Bagi kalangan Islam, Ad Dien dimaknai sebagai way of life, jalan hidup, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Namun demikian, pembedaan agama dan politik bukan berarti tidak bisa dilakukan. Demikian pernyataan Muhamad Ali, Dosen Universitas California, Riverside dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan” yang diadakan Jurnal Perempuan pada (1/7) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Menurutnya secara administratif Indonesia bersifat sekuler. Di Indonesia secara historis telah terjadi pemisahan demikian, misalnya keberadaan Kementerian Agama dan pemisahan pemimpin agama dan pemimpin politik. Hal ini sudah menunjukkan jalan benar ke arah demokratisasi. Lebih lanjut Muhamad mengatakan mindset masyarakat menyatakan bahwa dalam segala hal aspek agama harus ada. Sehingga partai non agamis pun tetap mengakomodasi agama dan semua partai memainkan bahasa agama. Kelemahannya kemudian ternyata agama malah menjadi faktor pembeda, pemisah dan diskriminasi. Agama menjadi faktor negatif jika dijadikan bahasa dan sumber normatif ajaran universal yang berlaku bagi seluruh masyarakat, misalnya keadilan. Menurut Muhamad kemunculan politik identitas merupakan bentuk kemunduran, karena yang harus dikembangkan adalah politik nilai. (Anita Dhewy) Berbicara tentang politik dan agama, persoalan yang muncul di Indonesia adalah partai politik yang memiliki peran politik tidak bisa menjalankan misi agama yang bersemangat toleransi dan anti diskriminasi. Sehingga ketika agama masuk dalam politik yang terjadi justru membawa kegelapan. Hal ini bisa dilihat dari lahirnya kebijakan-kebijakan diskriminatif atas nama moral dan agama yang muncul sejak masa Orde Baru hingga pascareformasi. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, hingga 2014 terdapat 342 peraturan daerah (perda) diskriminatif. Demikian pernyataan Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan” yang digelar Jurnal Perempuan pada Selasa (1/7) di Kantor Yayasan Jurnal Perempuan. Lebih lanjut Masruchah mengatakan eksekutif dan legislatif yang menginisiasi kebijakan diskriminatif tersebut, dilandasi oleh politik kepentingan dan tidak didasari oleh pemahaman atas konstitusi dan agama. Kontrol negara melalui agama semakin menguatkan diskriminasi dan kekerasan serta pengabaian hak-hak warga negara. Menurutnya situasi 5 tahun ke depan pasca pemilihan legislatif akan semakin berat. Persoalan perempuan semakin mencuat dalam konteks politik, agama dan negara. (Anita Dhewy) Mustahil untuk memisahkan agama dan politik. Bangunan agama dalam kesadaran manusia usianya sangat tua dan merupakan bagian dari evolusi psikologis kita yang tertanam sejak dari alam sebelum manusia dilahirkan. Agama lahir dari gagasan revolusioner yang mengubah paradigma berpikir manusia, dari masyarakat tidak beradab menuju peradaban. Namun potensi positif dan konstruktif agama dalam setiap sektor kehidupan belum terangkat. Roh agama pun menjadi mati, cenderung konservatif, dan bahkan menjadi kekuatan represif. Yang kita perlukan, bukan menyingkirkan agama dari ranah publik, termasuk politik, namun revivalisasi agama atau pembaharuan yang memiliki kekuatan pencerahan. Peranan revolusioner agama di dalam sejarah berfungsi menjaga akal sehat politik selama masih dipakai sebagai suatu sarana untuk pencerahan. Sebaliknya dengan revitalisasi agama yang justru mengukuhkan status quo. Pendapat tersebut disampaikan oleh Manneke Budiman, angota Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus pengajar di Universitas Indonesia, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan”, bertempat di kantor Jurnal Perempuan pada hari Selasa, 1 Juli 2014. Acara diskusi tersebut dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Manneke mengungkapkan bahwa semangat membebaskan dan revolusioner bisa menjadi kekuatan yang bisa menandingi monopoli politik elit konservatif untuk berkuasa. Sebagai contoh bagaimana politik identitas bisa memiliki dua sudut pandang. Politik identitas bisa membebaskan dan memiliki potensi membangun kesadaran kritis sejauh dilancarkan oleh kelompok minoritas yang selalu terancam oleh dominasi mayoritas. Politik identitas menjadi represif ketika dipakai oleh pihak mayoritas. Perempuan bisa memainkan peran dalam politik identitas, sebagai feminis misalnya. Dalam tradisi Katolik, Yesus berperan sebagai pendobrak yang “melawan” elit-elit agama seperti para imam. (Nataresmi) Jurnal Perempuan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Politik, Agama dan Status Perempuan”, bertempat di kantor Jurnal Perempuan pada hari Selasa, 1 Juli 2014. Diskusi dihadiri oleh perwakilan lembaga, tokoh masyarakat serta akademisi yang memiliki perhatian tinggi terhadap isu perempuan, politik dan agama. Diskusi dibagi ke dalam dua sesi yang masing-masing berlangsung dua jam. Sesi pertama, fokus diskusi berangkat dari hasil pengamatan hasil pemilu legislatif April 2014, dengan data riset JP edisi 81 bertema “Perempuan Politisi”. Pada sesi ini dibahas bagaimana relasi agama dan politik serta turunannya terkait dengan fenomena agama dalam praktik berpolitik di Indonesia. Sesi kedua membahas visi misi dan program calon presiden RI menjelang pilpres 2014 terkait dengan isu perempuan dan gender. Acara diskusi dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Dalam acara tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) diwakili oleh Siti Khadijah Nasution, akrab dipanggil Bu Mimi. Dalam kapasitasnya sebagai staf khusus bidang agama pada Kementerian PPPA, berpendapat bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Dari segi Islam, Rasulullah dianggap guru kebenaran dan pemimpin negara. Di negara Pancasila, pemisahan agama dan negara tidak dipertajam. Nilai–nilai agama menjadi roh politik. Salah satu aktualisasi terbaik misalnya dilakukan lewat penegakan hukum. Menyoroti mandegnya RUU Kesetaraan Gender, Mimi menyatakan bahwa KPPA terus aktif mengawal proses pengesahan oleh DPR. Peran serta masyarakat sipil sangat diperlukan. Tim KPPPA juga berusaha memperjuangkan agar perda diskriminatif terhadap perempuan bisa direvisi. Oleh karena itu, kampanye penyadaran kesetaraan perempuan perlu dilakukan ke setiap daerah. Secara pribadi, Mimi berharap agar Jurnal Perempuan berperan dalam mengangkat narasi positif terkait agama, politik dan perempuan. Sebagai media yang dijadikan rujukan kaum intelektual, Jurnal Perempuan perlu menarasikan wacana positif tersebut. Hal tersebut sejalan dengan mandat agama dan politik yang memiliki tujuan untuk mencapai kebaikan dan keadilan umat. (Nataresmi) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |