Dewi Candraningrum: Seksualitas Seharusnya Tidak Direduksi Menjadi Rasa Malu dan Kejijikan3/12/2015
Kamis, 3 Desember 2015, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas UI bekerjasama dengan SGRC UI (Support Group and Resource Center on Sexuality Studies), SEPERLIMA dan didukung oleh UN Women mengadakan parade film dan seminar “Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak dan Remaja” dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Auditorium Komunikasi, FISIP UI Depok. Acara ini berlangsung selama 2 hari, pada hari rabu 2 Desember telah berlangsung pemutaran film dan pada hari pelaksanaan seminar tersebut. Seminar ini mengundang Dewi Candraningrum (Pemred Jurnal Perempuan), Tinuk (Puska Perlindungan Anak), dan Syaldi Sahude (Aliansi Laki-laki Baru). Sebelum masuk pada sesi diskusi, panitia memutarkan film pendek produksi SEPERLIMA yang berjudul “Masa Sih”. Film tersebut menggambarkan tentang bagaimana seksualitas sangat tabu untuk diperbincangkan oleh siswa di lingkungan sekolah. Di dalam film tersebut akhirnya ada sosok guru yang memberikan pencerahan dan pembahasan yang sangat terbuka mengenai seksualitas sehingga siswa tidak segan untuk berdiskusi lebih dalam. Para peserta yang datang dari berbagai kalangan itu turut terhibur dengan film yang berdurasi 15 menit tersebut. Materi pertama pada seminar ini disampaikan oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan. Dewi Candraningrum dalam presentasinya menyampaikan bahwa sebenarnya peradaban Indonesia mempunyai hutang besar pada kelamin kita. Dewi menjelaskan mengenai buku yang ditulis Freud yaitu The Riddle of Femininity yang menjelaskan bahwa pada seksualitas perempuan ada kecemburuan terhadap penis yang disebut penis envy. Ia juga menjelaskan bahwa pada abad pertengahan Eropa itu menempatkan seks sebagai shame dan disgust, sebagai sesuatu yang memalukan dan menjijikkan. “Peradaban kita telah mereduksi apa yang disebut kelamin seperti yang terjadi pada abad pertengahan Eropa”, Dewi menegaskan. Karena menurutnya sebelum Portugis dan Belanda masuk, Indonesia mempunyai rekam jejak dan dokumentasi yang agung dan suci mengenai seksualitas, seperti Lingga dan Yoni yang ada di Candi Ceto. Mitos seks di Nusantara itu digambarkan sebagai ritual yang suci. “Peradaban, negara dan kita semua punya hutang pada kelamin”, sekali lagi Dewi menegaskan. Dia menyebutkan tragedi Jugun Ianfu pada tahun 1945, Gerwani pada 1965 dan sampai dengan tragedi perkosaan pada perempuan etnis Tionghoa membuktikan bahwa seksualitas itu bisa menjadi alat politik yang sangat efisien untuk melancarkan fitnah dan menutupi sejarah—seperti pada tulisan Saskia Wieringa, Sexual Slander, di Indonesian Feminist Journal Vol.3. “Kita punya hutang terhadap kelamin, karena meletakkan seksualitas sebagai kejijikkan yang kemudian ditutup oleh tirai-tirai yang disebut tabu, ditambah lagi dengan diakselerasi oleh tafsir-tafsir konservatif. Pengetahuan seksualitas kita semakin mundur”, tutur Dewi. Pada kesempatan ini juga Dewi menceritakan tentang pengalamannya mengadvokasi korban perkosaan terduga Raja Solo yang pada saat memberikan kesaksian di pengadilan dia tidak sanggup memberikan pernyataan, seperti apa yang disebutkan Freud sebagai hysteria. “Mitos besar itu menjadikan keperawanan sebagai sesuatu dokumen penting yang tidak boleh rusak atau hilang, sehingga korban perkosaan akan teropresi karena mitos itu”, tutur Dewi. Menurut Dewi seharusnya kita menanamkan kepada anak-anak kita bahwa nilai dan harga diri bukan diukur dari seksulitas tapi diukur dari karya. Hal itu menjadi catatan penting karena perempuan korban perkosaan yang depresi, gila atau hysteria itu kesaksiannya tidak dipertimbangkan di mata hukum. “Narasi yang tumbuh di masyarakat adalah seperti narasi Freud mengenai maskulinitas yang harus menindas feminitas”, ungkap Dewi. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |