Berangkat dari keprihatinan terhadap kasus Merry Utami (MU), perempuan yang dijatuhi hukuman mati dalam kasus narkoba, puluhan aktivis yang tergabung dalam Jaringan Solo melakukan aksi menolak eksekusi di Bundaran Gladak, Kamis (28/7). Jaringan Solo Raya dalam pemantauannya menemukan fakta kerentanan berlapis yang dialami perempuan pekerja migran, korban trafficking dan sindikasi kejahatan narkoba. Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, terdapat 12 pekerja migran dan atau keluarga terpidana mati di luar negeri serta empat perempuan terpidana mati di Indonesia. Beberapa temuan serius tersebut, sesuai edaran yang dibagikan kepada masyarakat, antara lain:
Oleh karena hal di atas, menyikapi rencana eksekusi tahap tiga, Jaringan Solo Raya menyatakan:
Di sela-sela aksi, Endang Listiani, koordinator sekaligus Direktur Spek-Ham kepada pers mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya pemberantasan narkoba, namun menentang solusi hukuman mati, terlebih kepada perempuan yang dijadikan korban dari kasus perdagangan manusia. "Hari ini adalah aksi nasional serempak di Jakarta, Semarang, Solo dan besok di Yogya. Kita berharap pemerintah Jokowi bisa mengkaji ulang dan mengabulkan grasi yang diajukan. Merry bukan gembong narkoba, dia hanya korban mafia,” pungkasnya. (Astuti Parengkuh) Pers Rilis Jaringan Masyrakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) “Amdal Abal-Abal, Rakyat Jadi Tumbal” Pocung: Dhatan mingkuh Anengga Tyas dadi luluh Kersa rerembagan Aturan tan den selaki Songsong Agung kulo ngkrantos tedhak ndiko Makna dari tembang: Tak gentar, Menunggu kerelaan hati, Maulah bermusyawarah, Aturan tak diingkari, Sang Pemimpin kami menunggu kedatanganmu. Jakarta, 29 Juli 2016, Sudah 4 hari kami para PETANI PEGUNUNGAN KENDENG di wilayah Rembang tetap tegar berada di “tenda perjuangan” di depan Istana Negara, menanti untuk bisa diterima dan bertemu secara langsung dengan pemimpin tertinggi kami, Presiden Joko Widodo. Lelah fisik dan mental tidak menjadi halangan bagi kami untuk terus menyuarakan dengan lantang ketidakadilan terhadap kami dan berbagai pelanggaran berat yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun korporasi untuk memuluskan pembangunan pabrik semen dan rencana penambangan batu kapur oleh PT. Semen Indonesia. Kedatangan Sony Subrata Komisaris independen PT. Semen Indonesia tanggal 27 Juli 2016 ke tenda perjuangan di depan istana negara kami sambut baik. Tapi karena sebelumnya Sony Subrata sudah pernah datang di tenda perjuangan di Rembang yang ingin memikirkan ibu-ibu di tenda dengan menawarkan solusi yaitu dengan cara akan memberi ganti rugi, maka pada kedatangan Sony Subrata yang kedua kali di tenda perjuangan di depan Istana Negara, kami tegaskan lagi bahwa kami berjuang bukan untuk mencari ganti rugi. Kami tolak pabrik semen hanya untuk menyelamatkan kelestarian Pegunungan Kendeng dan juga untuk mengingatkan bahwa Negara Indonesia yang tercinta ini harus menjadi negara yang mampu menjalankan amanat sesuai dengan UUD 1945. Sudah jelas tertulis pada pasal 33 UUD 45, dimana UUD 45 menjadi landasan hukum bagi semua aturan yang ada di negeri ini, bahwa: Ayat 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat 3 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat 4 Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ayat 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Masihkah kita akan membiarkan “kesalahan demi kesalahan” di depan mata ini berlanjut? Ayo sedulur, sebangsa dan setanah air, bersama-sama kita meluruskan arah kebijakan pembangunan yang telah keluar dari semangat para founding father kita, ketika mereka memproklamasikan kemerdekan negeri ini dengan pengorbanan yang tiada tara menjadi sumber energi kita untuk terus berjuang mewujudkan kebenaran. Dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang tak dihiraukan di atas Indonesia akan dicatat dunia sebagai negara yang tidak bermartabat. Maka Kami berada disini tidak semata-mata memikirkan kepentingan kami saat ini, TETAPI KEPENTINGAN ANAK CUCU, MASA DEPAN INDONESIA jika kegiatan industri semen dan penambangan jadi beroperasi di Jawa Tengah, khususnya Rembang. Sudah cukup berat beban kerusakan alam yang harus ditanggung Pulau Jawa akibat kesalahan pengelolaan sumber daya alam KARST. Sudah cukup pelajaran berharga yang dirasakan masyarakat di Jawa Timur dan Jawa Barat di daerah industri semen, yang saat ini harus “menelan pil pahit” akibat dampak industri semen. Kami tidak ingin Jawa Tengah, yang sebagai LUMBUNG PANGAN NASIONAL, ikut hancur akibat AMDAL ABAL-ABAL yang dengan sistematis dibuat demi mulusnya rencana pembangunan industri semen untuk korporasi. Dengan sekuat tenaga dan ridho dari Gusti Yang Maha Kuasa, kami akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan untuk terus menjaga lestarinya kawasan KARST yang ada di Jawa Tengah, untuk tetap lestarinya PERTANIAN yang telah menjadi jati diri kami sebagai bangsa. Lahan pertanian adalah sumber penghidupan kami yang selama ini telah menyejahterakankan kami , yang akan kami wariskan kepada anak cucu. Opini yang sengaja dibangun, bahwa para petani yang menolak ekspansi pabrik semen di Jawa Tengah adalah anti pembangunan, SANGATLAH TIDAK BENAR. Justru kami para petani yang selama ini telah memberikan DIRI kami seutuhnya demi Indonesia makmur dalam pangan. Kaidah PEMBANGUNAN YANG SEUTUHNYA tentu harus membawa kehidupan yang sudah baik menjadi lebih baik lagi, BUKAN MALAH MEMUSNAHKAN KEHIDUPAN. Bangunlah daerah kami dengan menciptakan pertanian yang tahan terhadap berbagai cuaca, Bangunlah irigasi-irigasi yang baik dan memadai. Bangunlah sistem pertanian yang tetap menjaga kelestarian alam dan tetap menjaga struktur tanah yang subur. Bangunlah sistem perdagangan hasil pertanian yang baik sehingga dikala panen, petani tidak merugi. Jawa Tengah memang TIDAK DIPERUNTUKKAN UNTUK PERTAMBANGAN. Pembangunan tetaplah harus menyesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung wilayah. Apalah artinya peraturan dan undang-undang yang dibuat jika kenyataannya dilanggar sendiri. Besar harapan kami, Bapak Presiden Joko Widodo berkenan bertemu dengan kami secara langsung dan berkenan pula untuk SEGERA MENINJAU KEMBALI keputusan dikeluarkannya izin pembangunan pabrik semen di Rembang. Dasar pemikiran kami adalah sederhana, “jika suatu proses dimulai dengan ketidakjujuran dan berbagai pelanggaran aturan yang ada, maka hasilnya TIDAK AKAN PERNAH BAIK ”. Untuk itu, membedah AMDAL Abal-Abal milik PT. Semen Indonesia adalah keharusan. Demi lestarinya PERTANIAN, demi terjaganya ekosistem, demi terhindarnya bencana ekologis dan demi Indonesia yang lebih baik. Salam Kendeng Lestari..... Kordinator JM-PPK Rembang Joko Prianto (082314203339) Berikut Daftar Pelanggaran Hukum dan Manipulasi Data yang Dilakukan PT. Semen Indonesia di Rembang:
#TolakPabrikSemen #DemiRembang #2ThnRembangMelawan Feminisme oleh sebagian umat Islam dimaknai secara negatif sebagai gerakan yang sengaja diciptakan untuk merusak akidah umat Islam serta dipandang sebagai perlawanan terhadap kodrat dan penolakan terhadap syariah. Dalam konteks Indonesia, perkembangan feminisme tak luput dari kecurigaan-kecurigaan tersebut. Prasangka buruk tersebut ditambah dengan tudingan bahwa feminisme adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Di sisi lain negara juga turut berkontribusi dalam memberikan stigma feminisme sebagai “aliran sesat” karena mengancam ideologi status quo “ibuisme negara” yang menopang orde baru. Paparan ini disampaikan Musdah Mulia dalam kuliah Kajian Filsafat dan Feminisme yang digelar Jurnal Perempuan pada Kamis (23/6) di kantor YJP. Sementara menurut Musdah sesungguhnya feminisme, terlepas dari berbagai aliran yang ada, meyakini bahwa ada hubungan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dan karenanya harus diubah. Untuk itu feminisme bertujuan mentransformasikan hubungan perempuan dan laki-laki sehingga seluruh anggota masyarakat dapat memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam memenuhi seluruh potensi kemanusiaan mereka. Lebih lanjut Musdah menyatakan bahwa esensi gerakan feminisme dalam menegakkan keadilan dapat dilihat dalam perjuangan Nabi Muhammad Saw ketika memperkenalkan ajaran tauhid. Konsep tauhid berarti menegasikan keyakinan kita kepada siapapun kecuali kepada Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain Tuhan, semuanya adalah makhluk, bahwa hanya ada satu pencipta. Ini mengarahkan kita pada satu konsep kesetaraan. Bahwa semua makhluk adalah sama, semua makhluk adalah setara dan hanya ada satu Tuhan yang patut disembah. Karena itu suami tidak bisa menjadi tuhan bagi istrinya, raja tidak bisa menjadi tuhan bagi rakyatnya, pemimpin bukan tuhan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Tauhid juga dapat dimaknai sebagai perjuangan memanusiakan manusia agar terwujud insan-insan bermoral atau dalam terminologi Islam disebut akhlaq karimah, melalui penegakan nilai-nilai keadaban, keadilan, kesetaraan, kebebasan bertanggungjawab, kedamaian dan kemaslahatan. Musdah juga mengungkapkan bahwa sebagai umat muslim kita harus meyakini bahwa manusia diciptakan dengan satu visi untuk menjadi khalifah fil-ardh. Islam mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, mengajak baik laki-laki maupun perempuan untuk berjuang menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan agar menjadi khalifah fil-ardh atau agen moral. Sementara misi penciptaan manusia adalah amar makruf nahi munkar (upaya-upaya transformasi dan humanisasi), yang mencakup transformasi pada diri kita, keluarga dan masyarakat. Karena itu Musdah menegaskan bahwa feminisme Islam berpijak pada konsep tauhid, konsep khalifah fil-ardh dan konsep amar makruf nahi munkar. Sementara isu-isu feminisme Islam mencakup isu kesetaraan, isu aqiqah (perayaan kelahiran anak perempuan), isu sunat, isu waris, isu mahar, isu perkawinan, isu perceraian, isu nusyuz, isu hak dan kesehatan reproduksi serta isu kepemimpinan. (Anita Dhewy) Islam adalah agama terbuka terhadap pelbagai kultur, ideologi dan ilmu pengetahuan, tak terkecuali feminisme. Feminisme diadopsi Islam seiring dengan keberadaan feminisme itu sendiri. Pernyataan ini disampaikan Neng Dara Affiah, aktivis perempuan yang sehari-hari aktif di Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia (IPPAI) ketika mengajar di kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) yang diadakan Jurnal Perempuan, Kamis (23/6). Lebih lanjut Neng menjelaskan Muhammad Abduh merupakan pemikir modernis Muslim awal yang mengadopsi gagasan feminis dalam fatwa-fatwa keagamaannya, misalnya pelarangan poligami dan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran Muhammad Abduh masuk ke Indonesia melalui para pelajar yang menuntut ilmu di al-Azhar, Mesir dan mereka yang membaca majalah al-Urwat al-Wustqo yang diasuh oleh Muhammad Abduh. Salah satu pelajar yang terpengaruh oleh Abduh adalah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Neng Dara menjelaskan Muhammadiyah yang terpengaruh pemikiran Muhammad abduh mendirikan organisasi perempuan, yakni Aisyiah di Yogyakarta pada tahun 1917. Pendirinya adalah Nyai Dahlan, istri KH Ahmad Dahlan. Menurut De Stuers, organisasi Aisyiah mewakili kelas menengah muslim yang sebagian dari mereka memiliki nama berakhiran ningrat. Aisyiah mendeklarasikan penolakan poligami pada tahun 1930. Namun di sisi lain Aisyiah melarang perempuan berambut pendek, naik sepeda, dll. Jadi terdapat ambiguitas, karena semangat yang ditekankan adalah pengetahuan harus mengadopsi dari Barat, tetapi tidak dengan perilakunya. Sementara pada tahun 1918, berdiri Sarikat Siti Fatimah di Garut yang merupakan bagian dari Kewanitaan organisasi Sarekat Islam. Pada tahun 1920, berdiri sebuah organisasi bernama Natdatoel Fataat, sebuah organisasi bercorak reformis dan dibentuk di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Dalam kongres Perempuan 1928, organisasi ini mengajukan pemikiran agar Undang-undang Perkawinan Islam diamandemen untuk memperbaiki hak-hak perkawinan perempuan Islam dan menuntut kemudahan perceraian. Dalam usulan terakhirnya, organisasi ini juga mengusulkan agar pakaian perempuan diganti dengan menggunakan rok, membela perempuan berambut pendek dan naik sepeda serta mendukung organisasi pandu puteri yang pada saat itu organisasi seperti Aisyiah-Muhammadiyah menolaknya. Lebih jauh Neng memaparkan pada masa Orde Baru, organisasi-organisasi perempuan Islam tergabung dengan organisasi federasi bernama Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) yang dibentuk pada tanggal 2 Juli 1967. Organisasi ini beranggotakan organisasi-organisasi wanita Islam yang bersifat nasional dan mempunyai cabang di daerah-daerah. Pada masa itu wacana tentang seksualitas tidak ada. Perempuan berkelompok dengan organisasi induknya saja. Peran yang dilakukan BMOIWI adalah membahas kembali draf UU Perkawinan, memperjuangkan hakim-hakim perempuan di pengadilan-pengadilan Agama, mengusulkan agar pengurus Majelis Ulama Indonesia diisi juga oleh ulama-ulama wanita. Pada masa Orde Baru ini pula, beberapa organisasi Islam mengadopsi perspektif gender dalam kerja-kerja gerakan dan pembaruan Islam. Diawali dengan menafsir ulang isu-isu perempuan dalam Islam seperti konsep kodrat, penciptaan manusia, kepemimpinan perempuan, poligami, pembagian waris, hak menentukan pasangan hidup, dll. Organisasi yang mengadopsi perspektif gender meliputi Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Yayasan Paramadina, Yayasan Kesejahteraan Fatayat NU. Sementara pada masa reformasi, organisasi-organisasi Islam yang mengadopsi perspektif gender adalah Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama, Rahima dan Fahmina Institut. Umumnya mereka menyadari bahwa banyak individu dan organisasi yang mendasarkan nilai-nilai hidupnya pada ajaran Islam dan mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yakni Alquran, Hadis dan seperangkat Hukum Islam, tetapi mereka merasakan dan mengalami adanya diskriminasi atas ajaran tersebut. Kelompok ini pun percaya bahwa terdapat banyak nilai-nilai baik yang bisa diadopsi dari Islam bagi peradaban kontemporer yang meletakkan nilai-nilai kemerdekaan dan kemajuan untuk perempuan. Neng Dara mengungkapkan bahwa feminisme sebagai konsep atau paradigma pengetahuan tidak pernah disebut dalam organisasi Islam. Sebaliknya konsep gender sudah lebih diterima. Meskipun gender merupakan anak dari feminisme, namun feminisme itu sendiri sebagai induknya tidak pernah disebut. Neng juga mengemukakan bahwa kelompok pembaru Islam saat ini justru NU—bukan Muhammadiyah atau Persis dengan diktum kembali ke Alquran dan sunah—melainkan masuk lewat fikih, karena itu yang memungkinkan untuk diubah. (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |