjadi alat politik yang sangat efisien untuk melancarkan fitnah dan menutupi sejarah—seperti pada tulisan Saskia Wieringa, Sexual Slander, di Indonesian Feminist Journal Vol.3. “Kita punya hutang terhadap kelamin, karena meletakkan seksualitas sebagai kejijikkan yang kemudian ditutup oleh tirai-tirai yang disebut tabu, ditambah lagi dengan diakselerasi oleh tafsir-tafsir konservatif. Pengetahuan seksualitas kita semakin mundur”, tutur Dewi. Pada kesempatan ini juga Dewi menceritakan tentang pengalamannya mengadvokasi korban perkosaan terduga Raja Solo yang pada saat memberikan kesaksian di pengadilan dia tidak sanggup memberikan pernyataan, seperti apa yang disebutkan Freud sebagai hysteria. “Mitos besar itu menjadikan keperawanan sebagai sesuatu dokumen penting yang tidak boleh rusak atau hilang, sehingga korban perkosaan akan teropresi karena mitos itu”, tutur Dewi. Menurut Dewi seharusnya kita menanamkan kepada anak-anak kita bahwa nilai dan harga diri bukan diukur dari seksulitas tapi diukur dari karya. Hal itu menjadi catatan penting karena perempuan korban perkosaan yang depresi, gila atau hysteria itu kesaksiannya tidak dipertimbangkan di mata hukum. “Narasi yang tumbuh di masyarakat adalah seperti narasi Freud mengenai maskulinitas yang harus menindas feminitas”, ungkap Dewi. (Andi Misbahul Pratiwi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |