![]() Sektor energi seperti halnya sektor publik lainnya sering dipandang sebagai dunia laki-laki, sedang perempuan hanya sebagai pengguna atau penerima manfaat. Sementara sesungguhnya perempuan juga terlibat dan memberikan kontribusi besar di sektor ini. Nama-nama seperti Maritje Hutapea (Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM), Tri Mumpuni (Institute Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan/IBEKA), Prianti Utami (Dian Desa), dan Asclepias Rahmi (Indonesian Institute for Energy Economics/IIEE) adalah sebagian sosok perempuan yang selama ini telah bekerja dan berkontribusi terhadap akses energi yang inklusif. Pengalaman keempat perempuan tersebut memperlihatkan bahwa akses atas energi memberi dampak besar bagi kehidupan perempuan karena itu perspektif gender menjadi sangat penting dalam isu energi. Maritje mengungkapkan ketersediaan energi dapat mendorong kewirausahaan perempuan. Ia menceritakan pengalamannya di Pulau Rote, ketika listrik telah menjangkau wilayah tersebut ibu-ibu di sana yang biasa mengolah makanan tradisional (semacam dodol) dapat meningkatkan kualitas produknya sehingga bisa dipasarkan hingga ke luar daerah dengan harga yang lebih baik. Maritje menambahkan bahwa regulasi dan anggaran juga menjadi aspek penting agar listrik dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil dan perbatasan. Sementara itu, Mumpuni yang telah puluhan tahun membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik di berbagai daerah yang belum terjangkau PLN (Perusahaan Listrik Negara) mengatakan keberadaan listrik dapat memangkas 98% pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan pada perempuan seperti mengangkut air dan mengumpulkan kayu bakar. Lebih lanjut Mumpuni mengatakan persoalan akses menjadi fokus perhatian karena hingga saat ini terdapat 900 juta orang yang belum mendapatkan akses yang cukup atas energi di kawasan Asia Pasifik. Tami yang sejak tahun 80-an bergabung dengan Yayasan Dian Desa yang salah satu fokus kerjanya adalah sektor energi terbarukan mengatakan bahwa tungku merupakan jantung bagi rumah tangga karena makanan yang diolah dengan tungku merupakan sumber energi bagi keluarga. Namun dari zaman batu hingga sekarang belum ada perubahan dalam penggunaan tungku biomassa yang menimbulkan polusi yang dapat mengganggu kesehatan. Meskipun sekarang sudah ada elpiji, tetapi di sejumlah wilayah penggunaan tungku kayu tetap berjalan. Untuk itu organisasinya mengembangkan tungku dengan pembakaran tertutup yang desainnya turut melibatkan masyarakat dampingan mereka. Pada tahun 2014 Dian Desa bekerja sama dengan Kementerian ESDM dan Bank Dunia mengembangkan program Tungku Sehat Hemat Energi. Sementara Rahmi bersama organisasinya mengolah data-data yang ada seperti data BPS (Badan Pusat Statistik) tentang potensi desa (Podes) terkait wilayah yang sudah dan belum teraliri listrik dengan menampilkannya secara visual sehingga data-data tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan dapat menjadi acuan untuk memecahkan persoalan energi. Rahmi mengatakan informasi tersebut kemudian disebarkan pada pemerintah provinsi agar kepala daerah setempat dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk membuka akses atas energi. Lantas sejauhmana perspektif gender dalam program-program terkait sektor energi dapat mengubah relasi gender yang timpang? Mumpuni menjelaskan ketika akses energi masuk ke suatu daerah, pekerjaan-pekerjaan yang semula harus dilakukan oleh perempuan dan menguras waktu—seperti mengumpulkan air yang membutuhkan waktu tujuh jam seperti biasa dilakukan perempuan di Sumba misalnya—dapat dipangkas sehingga mereka memiliki waktu untuk melakukan hal-hal produktif lainnya. Ketika mereka menggunakan waktunya untuk menenun dan kemudian dapat menjadi sumber penghasilan, maka pada akhirnya akan membuat posisi perempuan menjadi lebih setara. Pendapat senada diungkapkan Maritje, menurutnya penghematan waktu akibat terbukanya akses terhadap energi dapat digunakan oleh para ibu-ibu untuk melakukan aktivitas produktif yang membuat mereka menjadi lebih berdaya. Demikian pula pendapat Rahmi yang menyatakan bahwa membuka akses terhadap energi tidak semata-mata hanya memperkenalkan energi kepada perempuan, tetapi juga aspek lain dalam hidup, seperti mendorong kewirausahaan yang dapat menumbuhkan self esteem perempuan. Keempat perempuan tersebut membagi pengalaman mereka selama menekuni sektor energi dalam forum Women & Energy Festival bertajuk “Perempuan Bicara Energi: Akses yang Setara” di Jakarta, Selasa (19/12). Fabby Tumiwa, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) selaku penyelenggara acara berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi bagi perempuan dan anak muda untuk masuk dan bekerja di sektor energi sehingga sektor ini tidak lagi didominasi oleh laki-laki. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
February 2025
Categories |