Sektor energi seperti halnya sektor publik lainnya sering dipandang sebagai dunia laki-laki, sedang perempuan hanya sebagai pengguna atau penerima manfaat. Sementara sesungguhnya perempuan juga terlibat dan memberikan kontribusi besar di sektor ini. Nama-nama seperti Maritje Hutapea (Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM), Tri Mumpuni (Institute Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan/IBEKA), Prianti Utami (Dian Desa), dan Asclepias Rahmi (Indonesian Institute for Energy Economics/IIEE) adalah sebagian sosok perempuan yang selama ini telah bekerja dan berkontribusi terhadap akses energi yang inklusif. Pengalaman keempat perempuan tersebut memperlihatkan bahwa akses atas energi memberi dampak besar bagi kehidupan perempuan karena itu perspektif gender menjadi sangat penting dalam isu energi. Maritje mengungkapkan ketersediaan energi dapat mendorong kewirausahaan perempuan. Ia menceritakan pengalamannya di Pulau Rote, ketika listrik telah menjangkau wilayah tersebut ibu-ibu di sana yang biasa mengolah makanan tradisional (semacam dodol) dapat meningkatkan kualitas produknya sehingga bisa dipasarkan hingga ke luar daerah dengan harga yang lebih baik. Maritje menambahkan bahwa regulasi dan anggaran juga menjadi aspek penting agar listrik dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil dan perbatasan. Sementara itu, Mumpuni yang telah puluhan tahun membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik di berbagai daerah yang belum terjangkau PLN (Perusahaan Listrik Negara) mengatakan keberadaan listrik dapat memangkas 98% pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan pada perempuan seperti mengangkut air dan mengumpulkan kayu bakar. Lebih lanjut Mumpuni mengatakan persoalan akses menjadi fokus perhatian karena hingga saat ini terdapat 900 juta orang yang belum mendapatkan akses yang cukup atas energi di kawasan Asia Pasifik. Tami yang sejak tahun 80-an bergabung dengan Yayasan Dian Desa yang salah satu fokus kerjanya adalah sektor energi terbarukan mengatakan bahwa tungku merupakan jantung bagi rumah tangga karena makanan yang diolah dengan tungku merupakan sumber energi bagi keluarga. Namun dari zaman batu hingga sekarang belum ada perubahan dalam penggunaan tungku biomassa yang menimbulkan polusi yang dapat mengganggu kesehatan. Meskipun sekarang sudah ada elpiji, tetapi di sejumlah wilayah penggunaan tungku kayu tetap berjalan. Untuk itu organisasinya mengembangkan tungku dengan pembakaran tertutup yang desainnya turut melibatkan masyarakat dampingan mereka. Pada tahun 2014 Dian Desa bekerja sama dengan Kementerian ESDM dan Bank Dunia mengembangkan program Tungku Sehat Hemat Energi. Sementara Rahmi bersama organisasinya mengolah data-data yang ada seperti data BPS (Badan Pusat Statistik) tentang potensi desa (Podes) terkait wilayah yang sudah dan belum teraliri listrik dengan menampilkannya secara visual sehingga data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan dapat menjadi acuan untuk memecahkan persoalan energi. Rahmi mengatakan informasi tersebut kemudian disebarkan pada pemerintah provinsi agar kepala daerah setempat dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk membuka akses atas energi. Lantas sejauhmana perspektif gender dalam program-program terkait sektor energi dapat mengubah relasi gender yang timpang? Mumpuni menjelaskan ketika akses energi masuk ke suatu daerah, pekerjaan-pekerjaan yang semula harus dilakukan oleh perempuan dan menguras waktu—seperti mengumpulkan air yang membutuhkan waktu tujuh jam seperti biasa dilakukan perempuan di Sumba misalnya—dapat dipangkas sehingga mereka memiliki waktu untuk melakukan hal-hal produktif lainnya. Ketika mereka menggunakan waktunya untuk menenun dan kemudian dapat menjadi sumber penghasilan, maka pada akhirnya akan membuat posisi perempuan menjadi lebih setara. Pendapat senada diungkapkan Maritje, menurutnya penghematan waktu akibat terbukanya akses terhadap energi dapat digunakan oleh para ibu-ibu untuk melakukan aktivitas produktif yang membuat mereka menjadi lebih berdaya. Demikian pula pendapat Rahmi yang menyatakan bahwa membuka akses terhadap energi tidak semata-mata hanya memperkenalkan energi kepada perempuan, tetapi juga aspek lain dalam hidup, seperti mendorong kewirausahaan yang dapat menumbuhkan self esteem perempuan. Keempat perempuan tersebut membagi pengalaman mereka selama menekuni sektor energi dalam forum Women & Energy Festival bertajuk “Perempuan Bicara Energi: Akses yang Setara” di Jakarta, Selasa (19/12). Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) selaku penyelenggara acara berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi perempuan dan anak muda untuk masuk dan bekerja di sektor energi sehingga sektor ini tidak lagi didominasi oleh laki-laki. (Anita Dhewy) Selasa, 12 November 2017 bertempat di Bakoel Koffe, Cikini Jakarta Pusat, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Aliansi Satu Visi, Women on Web, Institute for Criminal Justice Reform, yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP menggelar diskusi publik untuk membahas Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengkriminalisasi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi. Perihal aborsi memang sesuatu yang masih tabu untuk dibicarakan di Indonesia, sekalipun sebenarnya ada perangkat hukum di Indonesia yang memperbolehkan aborsi dengan aturan tertentu. Aborsi di dalam putusan Mahkamah Agung adalah hal yang ilegal dan bisa dikriminalisasikan baik kepada perempuan pelaku aborsi maupun tenaga medis yang membantu proses aborsi. Kasus kriminalisasi pada perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi pernah terjadi pada BL, akhir Juli 2017 lalu. Jaksa Penuntut Umum bahkan menuntut BL dengan ancaman pidana 8 tahun penjara, walaupun akhirnya Majelis Hakim memutuskan BL tetap bersalah namun hanya diberikan hukuman berupa pembinaan di Panti Sosial Mardi Putera (PSMP) Handayani milik Kementerian Sosial. Ada empat pasal yang dijadikan alasan untuk mengkriminalisasi tindakan aborsi dalam RKUHP yaitu pada bab XIV tentang Tindak Pidana Kesusilaan Bagian Keenam tentang Pengobatan yang dapat Mengakibatkan Gugurnya Kandungan (Pasal 501) dan Bab XIX tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa Bagian Kedua tentang Pengguguran Kandungan (Pasal 589, 590, dan 592). Padahal, menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan Permenkes No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan memperbolehkan terjadinya tindakan aborsi. Jadi, undang-undang atau perangkat hukum di Indonesia yang mengatur aborsi sangat kontradiktif. Semua pihak yang terlibat dalam tindakan aborsi bisa dipidanakan baik perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu tindakan aborsi tersebut. Sepanjang tahun 2012-2016 sudah ada 5 kasus kriminalisasi aborsi. Tenaga medis yang membantu proses aborsi biasanya dikenakan pasal penyalahgunaan kewenangan profesi untuk dikriminalisasi dan perempuan yang melakukan aborsi biasanya dikenakan pasal pembunuhan. Secara historis, hukum Indonesia lebih banyak menempatkan tindakan sebagai sebuah tindakan kejahatan, bukan mengenai persoalan kesehatan reproduksi perempuan apalagi otoritas tubuh perempuan. Data menunjukkan setidaknya setiap tahun kurang lebih ada 4.000 korban perkosaan, sehingga kehamilan pada korban perkosaan adalah keniscayaan. Tetapi, hukum di Indonesia karena copy-paste hukum Belanda zaman kolonial, masih sangat bias gender dan tidak menempatkan perempuan sebagai subjek hukum. Aturan aborsi yang berlaku di Indonesia berdasarkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi dengan alasan kedaruratan medis dan bagi perempuan korban pemerkosaan untuk usia kandungan maksimal 6 Minggu/40 hari. Padahal kenyataannya menunjukkan bahwa kerap kali perempuan korban perkosaan tidak berani menceritakan perkosaan yang ia alami dalam kurun waktu yang singkat setelah ia diperkosa. Sekalipun ternyata aborsi memang diperbolehkan melalui undang-undang, tetapi lucunya tidak ada satupun rumah sakit di Indonesia yang bisa dijadikan rujukan untuk melakukan tindakan aborsi, padahal undang-undang aborsi untuk alasan kedaruratan dan perempuan korban perkosaan sudah ada. YKP sendiri sebenarnya berusaha agar aturan maksimal usia kandungan yang boleh diaborsi menjadi 12 Minggu, tidak 40 hari seperti yang diperbolehkan oleh MUI. Perihal lain yang menyulitkan perempuan korban perkosaan bisa mendapatkan izin untuk melakukan aborsi adalah karena tes visum untuk kasus perkosaan masih berbayar dan dibebankan kepada korban perkosaan. Hal ini semakin menyulitkan perempuan korban perkosaan yang ingin melakukan aborsi secara legal dan rentan bagi mereka untuk dikriminalisasi. Di dalam diskusi ini ada beberapa jalan keluar yang diajukan untuk persoalan kriminalisasi terhadap tindakan aborsi pada perempuan korban perkosaan. Pertama, Demoralisasi nilai-nilai yang dilekatkan pada tindakan aborsi, perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu proses aborsi. Aborsi perlu dilihat sebagai tindakan medis yang dibutuhkan perempuan karena menyangkut otoritas tubuhnya. Kedua, dekriminalisasi perempuan pelaku aborsi dan tenaga medis yang membantu aborsi melalui revisiRKUHP terutama pada Pasal 501 dan 589 . Ketiga, biaya aborsi (juga visum) harusnya gratis dan disediakan dananya oleh negara karena perihal tindakan aborsi ini sudah diatur melalui UU. Keempat, korban perkosaan sebenarnya bisa diberikan pil anti hamil untuk menghindari kehamilan. Namun, obat ini hanya bisa bekerja 72 jam setelah kejadian perkosaan terjadi dan obat ini sangat sulit didapatkan dan diakses oleh masyarakat. Sosialisasi mengenai pil anti hamil ini juga tidak meluas, hingga hanya sedikit orang yang tahu perihal obat anti hamil ini. Kelima, dibutuhkan konselor yang ramah terhadap perempuan korban perkosaan dan mengerti isu-isu feminisme sehingga tidak menjustifikasi aborsi sebagai perbuatan yang amoral. Dengan demikian, kita bisa menghapuskan RKUHP yang menyebabkan perempuan korban perkosaan dikriminalisasi. (Naufaludin Ismail) Rabu, 6 Desember 2017, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan bekerjasama dengan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) didukung oleh Ford Foundation. Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan yang diadakan di Gedung Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga menghadirkan Prof. Dr. Emy Susanti, MA (Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga), Abby Gina (Redaksi Jurnal Perempuan), Erma Susanti (Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) sebagai Moderator . Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga Dr. Falih Suaedi. Dalam sambutannya Dr. Falih mengungkapkan bahwa isu perempuan belum terintegrasi dlm strategi pembangunan. Setelah sambutan dari Dekan FISIP Universitas Airlangga, Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Atnike Nova Sigiro, M.Sc memberikan pidato kunci terkait diskusi yang akan membahas status perempuan nelayan. "Dua per tiga wilayah Indonesia adalah lautan, namun lautan belum menjadi prioritas, tentu tidak aneh profesi nelayan hadir di seluruh Indonesia disamping petani. Secara budaya Indonesia telah lama mengklaim memiliki budaya maritim, hal tersebut ada dalam lagu-lagu, misalnya 'Nenek Moyang Ku Seorang Pelaut', tapi seberapa besar pengetahuan kita tentang laut dan manusia-manusia yang hidup dari dan bersama dengan laut?", tutur Atnike. Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan tersebut menjelaskan bahwa secara budaya masyarakat kerap kali menerima begitu saja pelabelan bahwa pekerjaan nelayan adalah pekerjaan laki-laki. Hal lain yang digaris bawahi oleh Atnike ialah soal kerja-kerja perempuan di sektor perikanan yang perlu diakui oleh negara seperti membersihkan, mengolah dan menjual hasil tangkapan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jurnal Perempuan, Atnike menyebutkan bahwa perempuan nelayan memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian keluarga nelayan dan perekonomian bangsa. Hadirnya Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia merupakan bukti bahwa perempuan mampu memimpin di institusi pemerintahan yang dianggap 'maskulin'. Namun menurut Atnike, tidak semua perempuan dapat mencapai hal tersebut, khususnya perempuan nelayan tradisional yang hidup dalam rantai kemiskinan struktural. Lebih jauh Atnike menjelaskan bahwa ada pembagian kerja yang bias dalam konteks rumah tangga maupun sosial, yaitu perempuan dilekatkan dengan identitas pekerjaan domestik dan laki-laki dengan pekerjaan publik. Dikotomi publik-domestik tersebut membuat kerja perempuan nelayan di ruang publik masih dianggap hanya 'membantu' suaminya saja. "Pandangan yang bias tentang kerja publik dan domestik, mengakibatkan pengabaian terhadap fakta bahwa ada perempuan nelayan yang melaut", tegas Atnike. Menurut Atnike, produk dan pelaksanaan kebijakan belum membawa dampak positif tergadap kehidupan perempuan nelayan, sehingga menurutnya pemerintah dan juga para akademisi perlu memberikan perhatian lebih terhadap kontribusi ekonomi perempuan nelayan dalam sektor perikanan. Tidak diakuinya perempuan nelayan sebagai nelayan berdampak pada minimnya akses kredit dan asuransi untuk perempuan nelayan. "Pengabaian eksistensi perempuan dalam sektor kelautan adalah akar ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan", tegas Atnike. (Andi Misbahul Pratiwi) Ketimpangan gender di sektor perikanan dipengaruhi oleh subkultur masyarakat pesisir yang menganut budaya patriarki yang mewujud dalam bentuk beban ganda, marginalisasi, subordinasi, stereotip dan kekerasan. Pernyataan ini diungkapkan Erma Susanti, Wakil Direktur Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII) saat menjadi pembicara dalam acara Pendidikan Publik yang diselenggarakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Program Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia (ASWGI) di FISIP Unair. Lebih lanjut Erna menjelaskan perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—tidak hanya berkecimpung dalam ranah produktif, namun juga ranah reproduktif dan sosial, sehingga jam kerja dan beban kerjanya lebih panjang daripada laki-laki. Hasil pengamatan dan riset menunjukkan bahwa jam kerja perempuan nelayan rata-rata mencapai 14 hingga 17 jam sehari. Perempuan terlibat dalam seluruh rantai perikanan mulai dari praproduksi, produksi hingga pascaproduksi. Banyaknya waktu yang harus dialokasikan perempuan nelayan dalam proses kerja-kerja tersebut mengakibatkan beban kerja yang tinggi yang pada akhirnya mengurangi kualitas hidup perempuan karena mereka tidak mempunyai waktu untuk mendapatkan akses atas peningkatan dan perbaikan kualitas hidup. Di sisi lain faktor budaya yang menganggap perempuan nelayan bukan sebagai profesi yang kemudian tercermin dalam undang-undang yang menempatkan perempuan nelayan hanya sebagai istri nelayan, pada akhirnya membuat mereka tidak bisa mendapatkan kartu nelayan. Dengan kata lain perempuan nelayan mengalami marginalisasi. Lebih jauh Erma menjelaskan pandangan yang menomorduakan perempuan juga terjadi di sektor perikanan, sehingga kepentingan dan persoalan perempuan nelayan dianggap tidak penting. Akibatnya program-program untuk mengatasi persoalan-persoalan perempuan harus menjadi program yang secara khusus menyasar perempuan. Selain itu stereotip atau pelabelan negatif pada perempuan nelayan yang menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan melaut dan hanya bisa bekerja di sektor domestik mengakibatkan pembatasan perempuan nelayan. Menurut Erma, kekerasan terhadap perempuan di lingkungan nelayan lebih didominasi oleh perkawinan anak. Rata-rata setelah lulus SMA anak perempuan akan segera dinikahkan. Situasi ketimpangan gender tersebut menurut Erma mengakibatkan akses mereka terhadap kebijakan yang dijalankan pemerintah menjadi terbatas, kecuali program tersebut secara khusus ditujukan bagi perempuan atau program yang sasarannya umum namun mensyaratkan adanya keterlibatan perempuan. Sehingga dapat dikatakan keterlibatan perempuan menjadi semu. Dengan akses yang terbatas, maka partisipasi perempuan juga menjadi minim, terlebih ketika program yang ada masih menempatkan perempuan nelayan hanya sebatas sebagai objek kebijakan karena pengendali program masih dipegang oleh laki-laki. Ketika aksesnya terbatas dan partisipasinya semu, maka manfaat program bagi perempuan juga sulit dicapai. Terlebih ketika berbicara kontrol, selama perempuan tidak menjadi bagian dari pengendali program dan tidak masuk dalam kepengurusan yang mempunyai otoritas untuk menentukan, maka sulit bagi perempuan untuk memiliki kontrol. Erma juga menjelaskan beberapa persoalan di sektor perikanan. Menurutnya, meskipun nelayan berada pada garda depan ketahanan pangan dan perekonomian bangsa, namun masyarakat pesisir merupakan salah satu kantong kemiskinan yang cukup besar, yakni 25 persen dari total penduduk miskin. Maka menjadi ironis ketika kebutuhan protein kita disuplai oleh kelompok nelayan, tetapi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok nelayan justru belum terpenuhi. Sektor perikanan juga merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Ketika cuaca buruk, maka nelayan tidak bisa melakukan aktivitas penangkapan ikan dan tidak memiliki penghasilan. Dalam situasi semacam ini perempuan nelayan—seperti halnya perempuan di sektor lain—akan merasakan dampak yang lebih berat. Sementara itu, secara budaya perempuan dianggap bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar. Oleh karena itu terkait persoalan perubahan iklim, perempuan menjadi kelompok yang lebih adaptif dalam mencari cara agar bisa mendapatkan nafkah ketika dalam situasi semacam ini. Kerentanan sektor perikanan juga terkait dengan isu energi. Ketika solar yang menjadi bahan bakar kapal mengalami kenaikan harga, akan berdampak langsung terhadap pemasukan nelayan. Sementara terkait proses regenerasi, terdapat kecenderungan memprioritaskan anak laki-laki untuk bersekolah dan membebaskan mereka dari tanggung jawab dalam proses produktif. Sedang anak perempuan diberi tanggung jawab untuk membantu kerja-kerja produktif dan reproduktif yang dilakukan para ibu. Hal ini dikarenakan profesi nelayan tidak lagi dipandang sebagai mata pencaharian yang bergengsi, sehingga anak-anak mereka tidak disiapkan untuk menggantikan orang tuanya. Untuk itu menurut Erma perlu ada evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Menteri No 28 tahun 2016 tentang Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) di sektor perikanan untuk mengetahui efektivitas dari aturan tersebut. Selain itu dibutuhkan juga pemahaman dan kapasitas pengarusutamaan gender pada tenaga lapangan mengingat biasanya perspektif gendernya belum memadai. Dukungan aturan teknis juga menjadi penting terutama di tingkat lokal. Erma mencontohkan kebijakan soal dana desa, yang bisa diakses untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti yang diterapkan di daerah Tulungagung misalnya. Aturan teknis pendukung ini akan memudahkan nelayan perempuan untuk mengakses dana desa atau program-program lain yang terkait dengan sektor perikanan. Monitoring dan evaluasi atas program juga menjadi penting selain juga perlu kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS). (Anita Dhewy) Rabu, 6 Desember 2017 di UNAIR (Universitas Airlangga), Surabaya, Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan. Dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Emy Susanti, MA, dosen Sosiologi FISIP UNAIR, menjadi salah satu narasumber. Prof. Emy membuka pembahasannya dengan memaparkan bahwa kegiatan kenelayanan adalah pemanenan makanan liar terbesar di dunia. Namun demikian kesadaran masyarakat atas realitas tersebut masih amat rendah. Prof. Emy menambahkan bahwa profesi nelayan memiliki arti penting bagi dunia karena puluhan juta orang di seluruh dunia hidup dan bergelut sebagai nelayan, khususnya di Asia. Menurut Emy, ada persoalan pembagian kerja berdasarkan gender dalam pembahasan kenelayanan dan perikanan. Hingga saat ini, menangkap ikan di perairan pesisir dan laut dipandang sebagai wilayah kerja laki-laki. Pekerjaan ini juga membawa risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi sehingga dipandang tidak sesuai untuk perempuan. Pada praktiknya perempuan di rumah tangga nelayan turut melakukan berbagai pekerjaan penting di sektor perikanan. Namun perannya dianggap sebagai peran ‘informal’ sehingga kerja-kerja ini jarang mendapat gaji atau upah. Menurut Emy, ketiadaan perlindungan kerja pada nelayan perempuan juga adalah implikasi lain dari anggapan bahwa kerja perempuan adalah kerja informal. Emy mengungkapkan bahwa secara tradisional perempuan dianggap memiliki peran yang amat penting dalam dalam perikanan skala kecil dan industri, khususnya pada proses pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Pada praktiknya, dalam dunia nelayan ada juga perempuan yang terlibat menangkap ikan, memiliki perahu sendiri, bahkan telah banyak pula yang menjadi pengusaha ikan perikanan. Artinya, perempuan sesungguhnya terlibat dalam seluruh proses kenelayanan. Menurut Emy, memaknai kerja perempuan sebagai kerja “membantu” adalah salah satu sebab mengapa kerja-kerja perempuan dalam kenelayanan dipandang tidak memiliki nilai ekonomis. Emy menyebutkan beberapa persoalan yang kerap menimpa perempuan nelayan yaitu: nilai pekerjaannya dinggap tidak ada atau undervalued, nilai kerjanya dilihat sebagai perpanjangan ruang domestik, keterbatasan data dalam menarasikan multidimensionalitas kerja perempuan nelayan. Dalam presentasinya Emy memaparkan bahwa studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa perempuan pedagang ikan menjadi kelompok termiskin dalam rantai pengolahan dan penjualan. Diskriminasi gender menyebabkan nilai rendah dilekatkan pada pekerjaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai mahluk domestik, semua keterampilannya didapat secara alamiah dan tidak diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan. Anggapan semacam inilah membuat kerja perempuan menjadi tidak bernilai. Pemaknaan yang bersifat reduktif ini membatasi perempuan untuk mengakses berbagai kesempatan seperti akses terhadap kredit, teknologi pengolahan, fasilitas penyimpanan dan pelatihan. Tanpa teknologi penyimpanan misalnya, perempuan menjadi sulit untuk mempertahankan ikan segar, dan dapat menderita kerugian pasca panen yang cukup besar. Emy menyampaikan bahwa pembahasan mengenai perempuan nelayan bertujuan untuk menghasilkan sebuah perubahan. Kaum akademisi dapat memberi masukan dalam pembuatan kebijakan. Kaum akademisi perlu melakukan antisipasi pada tahap kebijakan. Prof. Emy lebih lanjut berpendapat bahwa untuk memastikan pengarus utamaan gender dalam dunia kenelayanan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Pertama, aspek ‘pemberdayaan perempuan’ harus dijadikan sebagai indikator dalam menilai kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan, mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar. Kedua, penting pula untuk memberikan perhatian dan memasukkan isu gender untuk pengembangan akuakultur, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pelatihan manajemen, produksi benih dan kewirausahaan. Ketiga perlu ada peningkatkan rasio laki-laki dan perempuan yang dilatih atau berpartisipasi dalam pengembangan kapasitas dalam penelitian dan manajemen perikanan. Keempat, penting untuk mempertimbangkan dan memasukkan isu gender dalam kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat nelayan dan terakhir data ketimpangan gender dan peran perempuan dalam komunitas nelayan harus dijadikan sebagai dasar kebijakan untuk komunitas nelayan dan budidaya perairan. Prof. Emy menekankan pentingnya perspektif feminisme untuk memahami sisi multidimensi dari kerja perempuan. Kerja perempuan harus dipahami dari dua dimensi yaitu kerja produksi dan reproduksi. Dengan pendekatan tersebutlah kerja perempuan nelayan dapat dikenali, diakui dan dihargai. (Abby Gina). Rabu, 6 Desember 2017, Jurnal Perempuan menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan bekerjasama dengan Program Studi Magister Sosiologi Universitas Airlangga dan Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Seluruh Indonesia (ASWGI) didukung oleh Ford Foundation. Abby Gina, Redaksi Jurnal Perempuan adalah salah satu pembicara dalam Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan yang diadakan di Gedung Adi Sukadana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Dalam kesempatan tersebut Abby yang juga merupakan salah satu penulis JP 95 memaparkan hasil penelitian yang dilakukan bersama Gadis Arivia tentang status perempuan petambak udang di Bumi Dipasena Lampung. Penelitian tersebut menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam. Responden penelitian tersebut adalah perempuan petambak Bumi Dipasena yang tergabung dalam Bareta Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). "Dipasena merupakan tambak udang terbesar di Indonesia, dibalik kesuksesan produksi udang di Bumi Dipasena, ada peran besar para perempuan petambak perempuan", tutur Abby Gina. Menurut hasil temuannya, perempuan petambak terlibat dalam seluruh proses petambakan namun kerja-kerja mereka masih dianggap sebagai kerja domestik. Menurut Abby, dengan tidak diakuinya kerja produksi perempuan petambak artinya pembangunan nasional tidak mengakomodasi kepentingan perempuan. Abby menceritakan bahwa akses jalan menuju Bumi Dipasena sangatlah buruk, meskipun Bumi Dipasena memiliki sejarah sebagai tambak udang terbesar se-Asia Tenggara, sehingga perempuan di sana harus menempuh perjalanan yang panjang untuk bisa mengakses rumah sakit. Salah satu informan dalam penelitian tersebut bahkan harus mengangkat rahimnya karena harus menempuh perjalanan darat selama 8 jam dengan kondisi jalan yang sangat buruk saat hendak melahirkan. Selain tidak adanya pengakuan terhadap kerja-kerja perempuan petambak, infrastruktur juga menjadi persoalan bagi perempuan petambak di Bumi Dipasena. Abby menjelaskan bahwa manusia memiliki hak untuk kehidupan dan penghidupan yang layak. Dalam pendekatan kapabilitas manusia yang digagas Nussbaum, manusia diandaikan memiliki kapasitas untuk melakukan sesuatu dan menjadi sesuatu, namun dalam praktiknya manusia tidak memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi dalam dirinya. Lebih jauh 10 kategori kapabilitas yang ditawarkan Nussbaum yaitu, 1) Kehidupan, 2) Kesehatan tubuh, 3) Integritas tubuh, 4) Pancaindra, imaginasi dan pemikiran, 5) Emosi, 6) Kemampuan berpikir etis, 7) Afiliasi, 8) Makhluk hidup lainnya, 9) Bermain, 10) Mengendalikan lingkungan sendiri. Merujuk pada pendekatan kapabilitas manusia yang ditawarkan oleh Nussbaum, kehidupan yang layak adalah saat seseorang memiliki kesempatan untuk menentukan pilihannya. Buruknya infrastruktur di Bumi Dipasena diartikan sebagai menjauhkan manusia dari aksesnya terhadap kapabilitas dan keadilan. Manusia menjadi sulit atau tidak bisa menjalankan fungsinya untuk bertindak dan untuk menjadi. "Apabila seseorang melakukan sesuatu karena ketiadaan pilihan itu berarti orang tersebut belum memiliki kapabilitas", tutur Abby. Lebih jauh Abby menguraikan bahwa perempuan petambak di Dipasena tidak diberi akses terhadap layanan kesehatan yang layak oleh negara, bahkan tak jarang perempuan petambak melakukan sterilisasi karena situasi yang memaksa. Abby menjelaskan bahwa sebelum menjadi tambak udang dengan model mandiri seperti saat ini, Bumi Dipasena awalnya dikelola dengan model inti-plasma. Dalam skema inti-plasma, infrastruktur Bumi Dipasena amatlah baik, namun setelah putus hubungan dengan perusahaan, seluruh fasilitas dicabut. Jalan-jalan rusak berat, fasilitas kesehatan minim, listrik dan air bersih menjadi langka. Pada kasus di Bumi Dipasena, perempuan menjadi kelompok yang paling rentan dalam menghadapi realitas tersebut. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa perempuan petambak perempuan di Bumi Dipasena menginginkan rekognisi atas kerja mereka. Mereka ingin menjadi bagian dari organisasi Persatuan Petambak Pengusaha Udang Wilayah Lampung (P3UW) namun cara pandang masyarakat yang bias menyingkirkan mereka dari partisipasi di ruang publik. Perempuan petambak udang di Bumi Dipasena juga ingin dilibatkan dalam pengambilan keputusan organisasi P3UW dan diakui identitasnya sebagai petambak dalam Kartu Tanda Penduduk. "Dengan tidak diterimanya perempuan petambak sebagai anggota P3UW dan tidak diakuinya mereka sebagai petambak maka sesungguhnya masyarakat dan negara telah mengabaikan kapabilitas afiliasi perempuan petambak", tegas Abby. Menurut Abby, pembangunan idealnya menyoal kehidupan manusia, pembangunan seharusnya memastikan bahwa manusia dapat berkontribusi dan berkembang secara maksimal dalam masyarakat, pembangunan juga harus menjamin kemartabatan manusia. (Andi Misbahul Pratiwi) Senin, 4 Desember 2017 bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan ketiga Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) 9: Berpikir Kritis berlangsung dengan penuh antusias dari peserta yang datang langsung maupun daring. Pertemuan ketiga KAFFE 9 ini membahas topik tentang logika sebagai validitas argumen. Rocky mengawali kelas dengan mengajukan pertanyaan bagaimana menyatakan sebuah argumentasi yang logis ketika sedang melakukan diskursus publik. Secara sederhana Rocky menjelaskan bahwa hal utama dan pertama yang harus dilakukan seseorang sebelum berargumentasi adalah menjernihkan konsep atau kerangka berpikir terlebih dahulu. Rocky kemudian menyatakan bahwa konsep adalah mata uang yang sah di dalam berargumentasi maka, konsep harus bersih dari segala prasangka, konvensi dan yang paling penting adalah terbebas dari logical fallacies (kesesatan berpikir). Selain menjernihkan konsep, hal lain yang menurut Rocky perlu diperhatikan ketika kita sedang berargumentasi adalah dengan memvalidasi argumen tersebut. Rocky menjelaskan terdapat tiga teori kebenaran untuk menguji validitas sebuah argumen. Teori kebenaran pertama adalah korespondensi, dalam teori kebenaran korespondensi, sebuah pernyataan atau argumen dinyatakan valid atau benar jika argumen atau pernyataan itu memiliki fakta empiris yang bisa kita saksikan dengan panca indra kita. Teori kedua adalah teori koherensi, dalam teori kebenaran koherensi, untuk mengatakan sebuah argumen valid atau tidak adalah dengan melihat pernyataan atau argumen itu memiliki kesesuaian antara satu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui dan diterima secara inheren di dalam cara berpikir logis. Teori kebenaran yang ketiga adalah teori kebenaran pragmatik. Di dalam teori kebenaran pragmatik, sebuah pernyataan atau argumen dianggap valid apabila argumen atau pernyataan tersebut diukur dengan kriteria apakah pernyataan atau argumen tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan dan argumen adalah benar, jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Ketiga teori kebenaran ini harus dijadikan landasan berpikir ketika kita berargumen. Perihal lain yang tidak boleh dilupakan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan narasi deskripsi dan eksplanasi. Menurut Rocky, ketika kita mendeskripsikan sesuatu, kita tidak bisa memberikan pernyataan tesis dari sebuah narasi yang kita ucapkan, sedangkan ketika melakukan eksplanasi terhadap sebuah hal berarti kita melihat keterkaitan antara variabel dengan lingkungan pendukungnya sekaligus menguji variabel tersebut sehingga menjadikannya sebuah eksplanasi. Rocky mencontohkan bagaimana cara kita mendeskripsikan dan menjelaskan sebuah spidol. Mendeskripsikan spidol berarti hanya mengutarakan warna spidolnya, bentuk fisik spidolnya, posisi spidolnya di mana, dan lain sebagainya. Tetapi, ketika kita memberikan eksplanasi tentang spidol, kita melihat apa kegunaan spidol tersebut, siapa yang menggunakan spidol tersebut, bagaimana rantai produksi spidol tersebut, siapa yang membuatnya dan lain sebagainya. Pembedaan antara deskripsi dan eksplanasi ini menjadi penting dalam berargumentasi agar kita tidak salah sasaran dalam menjelaskan persoalan yang terkait di dalam perdebatan argumen tersebut. Persoalan terakhir yang tak kalah penting untuk diperhatikan ketika kita berargumen adalah dengan membedakan term abstraksi dan universal. Abstraksi menurut Rocky berarti melucuti segala identitas dan atribut yang melekat pada suatu hal hingga ia menjadi konsep yang paling fundamental. Sedang yang disebut dengan universal, adalah menambahkan segala bentuk atribut dan kategori pada suatu hal. Rocky mencontohkan abstraksi dari seorang yang bernama Hasan misalnya adalah being. Sedangkan Hasan menjadi universal apabila dilekatkan dengan segala identitas, kategori dan atribut seperti Hasan yang seorang dokter menjadi Hasan yang seorang dokter ahli bedah dan seterusnya sebebas kita menambahkan variabel pada hal yang kita argumentasikan. Pembedaan ini menjadi penting agar kita tak lagi awam dalam beragumentasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan validitasnya secara logis. (Naufaludin Ismail) Kamis, 30 November 2017 bertempat di kantor Yayasan Jurnal Perempuan, pertemuan kedua Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) 9: Berpikir Kritis berlangsung dengan penuh semangat dari peserta yang datang langsung maupun daring. Pertemuan kedua KAFFE 9 ini membahas topik tentang membedakan pengetahuan dan opini. Rocky membuka kelas dengan penjelasan singkat mengenai fakta. Menurut Rocky, pengetahuan adalah sesuatu yang koheren, permanen dan stabil secara konsep atau dalam bahasa Inggris disebut unchangeable. Sedangkan opini dapat berubah-ubah setiap waktu dan bersifat temporer. Rocky merujuk pada kisah Plato untuk melihat asal muasal dari pembedaan pengetahuan dan opini. Menurut filsafat Plato, segala sesuatu yang kita lihat secara indrawi bukanlah sesuatu yang nyata karena bisa dirasakan secara berbeda-beda oleh setiap orang. Plato lebih menekankan pada hal-hal yang ideal untuk mencapai kebenaran pengetahuan. Berangkat dari sejarah filsafat ini, pengetahuan menurut Rocky dimaksudkan sebagai obsesi manusia untuk tidak terjebak pada opini yang seringkali menyesatkan. Rocky kemudian menjelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan antara pengetahuan dan opini berdasarkan filsafat Plato yang menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan modern saat ini. Menurut Rocky, pengetahuan selalu berkaitan dengan abstraksi sedangkan opini melekat dengan persepsi. Rocky kemudian mencontohkan bagaimana kita selalu menyebutkan berbagai jenis kursi seperti kursi hitam, kursi taman, kursi yang berkaki empat, kursi yang terbuat dari kayu dan lain sebagainya, hal ini adalah cara kita mengopinikan sesuatu. Sedangkan “kursi” adalah hasil abstraksi yang sebenarnya dari berbagai jenis kursi yang kita sebutkan tadi dan itulah yang disebut sebagai pengetahuan. Dari pembedaan antara opini dan pengetahuan, kita sudah bisa menebak bahwa pengetahuan menjadi salah satu hal yang fundamental untuk melatih diri agar berpikir kritis. Kita sering berpikir tidak kritis karena kita dipimpin oleh believe (rasa percaya) dan bukan reasoning (cara berpikir logis). Rocky menjelaskan ada beberapa metode yang bisa kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan yaitu, verifikasi, falsifikasi, dan dialektika. Metode verifikasi menghasilkan pengetahuan karena dapat dibuktikan kebenarannya oleh panca indra serta menghendaki adanya bukti empiris terhadap suatu hal atau hipotesis sebelum ia dijustifikasi sebagai pengetahuan. Verifikasi menggunakan metode induktif untuk mendapatkan pengetahuan sehingga pengetahuan yang dihasilkan adalah hasil generalisasi dari fakta yang ditemukan dalam beberapa sampel. Berbeda dengan verifikasi, metode falsifikasi berangkat dari asumsi bahwa sesuatu dianggap sebagai pengetahuan yang stabil jika ia bisa dipersalahkan atau disanggah. Falsifikasi diperkenalkan oleh Popper dengan maksud untuk menjauhkan pengetahuan dari doktrin yang sifatnya memang tidak bisa disanggah. Pengetahuan haruslah bisa diperbarui seiring dengan ditemukannya fakta terbaru atas pengetahuan yang telah kita percayai sehingga ia tidak menjadi doktrin. Metode Dialektika dipergunakan untuk mendapatkan pengetahuannya dari proses Tesis-> Antitesis-> Sintesis. Antitesis sebenarnya sudah terkandung dalam tesis yang kemudian menguji dirinya sendiri melalui kontranya. Dialektika bertujuan untuk mengembangkan proses bernalar yang dinamis untuk memecahkan persoalan yang muncul karena adanya argumen-argumen yang kontradiktif di dalam dirinya sendiri sehingga dicapai pengetahuan yang rasional. Rocky mengemukakan ketiga metode ini sangat penting digunakan agar kita bisa mendapatkan bekal pengetahuan untuk dapat berpikir kritis dengan jernih. Ketika kita dapat membedakan antara opini dan pengetahuan, maka kita memiliki tambahan alat tempur untuk menjadi lebih kritis. Berpikir kritis menurut Rocky juga berfungsi untuk membawa kita pada lokus persoalan-persoalan yang terjadi di sekitar kita. Berpikir kritis dengan berdasarkan fakta dan pengetahuan bahkan sangat berpengaruh dalam upaya pembuatan kebijakan publik yang adil bagi semua warga negara. (Naufaludin Ismail) Senin, 27 November 2017 bertempat di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, kelas perdana Kaffe 9 diselenggarakan. KAFFE 9 mengangkat tema “Berpikir Kritis” dengan menghadirkan Rocky Gerung sebagai narasumber. Jurnal Perempuan melalui kelas KAFFE mengangkat tema ini dalam upaya untuk memulihkan akal sehat publik yang akhir-akhir ini sulit dijumpai. Kelangkaan akal sehat publik dapat dengan mudah ditemukan pada media sosial. Media sosial idealnya menjadi sumber berkembangnya ilmu pengetahuan, namun kenyataan yang kita jumpai justru kebalikannya. Hari-hari ini media sosial malah menjadi tempat berkembangnya kebencian, provokasi dan segala bentuk ketidakadilan. Realitas ini mau tidak mau mengantarkan kita pada pertanyaan tentang keberlangsungan demokrasi. Berpikir kritis ternyata bukan sekadar urusan akademis, tetapi ia beririsan langsung dengan kehidupan politik, kehidupan bernegara. Absennya kritisisme berkontribusi pada fenomena pengerasan ideologi, karena sentimen dan bias kognisi beredar dalam media. Banalitas adalah endemi yang tidak hanya menjangkiti masyarakat secara luas, tapi juga menjangkiti percakapan akademis. Menurut Rocky, masyarakat saat ini cenderung abai pada substansi dan berfokus pada sensasi. Saat ini momen berpikir kritis adalah sebuah kelangkaan, sehingga penting dilakukan upaya-upaya untuk mengaktifkan kapasitas kritis manusia. Mengaktifkan pikiran kritis artinya mempertanyakan apa yang terjadi. Menurut Rocky bernalar yang keliru (logical fallacy) adalah hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi pikiran kritis. Bernalar yang keliru pertama-tama terjadi karena alur pikiran yang tidak sesuai dengan pakem logika, namun selain itu bernalar yang keliru juga dapat terjadi karena gangguan kognisi pada mental seseorang. Rocky mengungkapkan bahwa gangguan kognisi bisa terjadi karena nalar tidak lagi dipimpin oleh pikiran melainkan oleh keinginan. Dengan kata lain, logika tidak lagi beroperasi dan bias kognisi telah mendominasi. Rocky menyatakan bahwa logika dan kontrol terhadap bias kognisi adalah hal yang dapat dipelajari, namun ada situasi di mana seseorang malas untuk mengambil risiko dan mengambil jalan pintas pada believe. Artinya, seseorang tidak lagi mengandalkan penalaran tetapi memilih untuk melandaskan argumennya pada fundamen-fundamen tertentu seperti metafisik, teologis dan kultural. Menurut Rocky, setidaknya ada 3 hal yang harus selalu diwaspadai dalam memastikan aktivitas berpikir kritis yaitu: bernalar yang keliru, bias kognisi dan fanatisme terhadap nilai. Kritik adalah hal yang esensial dalam menjamin keberlangsungan momen berpikir kritis. “Berpikir kritis artinya mengurai dan menganalisis berbagai macam problem, menganalisis artinya melakukan kritik,” ungkap Rocky. Kritik adalah hal yang penting dalam upaya melakukan analisis, namun seringnya orang berfokus pada solusi. Kritik yang tanpa menghasilkan solusi dianggap sebagai kesia-siaan. Padahal menurut Rocky solusi bukanlah esensi dari kritik. Melakukan kritik artinya kita sedang menjalankan fungsi primer sebagai manusia. Berpikir kritis artinya bercakap dalam ruang dialogis dan terbuka terhadap kritik. Ironisnya, hari-hari ini orang mengidap resistensi terhadap kritik. Dalam hal kehidupan politik misalnya, kritik tidak dipahami sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman terhadap jalannya pembangunan. Rocky mengungkapkan bahwa makna demokrasi adalah menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat dan mempertanggungjawabkannya kembali pada rakyat. Dengan demikian, kritik seharusnya dipahami sebagai upaya untuk melakukan evaluasi terhadap mandat demokrasi itu sendiri. Kritik melekat dalam demokrasi. Rocky mengungkapkan bahwa demokrasi hanya dapat diaktifkan dengan melakukan kritik, sehingga menolak kritik dalam upaya menghidupi demokrasi adalah bentuk inkonsistensi dalam penalaran. Menolak kritik artinya menolak demokrasi. Saat ini kita dihadapkan pada sebuah kondisi di mana terjadi ketidakcukupan dalam melakukan kritik atas sebuah persoalan. Sebuah kondisi di mana masyarakat cenderung cepat beraksi daripada terlebih dahulu melakukan refleksi. Rocky menyatakan bahwa kritik haruslah tiba pada lapisan terakhir sebuah persoalan dan mampu melihat yang tidak terpikirkan. Kritik adalah sarana pembebasan, karena hanya melaluinya masyarakat dapat keluar dari wilayah doktrinasi. (Abby Gina) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |