![]() Antroposentrisme, yaitu perspektif bahwa manusia merupakan pusat atau ukuran sentral dari segala-galanya telah mereduksi lingkungan sebagai yang liyan. Alam hanya dianggap sebagai benda untuk dieksploitasi, dikonsumsi dan dimodifikasi demi terpenuhinya kebutuhan manusia. Logika antroposentrisme memberikan jalan bagi eksploitasi alam yang pada hari ini didukung oleh intervensi teknologi. Akibatnya tidak dapat dihindari, yaitu krisis lingkungan dengan berbagai bentuk yang mengorbankan manusia itu sendiri. Kalkulasi eksploitasi lingkungan pada akhirnya hanya terbatas pada profit korporasi, tidak pernah pada korban. Pada seminar “Keadilan Ekologis” yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Filsafat FIB UI pada hari Senin (8/12/14) di auditorium gedung I FIB UI Depok, para korban eksploitasi lingkungan dihadirkan untuk memberikan kesaksian langsung mengenai pengalaman mereka dalam perjuangannya menyelamatkan lingkungan, seperti Sukinah (petani Rembang) dan Wayan (nelayan Benoa). Selain itu dihadirkan pula Sardi (warga Baduy) yang berbagi kisah tentang kehidupan masyarakatnya yang sangat dekat dengan alam. Di dalam diskusi ini hadir pula para ahli dan akademisi sebagai pembicara seperti Abetnego Tarigan (Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menganalisa permasalahan lingkungan berdasarkan data-data yang ada dan Rocky Gerung (dosen Filsafat FIB UI) yang menggunakan pendekatan filosofis untuk mengkaji relasi subjek-objek manusia dengan alam. Diskusi ini juga dimoderatori oleh Saras Dewi (ketua Program Studi Filsafat FIB UI). Mereka yang Membela Alam Wayan Perak, seorang nelayan dari desa Kedonganan, selama berbulan-bulan tidak lagi melihat ikan yang dulu berkelimpahan di perairan Benoa. Reklamasi yang dilakukan oleh korporasi dengan mengeruk perairan Benoa telah merusak ekosistem dan lingkungan hidup di sekitarnya. Ikan-ikan mati dan para nelayan kecil seperti Wayan kehilangan pekerjaan. Wayan mengaku sebelum ada reklamasi, ia bisa mendapat ratusan ikan setiap harinya. Eksploitasi itu juga berdampak bagi kegiatan spiritual masyarakat Bali karena luapan air akibat pengerukan membanjiri Pura di sekitarnya. Pengerukan di perairan Benoa juga akan mengakibatkan air pasang yang bisa merusak desa-desa di sekitarnya. Jika terjadi, dampaknya akan sangat ekstrem karena sungai-sungai di desa sekitar bergantung pada Benoa. Perlawanan Bali Menolak Reklamasi yang selama ini dilakukan Wayan direspons oleh aparat dengan merobek baliho-baliho yang terpasang agar para pejabat yang datang tidak melihat permasalahan itu. Hal itu tidak menghentikan perjuangan Wayan dan masyarakat Bali untuk menolak reklamasi. Pada akhir kesaksiannya, Wayan Perak mengepalkan tangan dan berkata, “Tolak reklamasi!” Perlawanan dari perempuan memiliki warna yang berbeda. Di Rembang, terutama di Gunung Kendeng, dilakukan pertambangan karst untuk bahan baku semen dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia. Eksploitasi itu mendapat perlawanan dari para petani Rembang yang terdiri dari ibu-ibu petani. Sukinah, salah satu petani memberikan kesaksian tentang perjuangan mereka mempertahankan lingkungan. Sukinah bercerita, para ibu-ibu petani melakukan perlawanan dengan lesung, alat dalam pertanian yang digunakan untuk menumbuk padi. Mereka bermain musik dengan Lesung sambil menyanyikan lagu berbahasa Jawa tentang kesedihan dan kepedihan Ibu Pertiwi karena buminya dirusak. Bagi Sukinah, lesung adalah simbol dari petani, bahwa kehidupan petani sangat dekat dengan alam. Sebelum Sukinah bersaksi, diputar video yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh brimob kepada ibu-ibu petani di Rembang. Mereka dipukuli, dilempar ke semak-semak dan bahkan dicekik oleh aparat. Murtini, ibu yang dipukuli oleh brimob karena mempertahankan lesung juga hadir dan menceritakan kejadian itu. Di antara ibu-ibu yang melakukan aksi penolakan, beberapa ada juga yang sedang hamil. Mereka sangat tidak menginginkan alamnya dirusak demi kepentingan profit karena mereka memiliki kedekatan langsung dengan alam. Mereka begitu mencintai alam sehingga ketika pihak korporasi menawarkan sejumlah uang kompensasi, mereka menolaknya. Ibu-ibu petani Rembang lebih memilih hidup sederhana dengan alam. Bagi mereka, uang tidak bisa menggantikan kesederhanaan hidup dekat dengan alam. Kesaksian terakhir datang dari Sardi, seorang warga dari Desa Cibideo, Baduy. Sardi menceritakan kegiatan masyarakat Baduy yang banyak diisi dengan bertani dan membuat kerajinan tangan. Masyarakat Baduy menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Mereka membagikan hasil panen padi kepada warga untuk dikonsumsi bersama. Padi bukan komoditas yang diperjualbelikan di sana. Untuk wisatawan, mereka menjual buah-buahan seperti duku, petai dan duren serta hasil kerajinan tangan seperti tas, selendang dan kain. Transaksi dengan uang memang dilakukan, terutama dengan wisatawan, meskipun sistem barter masih ada. Uang yang mereka miliki sebagian besar digunakan untuk keperluan kemasyarakatan. Masyarakat Baduy memiliki ritual kawalu yang dilakukan selama tiga bulan dalam satu tahun. Saat kawalu mereka berpuasa dan tidak memperbolehkan wisatawan datang. “Manusia memiliki sifat rakus,” ucap Sardi, sehingga ritual itu perlu dilakukan. Mereka bersikap resisten terhadap teknologi non-alamiah. Mereka tidak menggunakan sabun, shampoo maupun odol untuk membersihkan badan. Cukup dengan air. Resistensi itu juga dibuktikan dengan penolakannya terhadap bantuan listrik dari pemerintah. “Tidak boleh, jadi kami tolak,” papar Sardi. Soal pakaian, hanya warna hitam dan putih yang diizinkan. Warna bagi mereka mencerminkan ego untuk mengeskpresikan diri. Mereka lebih memilih hidup sederhana dan dekat dengan alam tanpa ada intervensi teknologi modern. Masyarakat Baduy sangat memahami bahwa mereka hidup dari alam sehingga kultur mereka akrab dengan nilai-nilai konservasi. Hadirkah Negara? Berbagai kesaksian tadi hanyalah segelintir dari jutaan masyarakat Indonesia yang memiliki persoalan serius dengan lingkungan. Persoalan lingkungan terakhir adalah asap di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sekarang di Papua. Bagi Abetnego, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), hal yang mendasari praktik ini adalah terbatasnya daya dukung lingkungan untuk memenuhi hasrat manusia yang tidak terbatas. Pada kasus Rembang, argumentasi dari keputusan pemerintah selalu soal infrastruktur, tetapi tidak pernah mengeluarkan data berapa banyak semen yang kita butuhkan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa “kita”? Siapa korbannya? Apa alasan yang membenarkan masyarakat Rembang bisa menjadi korban? “Ujung-ujungnya untuk diimpor,” papar Abetnego. Alhasil nasib 600 ribu manusia yang bergantung dengan kawasan itu harus dikorbankan. Apakah semua petani harus menjadi buruh pabrik? Sama dengan Teluk Jakarta yang diidekan akan dibangun Giant Sea Wall. Mau diapakan masyarakat sekitarnya? Eskploitasi lingkungan berlebihan menciptakan bencana ekologis yang non-alamiah. Bencana yang diakibatkan oleh praktik manusia itu memberikan efek terhadap pranata sosial. Bencana ini bukan hanya bersifat temporer, namun permanen. Dibanding tahun 2012, bencana ekologis naik 300%. Terdapat 6700 desa dan kelurahan yang rusak karena eksploitasi ekonomi. Terkait dengan ini, bagaimana respons negara? Menurut Abetnego, “Yang pertama, komplain-komplain cenderung ditolak, yang kedua tidak ditindaklanjuti, yang ketiga presentasi investigasi sangat kecil dan yang keempat justru negara mengkriminalisasi komunitas tertentu.” Pada Bulan Maret lalu WALHI menggelar rapat akbar dengan tema “Menghadirkan Kembali Negara”. Secara politik negara ini mengalami perubahan situasi. Hari ini penguasa ekonomi adalah penguasa politik. Siapa yang menguasai SDA di berbagai daerah, itu yang menguasai politik. Penguasa ekonomi bertarung mengikuti kontestasi dan duduk di lembaga-lembaga negara. Pemerintahan Indonesia 60% diisi oleh para pengusaha besar yang banyak bergerak di bidang SDA yang memiliki risiko ekologis cukup besar. Di samping itu Abetnego juga menjelaskan adanya tiga faktor dalam penyelenggaraan negara, yaitu negara absen dalam lemahnya penegakan hukum, rendahnya respons terhadap komplain warga karena tidak ada mekanisme dan kebijakan yang tumpang tindih sehingga tidak ada yang bertanggung jawab. Di samping itu presiden-presiden yang lalu seringkali mengeluarkan kebijakan pro-investasi di menit-menit terakhir kekuasaannya seperti Perpres mengenai Teluk Benoa. WALHI mencari siapa dalangnya, namun dibalik itu negara yang membuat kebijakan. Di situlah kelemahannya. Isu ekologis akan menghadapi tantangan serius selama belum ada perubahan mendasar mengenai paradigma pembangunan. Jokowi secara umum masih menggunakan pendekatan yang sama, hanya mengurangi konsumsi batubara. Yang dibutuhkan hari ini adalah bagaimana kita dapat mendorong aspek keadilan dan keberlanjutan di dalam pembangunan. Dari Natural Rights menjadi Right of The Nature “Bila manusia menghancurkan buatan manusia, dibilang vandal. Bila manusia menghancurkan buatan tuhan, disebut membangun. Di situlah problemnya,” papar Rocky Gerung. Teologi telah menginstruksi manusia untuk menguasai alam; Kuberikan alam ini dan kuasailah. Cara manusia memandang alam adalah bentuk praktik teologi naturalisme. Alam adalah objek, manusia adalah subjek. Premis itu merupakan racun pertama yang merusak lingkungan dan itulah yang harus kita kritisi dan persoalkan. Kita harus mengubah itu untuk memberikan alam jenis justice baru. Setelah mengalkulasi alam, manusia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia memiliki keterbatasan akses terhadap ontologi alam. Sekarang kita mencoba melihat jenis baru dari keadilan, yaitu keadilan ekologis. Untuk itu harus ada pergantian epistemologi dari natural rights menjadi rights of the nature. Sejak dulu, manusia sudah biasa menguasai alam, namun sekarang kita harus menghormati alam dan memahami bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang tidak dapat dikomputasikan. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak juga tidak memiliki hak, namun pemahaman akan hak kemudian berevolusi. Manusia memiliki kemampuan untuk bertumbuh di dalam hak, karena itu kita mengenali keadilan. Hak demikian berkembang sampai pada pengertian yang dianggap absurd. Hanya bila kita mampu menyusun teori etika baru mengenai hak, kita bisa pindah kepada rights of the nature. Upaya itu merupakan hasil telaah filosofis yang ketat dan pergumulan politik yang keras, sampai sekarang kita memahami bahwa alam memiliki hak. Pada tahun 1960-an di kampus Ohio, tidak ada lagi terdengar kicau burung di musim semi seperti biasanya. Seorang profesor bernama Rachel Carsen mulai curiga dan meneliti hal tersebut. Rupanya burung-burung mati karena memakan buah-buahan yang mengandung pestisida. Seharusnya burung-burung itu bisa melakukan protes karena hidupnya diintervensi oleh bahan-bahan kimia. Apel-apel berpestisida hasil dari pabrik itu disediakan untuk diimpor demi kebutuhan konsumen. Artinya burung-burung itu dapat mengatakan bahwa ia dibunuh oleh para konsumen apel impor. Di dalam buku The Silent Spring, begitulah cara logika ekologi bekerja. Ekologi memiliki nilai intrinsik dan menulis hukumnya sendiri sehingga kita memiliki dua entitas, ekologi dan antropologi. Suatu hari di Amerika ada upaya perataan perbukitan di bagian barat. Christopher Stone, seorang profesor filsafat membuat sebuah tulisan berjudul “Should Trees Have Standing?”. Stone mengatakan tulisan itu mewakilkan kepentingannya bahwa pohon memiliki hak. Sejak itu terjadi evolusi dalam cara kita melihat subjek hukum akibat dari kekuatan seseorang menghasilkan dalil. Akhirnya value evolves, ethics evolves, rationality evolves, legal form evolves. Begitulah peradaban tumbuh dari pergeseran etika, seperti pada hari ini ethics of care yang merupakan etika feminis. Perempuan dan bumi adalah satu nafas kehidupan. Penggunaan Llsung dalam perjuangan Sukinah merupakan simbol bahwa jika kita mengeksploitasi bumi sama dengan kita mengeksploitasi perempuan. Di dalam hierarki sosial, perempuan ada di lapisan paling bawah, dasar. Untuk itu di dalam keadilan ekologis kita harus melihat sesuatu secara non-fisik, non-matematis. Keadilan ekologi adalah memahami nilai intrinsik di dalam logika ekologi. Itu yang harus diterangkan kepada publik dan pemerintah. Di Indonesia, istilah ekologi lebih dekat dengan ekonomi. Padahal alam menulis hukumnya sendiri dan manusia adalah furniture bagi alam, oleh karena itu harus kompatibel dengan hukum yang intrinsik. Kesimpulan Terpecahnya relasi manusia dengan alam dibuktikan dengan adanya praktik-praktik eksploitasi alam berlebihan demi kepentingan profit yang sesungguhnya memiliki dampak bagi manusia, dan seringkali yang paling utama perempuan. Perempuan adalah pihak yang sangat dekat dengan ruang-ruang domestik sehingga ketika kerusakan lingkungan mengakibatkan kelangsungan hidup keluarganya terganggu, mereka melawan. Abetnego menceritakan pengalamannya di Kalimantan Barat pada tahun 2001. Saat itu ada megaproyek perkebunan sawit. Di dalam kalender pembagian kerja perempuan dan laki-laki, selama dua belas bulan penuh diisi oleh perempuan. Namun ketika pengambilan keputusan, laki-laki yang menentukan, padahal mereka tidak banyak bersinggungan langsung. Praktik seperti ini meluas di masyarakat. Pada hari ini keadilan berbicara mengenai subjek yang awalnya laki-laki, perempuan, anak-anak dan kini alam. Pendekatan yang ada sejak tahun 1960-an yang diawali dengan melakukan pergeseran makna objek sudah membuahkan banyak UU dan hukum positif yang secara eksplisit memperjuangkan hutan dan wilayah konservasi. Pemahaman baru mengenai objek menekankan pada nilai intrinsiknya. Namun problemnya adalah di manakah nilai intrinsik itu? Logika ekologi sesungguhnya adalah logika interkoneksi. Yaitu bagaimana semua entitas di kehidupan ini berjejaring dan saling terkait yang satu dengan yang lain sehingga kesadaran ini menimbulkan dimensi tanggung jawab mengenai keberlangsungan semua makhluk hidup. (Lola Loveita, mahasiswi Filsafat FIB UI) ![]() "Kekerasan-kekerasan harus ditolak Apapun bentuknya harus ditolak Kekerasan fisik…no Kekerasan psikis...no Kekerasan seksual dan ekonomi No..no..no" Yel yang dinyanyikan dengan irama jingle bell di atas mengiringi rombongan perempuan Jejer Wadon yang mengawali aksinya dari Plaza Sriwedari menuju Bundaran Gladag, Surakarta, Minggu (14/12/14). Aksi ini hadir sebagai bagian dari rangkaian kegiatan 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dengan mengusung agenda Darurat Kekerasan Seksual Pada Anak. Sebagaimana laporan yang dilansir oleh BAPERMAS PP PA & KB pada tahun 2013 terdapat 207 kasus kekerasan yang tercatat di wilayah Solo Raya, dimana dari data tersebut sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Sembari berjalan melintasi jelujur jalanan Slamet Riyadi, aksi diawali dengan pembacaan orasi anti kekerasan dan pentingnya menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi para korban serta mendorong masyarakat agar berperan aktif dalam menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Puncak aksi ini ditandai dengan ibadah puisi yang dibacakan oleh beberapa anggota kelompok perempuan Jejer Wadon di sekitar Bundaran Gladag. Hari raya Natal dan tahun baru 2015 tinggal menghitung hari. Mereka yang tergabung dalam jaringan perempuan Jejer Wadon mendamba akan harapan baru bagi terwujudnya masyarakat yang nol kekerasan. Semoga! (Wida Puspitosari) Jaleswari Pramodhawardani: Terpilihnya 8 Perempuan Menteri adalah Permulaan Gerakan Perempuan10/12/2014
![]() Jaleswari Pramodhawarni, peneliti LIPI yang menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik dan Peluncuran Jurnal Perempuan edisi 83 "Perempuan dalam Kabinet", Selasa (9/12) menyatakan bahwa terpilihnya delapan perempuan menteri dalam Kabinet Kerja Jokowi merupakan permulaan Gerakan Perempuan. Terpilihnya delapan menteri perempuan adalah suatu perubahan struktur yang diharapkan menjadi perubahan kultur. "Ketika perempuan terpilih menjadi menteri, ia pasti dijejal dengan pertanyaan mampukah ia memimpin? Sedangkan laki-laki tidak ditekan dengan pertanyaan yang sama ketika terpilih", ucapnya dalam diskusi yang diadakan di Hall Dewan Pers, Jakarta Pusat tersebut. Lebih lanjut Jaleswari mengatakan hari-hari ini soal jumlah perempuan dalam posisi pengambil kebijakan tetap menjadi aspek penting meskipun faktor perspektif juga tidak dapat diabaikan. Karena itu gerakan perempuan harus mendukung delapan menteri perempuan yang ada di kabinet karena masuk dalam kabinet berarti masuk dalam ruang laki-laki. Dan dukungan terhadap mereka dapat menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan sama baiknya seperti halnya kepemimpinan laki-laki. Terlebih delapan perempuan tersebut hadir di kabinet dalam situasi masyarakat dimana pengaruh rezim militer belum hilang dan pengaruh agama menjadi sangat kuat. (Nadya Karima Melati) Jeffrey A. Winters: Menyelamatkan Manusia dan Bumi dengan Menaikkan Partisipasi Perempuan10/12/2014
![]() Kuota pencalonan perempuan 30% dalam partisipasi politik Indonesia menurut Jeffrey A. Winters, Profesor dari Northwestern University ini dinilai masih kurang dan harus ditambah. Pernyataan ini disampaikan dalam acara Pendidikan Publik dengan tema “Perempuan dalam Kabinet” yang diselenggarakan Jurnal Perempuan pada Selasa (9/12) di Hall Dewan Pers, Jakarta. Ethics of care yang dimiliki dan dilakukan perempuan dari pengalaman kebertubuhannya berguna untuk mengambil dan mengkaji keputusan. "Perjuangan perempuan bukan hanya kesetaraan, bumi dan manusia tidak bisa diselamatkan jika perempuan tidak diberi perwakilan sampai 75% di seluruh bidang," ujarnya. Jeffrey menambahkan setiap perjuangan perempuan harus dicatat seperti kenaikan 100% perwakilan perempuan dalam kabinet kerja pemerintahan Jokowi kini. Terpilihnya delapan menteri perempuan secara simbolis menunjukkan proyeksi yang baik dari pemerintahan Jokowi dalam mengutamakan isu-isu perempuan. Selain itu penting juga melihat posisi perempuan di sektor swasta/bisnis (private sector) dan di bidang agama karena kedua bidang tersebut menjadi konteks dari kabinet. Di bidang bisnis dan keagamaan posisi perempuan masih sangat sedikit. Bahkan jumlah perempuan kurang dari satu persen dari kelompok billionaire di seluruh dunia. Dunia kapital didominasi oleh laki-laki, perempuan tidak dilarang masuk dalam bidang bisnis, tetapi hambatannya sangat banyak. Di bidang agama peran perempuan sangat minim karena dominasi laki-laki di bidang ini hampir sempurna. Agama adalah bidang yang sangat berdampak bagi masyarakat, tetapi sulit untuk direformasi. Perjuangan perempuan di bidang agama jauh lebih sulit dibandingkan di dunia bisnis. (Nadya Karima Melati) ![]() Dalam rangka peluncuran Jurnal Perempuan edisi 83 “Perempuan dalam Kabinet” dan penyebaran pengetahuan, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik pada Selasa (9/12) di Hall Dewan Pers, Jakarta. Acara diskusi yang diikuti sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, akademisi, NGO, profesional, dll ini dibuka dengan opening speech dari Dewan Pembina Yayasan Jurnal Perempuan, Melli Darsa dan keynote speech dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diwakili oleh Asisten Deputi Gender dalam Kesehatan Dewi Yuni Muliati. Melli Darsa memberikan sambutan hangat kepada peserta diskusi dan berharap mereka mengikuti diskusi secara aktif dan partisipatif. Melli juga menyampaikan bahwa dengan meningkatnya jumlah perempuan dalam komposisi kabinet harus ada perubahan yang signifikan terhadap nasib perempuan dan harus lahir kebijakan yang pro gender sedini mungkin. Sementara itu dalam pidato yang dibacakan Dewi Yuni Muliati, Menteri PPPA Yohana Susana Yembise menyampaikan bahwa keterwakilan perempuan belum mencapai 30%, keterwakilan perempuan di DPR-RI hanya 97 kursi, kemudian di DPD hanya 35 kursi (26,51%), di DPRD Provinsi sekitar 16,14%, dan di DPRD kabupaten dan kota 14%. KPPPA akan menindaklanjuti dengan sebuah program penguatan kapasitas perempuan di legislatif agar mereka dapat memahami dan siap menjalankan tugas-tugas mereka. Yohana menegaskan bahwa nantinya akan ada program penguatan perempuan di bidang legislasi, bidang anggaran dan bidang pengawasan. Hal ini menjadi potensi karena dari 38 kementerian, 8 kementerian dipegang oleh perempuan dan sesuai dengan visi-misi KPPPA serta komitmen KPPPA tentang percepatan pembangunan perempuan dan perlindungan anak. Usai sambutan acara dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan pembicara Jeffrey Winters dari Northwestern University, Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI dan Meutia Hatta, Menteri Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009 dengan moderator Dewan Redaksi JP, Nur Iman Subono. Selain itu acara juga diisi pembacaan puisi oleh seorang Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Helga Worotitjan yang siang itu juga bertanggung jawab memandu acara. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Selasa, 09 Desember 2014 Jurnal Perempuan mengadakan pendidikan publik dengan mengangkat tema “Perempuan dalam Kabinet”. Diskusi ini menghadirkan Prof. Dr. Meutia Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan 2004-2009), Jeffrey A. Winters (Director of the Equality Development and Globalization Studies Program, Northwestern University, USA) dan Jaleswari Pramodhawardani (Peneliti LIPI) sebagai narasumber. Meutia Hatta mengawali pembicaraannya dengan sebuah harapan bahwa harus ada perbedaan yang signifikan dengan adanya 8 perempuan di kabinet Jokowi. Ia juga menceritakan pengalamannya sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dimulai dari penanganan korban kekerasan hingga perumusan kebijakan yang berperspektif gender. Dari pengalamannya, Meutia menceritakan kasus kekerasan yang banyak dialami kaum perempuan, di sini ada peran penting perempuan dalam Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk menyelesaikan hal tersebut, karena menurutnya pengalaman perempuan bisa dijadikan sumber pengetahuan dan power sehingga dalam perumusan kebijakan ada ethics of care. Dan setelah lahir sebuah peraturan, diperlukan pelaksanaan yang menyeluruh karena kekerasan tidak hanya terjadi di kelas bawah namun juga di kelas atas, bahkan boleh dibilang kekerasan terjadi di semua level. “saya pernah melakukan konsolidasi bersama tiga kementerian (Menteri Tenaga Kerja, Menteri Kesehatan, Menteri Pemberdayaan Perempuan) mengenai pentingnya ruangan untuk memerah ASI” ungkap Meutia membagi pengalamannya. Menurutnya, hal-hal seperti itu pasti dianggap penting oleh kaum perempuan dan harus ada perhatian lebih dari perempuan yang menduduki jabatan publik, sehingga bisa menjadi sebuah dorongan yang positif dalam hal pemberdayaan perempuan. Ia juga menyoroti soal pembangunan di perkotaan dan pedesaan dimana seringkali kepentingan perempuan tidak diutamakan. Hal ini akan memengaruhi kondisi perempuan di wilayah tersebut. Selain berbicara soal kebijakan, Meutia juga menyoroti tentang perlunya jaminan rasa aman terhadap perempuan ketika berada di transportasi publik. “Menteri-Menteri yang lain harus paham bahwa isu perempuan adalah cross cutting issue,” Meutia melanjutkan, sehingga ada sebuah energi postif dengan keberadaan perempuan dalam kabinet. Ia berharap dengan kenaikan 100% perempuan di kabinet akan ada program pemberdayaan perempuan di setiap kementerian sehingga kepentingan perempuan bisa terakomodir secara masif. (Andi Misbahul Pratiwi) ![]() Persoalan stigma dan diskriminasi berbasis Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB) hampir pasti terjadi pada komunitas LBT. Sedangkan bentuk kekerasan tersebut tidak mudah dinyatakan dan dikonotasikan dalam perspektif hukum. Kekerasan itu sendiri berlapis dan berlangsung paralel. “Karena definisi SOGIEB belum terakomodasi dalam kebijakan negara,” tutur Indriyati Suparno, komisioner Komnas Perempuan (2015-2019) fasilitator Focus Group Discussion (FGD) yang dihelat oleh lembaga Talita Kum dan didukung oleh Hivos di Hotel Sarila Solo, Jumat (5/12/2014). Menurut catatan, SOGIEB adalah konsep yang mudah dipahami dan sejak tahun 2010 dikaji oleh Universitas Indonesia. “Ada banyak situs di internet. Paling banyak terjadi adalah kasus kekerasan seksual. SOGIEB belum ada pembicaran oleh negara,” jelas Reny Kistiyanti direktur Talita Kum menambahkan. Ada seruan dari Talita Kum terkait kasus kekerasan kepada perempuan berbasis SOGIEB. Oleh karena catatan kependudukan tidak mengakomodir Priawan, istilah domestik dari female-male, maka ada pihak kepolisian yang malah mengidentifikasi dan membahas orientasi seksual yang bersangkutan. “Usut saja pelanggaran kasusnya, tanpa membahas orientasi seksualnya,” tutur Reny Kistiyanti. Menanggapi pertanyaan Rahayu Purwaningsih dari lembaga SPEK-HAM tentang budaya patriarki yang punya relasi besar dalam membangun relasi manusia apakah dalam relasi sejenis yang disebut homoseksual bentuk kekerasannya seperti apa. Reny Kistiyanti menjawab bahwa di internal juga terjadi pelaku kekerasan terlepas apakah terjadi relasi patriarki atau bukan. “Priawan atau dalam komunitas lain disebut Buchie, mereka mengadopsi relasi heteroseksual, pembagian kerja juga mengacu kepada heteroseksual yang mainstream. Jika bahwa misalnya feminitas tidak hanya di rumah dan harus kerja, maka itu dilakukan. Menurut saya salah satu kunci untuk mencegah kekerasan dalam internal maka lakukanlah relasi dengan kerelaan,” tutur Reny Kistiyanti. Seorang peserta dari Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Surakarta menyarankan agar diskusi lebih diperluas lagi untuk menghindari kerancuan. “Selama ini kami bekerja berdasarkan laporan yang berkembang di masyarakat. Konsep ini sangat bermanfaat dan silakan jika konsep SOGIEB diperkenalkan pula kepada lembaga pendidikan.” Sedangkan Murti dari Bapermas Surakarta menyilakan agar konsep ini perlu dikaji lagi karena unit Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) untuk tahun 2015 Perda belum dibuat. “Silakan berjejaring dengan 40 lembaga layanan di kota Solo. Kami bersiap hadir untuk diskusi-diskusi penanganan kasus berbasis SOGIEB. Dan juga semoga diakomodasi dalam anggaran perubahan tahun 2015,”tutur Murti. Purwanti dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Yogyakarta menyampaikan informasi bahwa ada kesepakatan nasional tentang kodefikasi Pemilu 2019 “Ada keterwakilan dari masyarakat marginal termasuk dari LGBT,” tutur Purwanti. Menindaklanjuti diskusi yang berlangsung, Purwanti menawarkan jejaring karena jika bisa bergabung maka akan menjadi pressure terhadap negara. “Isu-isu kesehatan jasmani dan rohani yang menjadi persyaratan dalam CPNS, misalnya, apakah juga akan berimbas kepada LGBT?”pungkas Purwanti. (Astuti Parengkuh) ![]() SOREC (Sociology Research Centre) UGM kembali mengadakan diskusi terbuka pada Kamis, 04 Desember 2014. Diskusi yang dimoderatori oleh Dosen Sosiologi UGM, Desintha Dwi Asriani, merupakan diskusi yang ke empat kalinya diadakan oleh SOREC. Diskusi-diskusi sebelumnya membahas mengenai beberapa topik diantaranya, islam radikal, pemuda dan lingkungan serta citizenship. Sedangkan diskusi ke empat ini membahas mengenai ekofeminisme. Diskusi yang dihadiri lebih dari 30 peserta, baik mahasiswa maupun dosen ini dimulai pada pukul 10.00 WIB di Selasar Timur, Fakultas Ilmu Sosial Politik UGM dengan Dr. Phil. Dewi Candraningrum sebagai pembicara. Dewi yang juga merupakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan membuka diskusi dengan memaparkan penelitian yang baru-baru ini dilakukannya mengenai perempuan Kendeng yang menduduki wilayah tambang semen. Dewi mengungkapkan, yang dia teliti adalah fakta perempuan Kendeng yang dilihat melalui perspektif gender. Bukan penelitian mengenai semen atau proses hukumnya. Dia menempatkan dirinya sebagai seorang ibu yang mendatangi ibu-ibu lainnya, meneliti rahim mereka, mencatat berapa yang hamil dan perubahan-perubahan apa yang mereka alami. Tegasnya lagi, penelitian ini merupakan penelitian yang sedang hidup, bahkan prematur dan akan terus berkembang. Antroposentrisme Dalam lima tahun terakhir, ukuran pembangunan kita yaitu MDGs (Millenium Development Goals) sangat positivistik dan deterministik, yaitu didasarkan atas manusia. Alam dianggap sebagai sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Berkebalikan dengan filsafat ekofeminisme yang menganggap pohon, binatang adalah makhluk yang juga bagian dari diri kita. Bertahun sebelum kita lahir, bila nenek moyang kita hendak menebang pohon mereka melakukan berbagai ritual sebagai penghormatan pada alam. Namun saat ini untuk menemukan pohon-pohon yang besar sangatlah susah. Pada 1970, Foucault dalam sebuah adagiumnya “culture without nature”, Rachel Carson dalam “The Silent Spring”, atau puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Joko Damono menunjukkan pad kita betapa nestapa hidup dimasa manusia menganggap alam bukanlah sebagai makhluk. Sehingga warisan yang kita tinggalkan pada anak cucu kita bukanlah air yang melimpah, udara yang bersih, ataupun pepohonan, karena burung-burung yang menyebarkan vegetasi telah kita penjarakan dalam sangkar-sangkar. Seiring dengan pergantian ukuran pembangunan dari MDGs menjadi SDGs (Sustainable Development Goals) pada tahun 2015, kita ditantang untuk memperbaiki kegagalan paham antroposentrisme, yaitu tantangan untuk mengembalikan eksistensi alam sebagai living being. Contoh yang dekat dalam keseharian kita adalah cara berpakaian. Kita tidak pernah berpikir jauh apa yang terjadi dalam proses pembuatan batik yang kita pakai. Tidak terpikirkan oleh kita mengenai jejak produksi, apakah buruh-buruh yang kebanyakan perempuan dibayar dengan layak? Atau etika konsumsi tentang apakah batik kita menggunakan pewarna alami atau kimia? Ukuran SDGs akan memaksa kita untuk berpikir mengenai tanggung jawab ekologisnya. Dasar Binatang! Pernahkah kita sadar seberapa sering kita mengatribusikan sifat negatif kita pada binatang? Binatang tidak diperlakukan sebagai equal living being. Dalam tulisannya, Dewi mengungkapkan betapa manusia dalam meneguhkan jati dirinya, meminjam metafora-metafora binatang untuk menarasikan perilaku buruknya. Sehingga hampir setiap hari kita menggunakan makian “dasar buaya!” atau “dasar babi!”. Masyarakat modern selalu menempatkan alam dan binatang dalam kaitan instrumentalisasi perikehidupan manusia. Sedangkan perikehidupan selalu dikaitkan dengan kemanusiaan, oleh karena itu identitas manusia selalu diletakkan sebagai superior diantara kedua elemen tersebut. Kita adalah Planet! Dan yang Kita Hadapi adalah Perubahan Iklim “Apa-apa yang ada di dalam diri kita adalah apa-apa yang ada di planet”. Secara metafora, kita bisa mengibaratkan sungai adalah aliran darah kita, tanah adalah daging kita. Dalam materi yang dibagikan, Dewi menuliskan bahwa manusia yang menjadi bagian dari alam memiliki atmosfer ekologis, yang menjadi penghubung dirinya dengan alam, serta menyadarkan dirinya atas kerusakan yang dia perbuat atas alam. Kerusakan-kerusakan atas alam juga salah satunya menyebabkan perubahan iklim. Hal ini yang menjadi tantangan besar modernitas. Dikala media internasional seperti The Guardian, New York Times, selalu menyisihkan satu kolom per minggunya mengenai perubahan iklim/ isu lingkungan, di Indonesia sense of crisis-nya belumlah tinggi. Kita masih sibuk pada upaya modernitas yang gemar menciptakan kebutuhan baru, misal untuk tubuh, kita tidak cukup hanya mandi untuk membersihkan kulit. Kita dipaksa perlu mengoleskan cairan-cairan kimia yang akan diserap oleh kulit, dengan harapan menjadi lebih halus dan cerah. Perempuan dan Bumi Seiring dengan diagungkannya produk kecantikan oleh perempuan, menunjukkan bagaimana perempuan dan bumi dikapitalisasi. Kesadaran dasar dari kerusakan lingkungan adalah memahami perempuan sebagai penerima akibatnya. Disebutkan oleh Dewi, patriarki telah menyusun strategi kategori untuk menjustifikasi eksploitasi, yaitu langit/bumi, pikiran/tubuh, manusia/binatang, ruh/barang. Produk dari kategori tersebut yang akhirnya melahirkan kapitalisasi tubuh perempuan. Lebih jauh Dewi menyatakan bahwa ekofeminisme mensyaratkan demokratisasi sains dan ilmu alam yang selama ini menempatkan alam pada posisi yang tidak jauh lebih tinggi dari dirinya. Alam dan sains, kini bukan semata objek di laboratorium. Kita berkewajiban memberikan kembali hak hidup mereka di bumi, dengan pendekatan yang sensitif dan etis. Dalam hal ini ekofeminisme dibangun berdasarkan akta mengasuh, memelihara dan membangun kehidupan yang berkelanjutan di planet bumi. Dari materi diskusi yang disampaikan, banyak muncul pertanyaan dari peserta. Mulai dari pertanyaan sederhana bagaimana kita harus bersikap di tengah dunia yang sudah didasarkan atas ukuran-ukuran modernisme sampai pada anggapan salah satu peserta mengenai kapitalisme yang di satu sisi dinilai memanjakan perempuan. Menurut Dewi sederhana saja bagaimana kita harus bersikap pada bumi. Mulai dari selalu menghabiskan air yang kita minum, membawa tas sendiri ketika berbelanja, belajar pola hidup subsisten dengan makan makanan lokal/hasil kebun sendiri. Mengenai anggapan kapitalisme memanjakan perempuan, Dewi menolaknya. Menurutnya kapitalisme dan ukuran modernitas menjadikan perempuan sebagai objek nestapa. Seperti disinggung dalam materi yang disampaikan. Perempuan dipaksa untuk terus mengonsumsi kebutuhan-kebutuhan baru agar tubuhnya dianggap “cantik” dalam ukuran modernitas yang seragam dan terkategorisasi. Di tengah diskusi muncul juga pertanyaan dari peserta yang merupakan alumnus Fisipol UGM yang sekarang kebetulan bekerja di salah satu perusahan BUMN. Pertanyaan yang dilontarkan seputar konfirmasi data pada penelitian yang dilakukan Dewi di Kendeng. Konfirmasi data yang ditanyakan lebih mengarah pada proses yang dilakukan oleh perusahaan tambang. Kemudian Dewi menjelaskan dan sekaligus menutup diskusi bahwa data yang ada adalah hasil wawancara dengan ibu-ibu di Kendeng. Dewi juga menegaskan, dia menggunakan matra gender dalam melakukan penelitian pada perempuan yang menduduki daerah tambang tersebut. Sekali lagi, yang menjadi fokus dan ketertarikannya adalah fakta yang ada pada perempuan Kendeng, yang menjadi salah satu catatan pengalaman hidup perempuan. (Indriyani Sugiharto) ![]() Dosen sekaligus Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogyakarta TA. Prapancha Hary menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang cair. Dan ketika berbicara tentang psikologi maka setiap orang berbeda dan unik. Mengangkat tema Psikologi dan Seksualitas dalam diskusi publik tentang warna-warni seksualitas perempuan dan hak kesehatan reproduksi yang dihelat oleh Talita Kum dan SPEK-HAM dan didukung oleh Hivos di Griya Solopos Solo, Rabu (3/12/2014), ia mengatakan bahwa seksualitas manusia di satu sisi relatif bebas dari ritme waktu, fleksibel dalam objeknya dan leluasa dalam modalitas ekspresinya. TA. Prapancha Hary juga menyatakan bahwa keberagaman seksual apapun adalah anugerah. “Dalam soal-soal seksualitas, manusia mampu melakukan hampir semuanya. Seseorang dapat menstimulasi imajinasi seksualnya sampai tingkat berahi yang memabukkan. Di sisi lain seksualitas manusia diarahkan dan diberi struktur sangat kaku, misal kultus keperawanan, konsep aurat, permainan dalam pergaulan perempuan dan laki-laki, larangan seks di luar nikah, incest dan bahkan LGBT”, papar Prapancha Hary. Sementara itu, Direktur Talita Kum Reny Kistiyanti memaparkan tentang Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Body (SOGIEB). Dengan latar belakang era heteronormativitas dan gender biner dimana satu-satunya relasi yang direstui oleh masyarakat adalah relasi heteroseksual yang bertujuan prokreasi. Mengutip Galink, Reny menyatakan bahwa seksualitas adalah aspek inti manusia sepanjang hidupnya. Seksualitas meliputi jenis kelamin, identitas dan peranan gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, etika, hukum, sejarah, religi dan spiritual. Dengan bantuan gambar dari Sam Killerman yang mempermudah pengertian konsep SOGIEB bahwa antara seks, gender, orientasi seksual dan ekspresi adalah hal yang terpisah satu sama lain, Reny menyatakan bahwa kampanye SOGIEB baru dilakukan dua tahun terakhir. “Isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sudah tidak memadai lagi. Dan harus diingat bahwa kekerasan juga terjadi pada perempuan dengan seksual gender non mainstream,” tutur Reny. Menyinggung tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi berbasis keragaman seksualitas, Endang Listiyani Direktur SPEK-HAM menyampaikan payung-payung hukum yang beberapa sudah diratifikasi di Indonesia seperti DUHAM, CEDAW, ICPD Kairo 1994 serta Beijing Platform tahun 1999. “Tahun 1993 dunia mengatakan Homoseksual bukan dianggap sebagai gangguan jiwa, namun kita punya UU No. 4 tahun 2008 tentang Pornografi yang menganggap homoseksual adalah persenggamanan yang menyimpang. Undang-undang ini diperkuat dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Ini jelas diskriminatif dan mereduksi hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual menjadi atas dasar status moralisasi kesehatan,” jelas Endang Listiyani. Ia juga menambahkan bahwa Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi mengatakan bahwa jaminan kesehatan reproduksi masih bersyarat. “Perempuan yang memiliki orientasi seksual non mainstream bahkan di ‘bully’ kalau mengakses layanan. Ini artinya tidak ada jaminan spesifik untuk layanan kesehatan bagi LGBT,” imbuh Endang Listiyani. Tentang peran media dalam sosialisasi SOGIEB, Ichwan Prasetyo jurnalis yang juga Redaktur Solopos sebagai narasumber mengatakan bahwa akan selalu terjadi dialektika dan keberagaman itu selalu ada. Dengan keberagaman maka akan ada idealisme. “Sesuatu yang non mainstream pasti akan menarik, karena ini akan menjadi dialektika. Dan dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) orientasi seksual disinggung secara eksplisit,” jelas wartawan yang juga penguji di AJI ini. Saat sesi diskusi Elizabeth Yulianti Raharjo dari LPH-YAPHI mempertanyakan tentang media yang sering malah menyoroti soal orientasi seksual pada berita-berita kriminal, misalnya, dari sisi dan kemasan sehingga publik mempunyai opini sendiri. “Yang terjadi malah mengeksploitasi korban dan menjadikannya porsi besar,” tutur Elizabeth. Sementara Indriyati Suparno dari SPEK-HAM menyampaikan bahwa konsep SOGIEB masih sangat baru untuk kalangan publik dan stigma masyarakat atas homoseksual, misalnya, masih kental. Ia mempertanyakan tentang penyampaian konsep SOGIEB kepada masyarakat, baik di komunitas sendiri maupun ranah public. Reny Kistiyanti menanggapi pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa pihaknya tidak jemu-jemu untuk mensosialisasikan tentang SOGIEB termasuk hak-hak seksual dan reproduksinya. Salah seorang peserta diskusi, Farida dari Jaringan Radio Komunitas Indonesia menyatakan tentang pentingnya peran media dalam sosialisasi SOGIEB. “Media sulit untuk bersikap netral dan ada kendala salah satunya adalah belum banyak kawan-kawan SOGIEB yang berani untuk muncul,” tutur Farida. Menutup diskusi publik yang berlangsung selama lebih dari tiga jam tersebut, Reni Kistiyanti menyatakan bahwa walaupun menakutkan, pihaknya tidak berhenti dan mulai berdialog dengan kelompok-kelompok pemuka agama. “Kenyataan yang kami hadapi, yang di dalam komunitas saja belum selesai,” pungkas Reny pada diskusi yang dimoderatori oleh Rahayu Purwaningsih tersebut. (Astuti Parengkuh) Wacana yang dikemukakan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mengurangi jam kerja bagi perempuan ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat. Jurnal Perempuan, PELITA UI dan ILUNI FHUI (Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia) menggelar Konferensi Pers penolakan terhadap rencana kebijakan tersebut pada Kamis, 4 Desember 2014 di kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Wacana ini dinilai akan memberikan dampak yang justru merugikan perempuan. Pendiri Jurnal Perempuan, Gadis Arivia, Ketua ILUNI FHUI, Melli Darsa dan pegawai swasta Ria Ramli yang menjadi narasumber dalam konferensi pers tersebut satu suara untuk mengganti wacana ini dengan isu perempuan lain yang lebih substantif. “Wacana ini memang hanya akan diberlakukan kepada PNS perempuan, tetapi berbahaya apabila perusahaan swasta nantinya akan menerapkannya juga”, ungkap Ria Ramli. “Pemerintah tidak melihat perbedaan jam kerja swasta yang fleksibel. Spesialisasi pekerjaan tidak hanya diukur dari jam kerjanya saja tapi ada juga achievement lain, jadi menurut saya wacana peraturan ini tidak aplikatif”, tambahnya.
Ada banyak isu pekerja perempuan seperti glass ceiling untuk mencapai posisi puncak perusahaan, women on board, dan lainnya yang lebih harus diutamakan. pengurangan jam kerja justru akan merugikan perempuan mengingat perempuan akan semakin sulit mencapai posisi puncak kekuasaan karena kemungkinan mereka tidak ikut dalam rapat-rapat penting sehingga kesempatan perempuan untuk meraih jabatan tinggi menjadi semakin sulit. (Nadya Karima Melati) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
September 2023
Categories |