Islam adalah agama terbuka terhadap pelbagai kultur, ideologi dan ilmu pengetahuan, tak terkecuali feminisme. Feminisme diadopsi Islam seiring dengan keberadaan feminisme itu sendiri. Pernyataan ini disampaikan Neng Dara Affiah, aktivis perempuan yang sehari-hari aktif di Institut Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia (IPPAI) ketika mengajar di kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) yang diadakan Jurnal Perempuan, Kamis (23/6). Lebih lanjut Neng menjelaskan Muhammad Abduh merupakan pemikir modernis Muslim awal yang mengadopsi gagasan feminis dalam fatwa-fatwa keagamaannya, misalnya pelarangan poligami dan pembagian warisan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pemikiran Muhammad Abduh masuk ke Indonesia melalui para pelajar yang menuntut ilmu di al-Azhar, Mesir dan mereka yang membaca majalah al-Urwat al-Wustqo yang diasuh oleh Muhammad Abduh. Salah satu pelajar yang terpengaruh oleh Abduh adalah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Neng Dara menjelaskan Muhammadiyah yang terpengaruh pemikiran Muhammad abduh mendirikan organisasi perempuan, yakni Aisyiah di Yogyakarta pada tahun 1917. Pendirinya adalah Nyai Dahlan, istri KH Ahmad Dahlan. Menurut De Stuers, organisasi Aisyiah mewakili kelas menengah muslim yang sebagian dari mereka memiliki nama berakhiran ningrat. Aisyiah mendeklarasikan penolakan poligami pada tahun 1930. Namun di sisi lain Aisyiah melarang perempuan berambut pendek, naik sepeda, dll. Jadi terdapat ambiguitas, karena semangat yang ditekankan adalah pengetahuan harus mengadopsi dari Barat, tetapi tidak dengan perilakunya. Sementara pada tahun 1918, berdiri Sarikat Siti Fatimah di Garut yang merupakan bagian dari Kewanitaan organisasi Sarekat Islam. Pada tahun 1920, berdiri sebuah organisasi bernama Natdatoel Fataat, sebuah organisasi bercorak reformis dan dibentuk di Yogyakarta oleh organisasi Islam Walfadjri. Dalam kongres Perempuan 1928, organisasi ini mengajukan pemikiran agar Undang-undang Perkawinan Islam diamandemen untuk memperbaiki hak-hak perkawinan perempuan Islam dan menuntut kemudahan perceraian. Dalam usulan terakhirnya, organisasi ini juga mengusulkan agar pakaian perempuan diganti dengan menggunakan rok, membela perempuan berambut pendek dan naik sepeda serta mendukung organisasi pandu puteri yang pada saat itu organisasi seperti Aisyiah-Muhammadiyah menolaknya. Lebih jauh Neng memaparkan pada masa Orde Baru, organisasi-organisasi perempuan Islam tergabung dengan organisasi federasi bernama Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) yang dibentuk pada tanggal 2 Juli 1967. Organisasi ini beranggotakan organisasi-organisasi wanita Islam yang bersifat nasional dan mempunyai cabang di daerah-daerah. Pada masa itu wacana tentang seksualitas tidak ada. Perempuan berkelompok dengan organisasi induknya saja. Peran yang dilakukan BMOIWI adalah membahas kembali draf UU Perkawinan, memperjuangkan hakim-hakim perempuan di pengadilan-pengadilan Agama, mengusulkan agar pengurus Majelis Ulama Indonesia diisi juga oleh ulama-ulama wanita. Pada masa Orde Baru ini pula, beberapa organisasi Islam mengadopsi perspektif gender dalam kerja-kerja gerakan dan pembaruan Islam. Diawali dengan menafsir ulang isu-isu perempuan dalam Islam seperti konsep kodrat, penciptaan manusia, kepemimpinan perempuan, poligami, pembagian waris, hak menentukan pasangan hidup, dll. Organisasi yang mengadopsi perspektif gender meliputi Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Yayasan Paramadina, Yayasan Kesejahteraan Fatayat NU. Sementara pada masa reformasi, organisasi-organisasi Islam yang mengadopsi perspektif gender adalah Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama, Rahima dan Fahmina Institut. Umumnya mereka menyadari bahwa banyak individu dan organisasi yang mendasarkan nilai-nilai hidupnya pada ajaran Islam dan mendasarkan kerangka kerjanya pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yakni Alquran, Hadis dan seperangkat Hukum Islam, tetapi mereka merasakan dan mengalami adanya diskriminasi atas ajaran tersebut. Kelompok ini pun percaya bahwa terdapat banyak nilai-nilai baik yang bisa diadopsi dari Islam bagi peradaban kontemporer yang meletakkan nilai-nilai kemerdekaan dan kemajuan untuk perempuan. Neng Dara mengungkapkan bahwa feminisme sebagai konsep atau paradigma pengetahuan tidak pernah disebut dalam organisasi Islam. Sebaliknya konsep gender sudah lebih diterima. Meskipun gender merupakan anak dari feminisme, namun feminisme itu sendiri sebagai induknya tidak pernah disebut. Neng juga mengemukakan bahwa kelompok pembaru Islam saat ini justru NU—bukan Muhammadiyah atau Persis dengan diktum kembali ke Alquran dan sunah—melainkan masuk lewat fikih, karena itu yang memungkinkan untuk diubah. (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |