
Berdasarkan data, IDI Kalimantan Barat mengalami penurunan di tahun 2015, peran partai politik dan peran birokrasi Pemda menjadi indikator IDI Kalimantan Barat mengalami penurunan drastis dari tahun sebelumnya. IDI Kalimantan Barat pada tahun 2014 kategori baik kemudian berkurang menjadi kategori sedang 76,40 (turun 4,18 poin) di tahun 2015.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dilihat sebagai ukuran yang dapat membantu untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tiap daerah. Dalam konteks Kalimantan Barat, Syarifah menawarkan beberapa upaya untuk meningkatkan IDI Kalimantan Barat yang menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan upaya-upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam kebijakan publik. Lembaga legislatif menjadi pintu masuk untuk meningkatkan IDI Kalimantan Barat, sehingga rekomendasi yang diajukan Syarifah terkait kebijakan adalah, 1) Memperbaiki tata kelola internal partai politik yang selama ini masih bias gender, 2) Meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dalam politik dan pemerintahan serta meningkatkan keberpihakan yang adil gender, 3) Memperbaiki kinerja DPRD, 4) Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak.
Syarifah yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan menegaskan bahwa usulan di atas belum dapat dipenuhi jika pemerintah daerah tidak memiliki strategi yang tepat. Menurutnya perbaikan secara struktural melalui kebijakan juga perlu diiringi dengan implementasi peningkatan kapasitas terhadap sumber daya manusia dan program yang berbasis perdamaian dan pemberdayaan. Pertama, penting untuk memperkuat kapasitas dan Peran kaum muda dan kaum perempuan sebagai penggerak demokrasi dalam segala bidang. Kedua, melakukan Rencana Aksi Daerah (RAD) social recovery yang berbasis perdamaian dan pemberdayaan. Ia memberikan contoh untuk kasus trauma perempuan pasca konflik selama ini respons dan penanganannya belum cukup baik karena masih pada tataran program deteksi dini saja dan belum sampai pada program pemulihan perempuan yang mengalami trauma pasca konflik tersebut. Ketiga, sinergi peran antara akademisi, aktivis, birokrat dan masyarakat. Keempat, melakukan road map/pemetaan bersama antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Meskipun pemerintah pusat telah melakukan pemetaan kemiskinan namun masih terjadi perbedaan dengan fakta di lapangan tentang situasi kemiskinan di masyarakat.
Salah satu usulan yang diajukan untuk peningkatan IDI di atas adalah meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dalam politik dan pemerintahan serta meningkatkan keberpihakan yang adil gender. Menurut Syarifah hal ini bisa diwujudkan dengan memberikan pendidikan politik pada perempuan yang bersifat top-down dari tingkat pusat ke daerah. Syarifah menjelaskan bahwa selama ini perempuan masih menganggap politik sebagai sesuatu yang jauh dan tidak penting, karena politik selama ini diidentikkan sebagai wilayah laki-laki, penuh dengan perseteruan dan kekerasan. Padahal menurutnya politik bukan hanya bicara tentang keterwakilan saja, namun segala aspek kehidupan dan bertujuan untuk melakukan pembaharuan di masyarakat. Target dari adanya model pendidikan politik yang berperspektif gender menurutnya bukan hanya menghasilkan wakil rakyat namun juga melahirkan pemilih cerdas dan pemilu berkualitas. Dengan adanya pendidikan politik untuk perempuan ini, diharapkan perempuan dapat berada di posisi pengambilan keputusan di tingkat pusat hingga tingkat desa. Lebih jauh Syarifah mengungkapkan bahwa Gender Analysis Pathway (GAP) dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan publik atau regulasi pemerintah agar dapat memberikan akses, kontrol dan manfaat yang sama bagi perempuan, laki-laki, anak, difabel dll.
Melalui lembaga yang didirikannya, Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan, Syarifah bersama para mahasiswa membuat program pemberdayaan, yang menurutnya meskipun yang ia lakukan adalah langkah kecil tapi ia berharap dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kalimantan Barat. Beberapa program yang telah dilaksanakan oleh Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan antara lain, sekolah kepemimpinan desa, sekolah politik perempuan, sekolah pemilu untuk jurnalis, pelatihan literasi digital dengan gerakan menolak berita bohong dan siar kebencian, dan pelatihan sociopreneur for peace untuk peningkatan ekonomi pemuda yang berbasis perdamaian. Pada bagian terakhir paparannya, Kaprodi Sosiologi Universitas Tanjungpura ini memetakan berbagai persoalan di Kota Pontianak ini terkait isu keterwakilan perempuan dalam politik. Permasalahannya antara lain, masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan bahkan di tingkat desa, masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang politik yang berintegritas, masih rendahnya keberpihakan yang responsif gender, dan peran partai politik yang belum optimal dalam meningkatkan keterwakilan dan keberpihakan yang responsif gender. Persoalan-persoalan di atas menurutnya memengaruhi kebijakan publik yang dihasilkan, sehingga otomatis memengaruhi Indeks Demokrasi Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi)