Syarifah Ema Rahmaniah: Demokrasi Bisa Terwujud Jika Kebijakan Publik Memiliki Perspektif Gender31/3/2017
Kamis, 30 Maret 2017, Jurnal Perempuan bersama Program Studi Antropologi Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak menyelenggarakan Pendidikan Publik JP 92 Perempuan dan Kebijakan Publik dengan dukungan dari Ford Foundation. Acara yang diselenggarakan di Aula S2 Universitas Tanjungpura ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan, akademisi, aktivis, dan stakeholder di Kalimantan Barat. Salah satu pembicara dalam diskusi tentang perempuan dan kebijakan publik adalah Dr. Syarifah Ema Rahmaniah yang merupakan Kepala Program Studi Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura. Pada diskusi yang dimoderatori oleh Anita Dhewy (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan) ini, Syarifah menjelaskan mengenai status perempuan dalam parlemen, birokrasi dan pelayanan publik di Kalimantan Barat saat ini. Berdasarkan data, Syarifah menyebutkan jumlah anggota parlemen perempuan hasil pemilu 2014 di Kalimantan Barat belum mencapai 30%, Kabupaten Sekadau adalah wilayah dengan representasi perempuan di parlemen paling sedikit. Sebagai salah satu tim Pokja Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Kalimantan Barat, Syarifah menjelaskan bahwa hak untuk bebas berkeyakinan, bebas berpendapat, bebas dari diskriminasi dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan merupakan faktor penting dalam mengukur IDI. Hal ini sejalan dengan semangat feminisme untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Maka menurut Syarifah kebijakan publik yang diskriminatif pada perempuan akan berpengaruh besar terhadap IDI karena separuh dari penduduk Indonesia adalah perempuan. Berdasarkan data, IDI Kalimantan Barat mengalami penurunan di tahun 2015, peran partai politik dan peran birokrasi Pemda menjadi indikator IDI Kalimantan Barat mengalami penurunan drastis dari tahun sebelumnya. IDI Kalimantan Barat pada tahun 2014 kategori baik kemudian berkurang menjadi kategori sedang 76,40 (turun 4,18 poin) di tahun 2015. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) dilihat sebagai ukuran yang dapat membantu untuk melakukan perbaikan-perbaikan di tiap daerah. Dalam konteks Kalimantan Barat, Syarifah menawarkan beberapa upaya untuk meningkatkan IDI Kalimantan Barat yang menurutnya tidak bisa dilepaskan dengan upaya-upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam kebijakan publik. Lembaga legislatif menjadi pintu masuk untuk meningkatkan IDI Kalimantan Barat, sehingga rekomendasi yang diajukan Syarifah terkait kebijakan adalah, 1) Memperbaiki tata kelola internal partai politik yang selama ini masih bias gender, 2) Meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dalam politik dan pemerintahan serta meningkatkan keberpihakan yang adil gender, 3) Memperbaiki kinerja DPRD, 4) Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak. Syarifah yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan menegaskan bahwa usulan di atas belum dapat dipenuhi jika pemerintah daerah tidak memiliki strategi yang tepat. Menurutnya perbaikan secara struktural melalui kebijakan juga perlu diiringi dengan implementasi peningkatan kapasitas terhadap sumber daya manusia dan program yang berbasis perdamaian dan pemberdayaan. Pertama, penting untuk memperkuat kapasitas dan Peran kaum muda dan kaum perempuan sebagai penggerak demokrasi dalam segala bidang. Kedua, melakukan Rencana Aksi Daerah (RAD) social recovery yang berbasis perdamaian dan pemberdayaan. Ia memberikan contoh untuk kasus trauma perempuan pasca konflik selama ini respons dan penanganannya belum cukup baik karena masih pada tataran program deteksi dini saja dan belum sampai pada program pemulihan perempuan yang mengalami trauma pasca konflik tersebut. Ketiga, sinergi peran antara akademisi, aktivis, birokrat dan masyarakat. Keempat, melakukan road map/pemetaan bersama antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Meskipun pemerintah pusat telah melakukan pemetaan kemiskinan namun masih terjadi perbedaan dengan fakta di lapangan tentang situasi kemiskinan di masyarakat. Salah satu usulan yang diajukan untuk peningkatan IDI di atas adalah meningkatkan keterwakilan dan peran perempuan dalam politik dan pemerintahan serta meningkatkan keberpihakan yang adil gender. Menurut Syarifah hal ini bisa diwujudkan dengan memberikan pendidikan politik pada perempuan yang bersifat top-down dari tingkat pusat ke daerah. Syarifah menjelaskan bahwa selama ini perempuan masih menganggap politik sebagai sesuatu yang jauh dan tidak penting, karena politik selama ini diidentikkan sebagai wilayah laki-laki, penuh dengan perseteruan dan kekerasan. Padahal menurutnya politik bukan hanya bicara tentang keterwakilan saja, namun segala aspek kehidupan dan bertujuan untuk melakukan pembaharuan di masyarakat. Target dari adanya model pendidikan politik yang berperspektif gender menurutnya bukan hanya menghasilkan wakil rakyat namun juga melahirkan pemilih cerdas dan pemilu berkualitas. Dengan adanya pendidikan politik untuk perempuan ini, diharapkan perempuan dapat berada di posisi pengambilan keputusan di tingkat pusat hingga tingkat desa. Lebih jauh Syarifah mengungkapkan bahwa Gender Analysis Pathway (GAP) dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan publik atau regulasi pemerintah agar dapat memberikan akses, kontrol dan manfaat yang sama bagi perempuan, laki-laki, anak, difabel dll. Melalui lembaga yang didirikannya, Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan, Syarifah bersama para mahasiswa membuat program pemberdayaan, yang menurutnya meskipun yang ia lakukan adalah langkah kecil tapi ia berharap dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Kalimantan Barat. Beberapa program yang telah dilaksanakan oleh Pusat Studi Pengembangan Perdesaan dan Kawasan Perbatasan antara lain, sekolah kepemimpinan desa, sekolah politik perempuan, sekolah pemilu untuk jurnalis, pelatihan literasi digital dengan gerakan menolak berita bohong dan siar kebencian, dan pelatihan sociopreneur for peace untuk peningkatan ekonomi pemuda yang berbasis perdamaian. Pada bagian terakhir paparannya, Kaprodi Sosiologi Universitas Tanjungpura ini memetakan berbagai persoalan di Kota Pontianak ini terkait isu keterwakilan perempuan dalam politik. Permasalahannya antara lain, masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik dan pemerintahan bahkan di tingkat desa, masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang politik yang berintegritas, masih rendahnya keberpihakan yang responsif gender, dan peran partai politik yang belum optimal dalam meningkatkan keterwakilan dan keberpihakan yang responsif gender. Persoalan-persoalan di atas menurutnya memengaruhi kebijakan publik yang dihasilkan, sehingga otomatis memengaruhi Indeks Demokrasi Indonesia. (Andi Misbahul Pratiwi) Narapidana dan tahanan perempuan di sejumlah institusi penahanan berada dalam situasi hidup yang tidak cukup layak selama menjalani masa penahanan. Selain perampasan kemerdekaan, mereka juga harus mengalami keterbatasan hak untuk mengakses layanan-layanan dasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka, meskipun ketentuan-ketentuan mengenai pemenuhan kebutuhan ini sudah diatur dalam aturan internasional maupun aturan nasional. Pernyataan ini diungkapkan Lilis Lisnawati, peneliti dari Center for Detention Studies (CDS), lembaga yang bekerja untuk reformasi institusi penahanan ketika berbicara sebagai narasumber dalam acara Pendidikan Publik yang diselenggarakan Jurnal Perempuan bekerja sama dengan Prodi Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura dengan tema Perempuan dan Kebijakan Publik pada Kamis (30/3). Paparan yang disampaikan Lilis merupakan hasil survei kualitas layanan pemasyarakatan yang dilakukan CDS pada tahun 2013 hingga 2015 di lapas (lembaga pemasyarakatan) wanita, rutan (rumah penahanan) wanita, cabang rutan wanita, dan lapas pria yang di dalamnya menampung narapidana perempuan di 12 wilayah yakni Jakarta, Banten, Surabaya, Palembang, Bandung, Demak, Aceh, Makassar, Bali, Lampung, Kupang, dan Pontianak. Survei ini dilakukan sebagai bagian dari praktik pengawasan eksternal dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal pemasyarakatan dan universitas negeri di masing-masing wilayah. Terkait kebutuhan khusus perempuan seperti ketersediaan air bersih misalnya, Lilis memaparkan bahwa kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi dengan baik. Seperti yang terjadi di lapas wanita kelas IIA Kupang, lapas tersebut baru selesai dibangun pada 2015 dan instalasi air belum terpasang dengan baik, sehingga setiap hari narapidana dan tahanan perempuan di lapas Kupang harus mengangkat air dari depan lapas ke kamar mereka masing-masing. Sementara di lapas kelas IIA Pontianak karena belum ada lapas wanita, maka terdapat blok wanita di lapas yang diperuntukkan bagi narapidana laki-laki dewasa. Di blok wanita tersebut tidak disediakan fasilitas kesehatan, fasilitas tersebut hanya ada di blok laki-laki sehingga narapidana perempuan yang membutuhkan layanan kesehatan harus mendatangi blok laki-laki. Di lapas wanita kelas IIA Sungguminasa, fasilitas kamar mandi dibangun seperti kamar mandi bagi narapidana laki-laki, tanpa pintu, tidak beratap dengan tembok setinggi dada orang dewasa. Selain itu untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan sandang (kutang, mukena, pembalut) dan pemenuhan kebutuhan khusus bagi narapidana perempuan yang sedang hamil, menyusui dan membawa anak belum tersedia dengan baik. Lebih lanjut Lilis menjelaskan 3 dari 12 institusi penahanan yang disurvei merupakan institusi penahanan yang beroperasi resmi sebagai lapas pria. Cabang Rutan Lhoknga merupakan cabang rutan yang diperuntukkan bagi laki-laki yang kemudian dialihfungsikan untuk narapidana dan tahanan perempuan karena dengan berlakunya perda-perda syariah banyak perempuan yang dipidanakan. Meski demikian ketika survei dilakukan, masih ada laki-laki yang ditempatkan di sana. Untuk lapas yang beroperasi secara resmi sebagai lapas wanita, terdapat lapas wanita Tangerang dan lapas Semarang yang dibangun sejak zaman pemerintah kolonial Belanda, yang peruntukan awalnya ditujukan bagi narapidana laki-laki. Setelah ada pembangunan lapas-lapas baru, bangunan lapas yang lama kemudian dilungsurkan untuk tahanan perempuan. Sedang pada bangunan lapas yang baru seperti lapas wanita kelas III Kupang yang selesai dibangun pada 2015 dibuat tetap dengan desain dan pola bangunan yang sama persis dengan rutan yang diperuntukkan bagi laki-laki dewasa. Keberadaan bangunan lapas yang dibuat dengan tidak memerhatikan kebutuhan perempuan dan tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan khusus narapidana dan tahanan perempuan menurut Lilis terkait erat dengan konstruksi dan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Lilis menjelaskan persoalan ini dengan mengaitkannya dengan status perempuan dalam tatanan sosial masyarakat. Perempuan dipandang sebagai kelompok inferior dan dalam pembagian kerja secara seksual perempuan ditempatkan sebagai pengasuh dan perawat keluarga yang berada di ranah domestik sehingga diasumsikan aktivitasnya jauh dari tindakan yang dapat memacu adrenalin dan berbahaya karenanya perempuan dianggap jauh dari peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Dengan kata lain kejahatan dianggap sebagai aktivitas yang dilakukan terutama oleh laki-laki. Karena itu perempuan yang melanggar hukum juga disebut sebagai penyimpang ganda, yakni pertama karena perempuan secara sosial tidak diharapkan melakukan pelanggaran dan yang kedua karena pelanggarannya itu sendiri. Anggapan ini cukup kuat tertanam di masyarakat dan mengakibatkan kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatur masyarakat pun belum sensitif gender, termasuk kebijakan-kebijakan dalam institusi penahanan. Untuk itu menurut Lilis para pembuat dan pelaksana kebijakan pemasyarakatan harus memiliki kepekaan dan perspektif gender sehingga kebijakan-kebijakan yang disusun serta penanganan terhadap narapidana dan tahanan perempuan menjadi lebih ramah perempuan dan memerhatikan kebutuhan khusus mereka. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang ada menjadi sejalan dengan prinsip pengarusutamaan gender. (Anita Dhewy) Dalam rangka memperingati International Woman’s Day 2016, Sahabat Jurnal Perempuan (SJP) Yogyakarta mengadakan pemutaran dan diskusi film Suffragette (2015) yang bertempat di Gedung Teresa Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada kamis 9 Maret 2016. Kegiatan ini merupakan agenda yang pertama kali dilakukan Sahabat Jurnal Perempuan Yogyakarta guna untuk mempererat solidaritas antar anggota. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Mieke Karolus selaku pembawa acara dan dilanjutkan dengan pemutaran film Suffragette yang menceritakan tentang perjuangan para perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi mendapatkan kesetaraan sosial. Latar belakang kehidupan perempuan di Inggris pada tahun 1962 menjadikan film dengan genre drama dan latar belakang sejarah ini semakin menarik perhatian para peserta diskusi. Kematian dari salah seorang tokoh perempuan Suffragette menjadi awal dari pembahasan diskusi dengan pemantik Karina Roosevita (Seniman dan Peneliti) dan dimoderatori oleh Makrus Ali (Staf Bidang Perempuan dan Politik Yayasan SATUNAMA). Dalam diskusi tersebut Karina menyampaikan bagaimana kaitanya film Suffragette dengan hak perempuan pada saat ini. “Perhatian media, martir, kesatuan suara, yang ada dalam film Suffragette bisa menjadi strategi penting yang patut dicontoh oleh pergerakan perempuan saat ini”, ujar Karina dalam paparannya. Tidak hanya strategi yang harus diperhatikan dalam film tersebut menurut Dr. Phill. Lukas S. Ispandriarno (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta) film Suffragette membangkitkan kembali perempuan agar menjadi militan. Selain mengungkap pandangannya kepada peserta diskusi, Karina juga mengaitkan Suffragette dengan realita hak perempuan pada saat ini, khusunya pada bidang industri film yang secara langsung dialami Karina selama proses menjadi seorang penulis skenario. Dengan demikian Karina menyimpulkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan secara struktural memang telah dialami sejak dahulu bahkan hingga saat ini, sehingga untuk memperjuangkannya perempuan harus bersatu dan bergerak bersama. (Nur Khofifah) Rabu, 8 Maret 2017 Jurnal Perempuan mengadakan perayaan Hari Perempuan Internasional di Balai Sarwono, Kemang. Dalam rangkaian perayaan tersebut Jurnal Perempuan meluncurkan dan mendiskusikan JP92 yang bertema “Perempuan dan Kebijakan Publik”. Salah satu narasumber dalam diskusi tersebut adalah Atnike Nova Sigiro, Manajer Program Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA) yang memaparkan tentang “Perempuan dan Politik kesejahteraan”. Atnike meyatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah upaya yang dilakukan demi memenangkan politik kesejahteraan yang merupakan harapan semua pihak, termasuk perempuan, oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana perspektif feminis memandang kebijakan publik. Atnike melihat bahwa terdapat sejumlah kebijakan publik yang diberlakukan di Indonesia dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan. Kebijakan publik di Indonesia masih berfokus pada kesejahteraan sosial dan belum menyentuh persoalan identitas gender. Hal ini sebenarnya penting dijadikan sebagai pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Menurut Atnike, dalam mengkritisi kebijakan publik yang ada, penting bagi kita untuk melihat apa yang menentukan politik kesejahteraan sebuah negara? Mengapa Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan sosial tertentu? Misalnya Indonesia memilih BPJS atau asuransi sosial sebagai bentuk kebijakan publik/sosial dalam bidang kesehatan. Apa sebenarnya alasan pemerintah menerapkan BPJS dan bukan menerapkan model asuransi sosial yang melekat pada setiap warga seperti pada negara Inggris? Mengapa kereta api listrik (KRL) di Jabodetabek memiliki gerbong khusus perempuan? Padahal di negara lain transportasi publik tidak membutuhkan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Mengapa bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) diberikan kepada perempuan? Mengapa pula program keluarga harapan menetapkan sebuah syarat harus ada anak berusia sekolah, ibu yang sedang hamil dan berbagai kriteria lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk kita persoalkan, karena ketika indikator-indikator ini dipraktikkan di lapangan, ia malah membatasi akses masyarakat terhadap jaminan sosial. Sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia belum memiliki politik ekonomi dan kesejahteraan yang pasti, padahal hal tersebut penting supaya sebuah negara dapat menentukan dirinya di masa depan. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya kesinambungan antara satu program pemerintahan dengan program pemerintahan yang lain. Pembubaran Departemen Sosial pada pemerintahan Gus Dur misalnya, hal ini menimbulkan kegelisahan sosial, tapi pada saat itu Gus Dur memberikan kritik tajam bahwa sesungguhnya tidak ada konsep yang jelas mengenai politik kesejahteraan di negara Indonesia. Salah satu pemikir penting yang menjelaskan mengenai politik kesejahteraan sebuah negara adalah Esping Andersen (1990). Pemikiran Andersen digunakan untuk melihat bagaimana sebuah negara membangun struktur politik kesejahteraan, ada tiga faktor penentu yaitu; mobilisasi kelas, koalisi politik kelas dan pola institusional yang diwarisi dari masa sebelumnya. Menurut Atnike, faktor-faktor tersebut absen dari politik kesejahteraan Indonesia. Mobilisasi kelas dan solidaritas di antara kelas-kelas sosial tidak ada di Indonesia. Setiap kelompok hanya memperjuangkan kepentingannya tanpa mengkritisi nasib yang lainnya. Misalnya kelompok buruh yang menuntut hak atas tunjangan tetapi menolak untuk peduli pada nasib pekerja dari sektor informal. Tidak ada koalisi antara buruh dengan sektor informal, tidak pula ada koalisi antara politik perempuan dengan politik buruh atau kaum miskin kota, seluruh perjuangan berjalan secara sektoral. Atnike juga menggarisbawahi bahwa pola institusionalisasi yang diwariskan dari masa Soekarno hingga sekarang terputus-putus. Ini menyebabkan politik kesejahteraan kita tidak berkelanjutan dan tidak terintegrasi dengan politik ekonomi yang lebih besar. Menurut Atnike, untuk membaca mobilisasi politik kesejahteraan di Indonesia, perlu dilihat mengenai aspirasi politik kesejahteraan apa yang diwakili oleh partai politik? apakah aspirasi perempuan terwakili? Hingga saat ini, Atnike melihat bahwa politik kesejahteraan di Indonesia hanya digunakan sebagai sarana membangun populisme di saat pemilu. Dengan kata lain, dari perspektif feminis kita dapat melihat bahwa aspirasi politik yang dibawa oleh parpol belum merefleksikan politik kesejahteraan untuk perempuan. Hal ini menghasilkan sebuah kebijakan yang tidak memerhatikan politik kesejahteraan yang berperspektif perempuan. Dalam teori politik dan ekonomi dikenal pemisahan antara yang publik dan privat. Ranah publik adalah aktivitas yg membutuhkan campur tangan atau regulasi negara atau sosial. Kebijakan publik adalah upaya negara untuk mengintervensi ruang publik, baik dalam pembuatan regulasi, alokasi sumber daya, membuat anggaran dan berperan dalam roda perekonomian. Menurut Atnike, ketika kita bicara mengenai ruang publik, maka ada persoalan gender di sana. Ruang publik didominasi laki-laki. Dari segi profesi misalnya, perempuan masih diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat privat seperti dokter, administrasi dan berbagai jenis pekerjaan-pekerjaan yang dianggap berelasi dengan perawatan dan halus, sedangkan pekerjaan yang erat kaitannya dengan ruang publik diasosiasikan dengan laki-laki. Atnike memaparkan beberapa pandangan mengenai fungsi negara dalam kebijakan publik. Pertama, peran negara minimal hanya untuk memastikan kebebasan ekonomi atau disebut sebagai pandangan klasik liberal dari Adam Smith. Model ini seperti yang diterapkan di Amerika. Negara memberi jaminan bahwa tiap orang tidak boleh dibatasi aksesnya pada kesejahteraan karena ras dan identitas gender. Kedua, ranah privat harus diintervensi negara apabila menimbulkan masalah (harm) bagi publik dan kepentingan yang lebih besar mengalahkan yang kecil atau dikenal dengan greater good dari JS Mill. Aplikasi teori ini bisa dilihat pada penanganan kasus banjir di Jakarta. Banjir memberikan kerugian pada publik, penyebab banjir adalah orang-orang yang tinggal di pinggiran sungai. Demi menjamin kesejahteraan bagi publik maka negara melakukan intervensi, orang-orang yang dianggap menimbulkan masalah (harm) bagi kesejahteraan publik harus menyingkir, karena keberadaannya mengganggu greater good. Ketiga, pendekatan Keynesian yang menyatakan bahwa keseimbangan antara publik dan privat tidak bisa hanya diserahkan kepada pasar. Negara berperan sebagai fasilitator antara publik dan privat. Pemimpin negara dengan demikian harus memiliki visi dan misi mengenai kesejahteraan, karena jika tidak maka politik kesejahteraan suatu negara akan menjadi lemah. Feminisme melayangkan kritik terhadap pemisahan privat dan publik. Atnike memaparkan setidaknya ada tiga kritik feminis. Pertama, pemisahan publik dan privat memiliki bias kelas dan patriarkis seperti diungkapkan Carole Pateman, misalnya anggapan bahwa kerja atau peran domestik tidak memiliki kontribusi bagi publik. Kedua, feminisme melihat bahwa pemisahan publik dan privat berbasis seks harus direartikulasi sebagaimana dinyatakan Kate Millet, termasuk mengungkapkan opresi dan ketidaksetaraan dalam pemisahan tersebut. Ketiga, Contested nature dalam pemisahan antara publik dan privat, baik dari konteks waktu, tempat, maupun kekuasaan seperti dipaparkan Yuval-Davis. Menurut Atnike dikotomi antara privat dan publik dalam kaitannya dengan politik kesejahteraan tidak bisa diterima begitu saja melainkan harus selalu bisa dikontestasi. Perempuan memiliki dua ruang dalam format politik kesejahteraan yaitu politik formal dan politik informal. Politik formal mengagendakan keterlibatan perempuan dalam politik formal, contohnya kuota 30% di parlemen dan di level eksekutif, anggaran berbasis gender, UU KDRT, dsb. Politik informal mendukung politik formal, misalnya keterlibatan perempuan dalam komunitas atau aktivisme seperti Suara Ibu Peduli pada 1998, gerakan perempuan Kendeng menolak pabrik semen, gerakan menolak hukuman mati kepada perempuan buruh migran, gerakan pemberdayaan perempuan kepala keluarga dan pemberian bantuan hukum bagi korban KDRT. Politik informal bergerak untuk mengawasi politik formal, menjamin bahwa tujuan dari politik formal dirasakan oleh perempuan. Dengan demikian perempuan dalam politik kesejahteraan adalah upaya untuk mewujudkan pengakuan atas status dan kewarganegaraan perempuan (citizenship) dalam kebijakan publik. Kebijakan publik yang berperspektif perempuan dengan demikian adalah kebijakan yang mengakui keberbedaan perempuan (difference), mengakui kesetaraan (equality). (Abby Gina) Yulianti Muthmainnah: Implementasi KIS-PBI Belum Inklusif dan Abai Terhadap Persoalan Gender10/3/2017
Rabu 8 Maret 2017, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Jurnal Perempuan mengadakan pendidikan publik dan diskusi JP92 yang bertemakan Perempuan dan Kebijakan Publik di Balai Sarwono, Kemang, Jakarta Selatan. Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut adalah penulis Topik Empu JP92 Yulianti Muthmainnah, pengajar Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta. Ia memaparkan penelitiannya terhadap implementasi kebijakan Kartu Indonesia Sehat-Penerima Bantuan Iuran (KIS-PBI) di tiga wilayah yaitu Jakarta, Bogor dan Depok. KIS-PBI adalah jaminan kesehatan masyarakat yang khusus diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk masyarakat miskin dan tidak mampu karena memenuhi 9 dari 14 indikator kelompok miskin yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Satistik (BPS). Ketiga kota tersebut dipilih Yuli karena para mahasiswanya yang terlibat di dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari wilayah tersebut sehingga penelitian ini juga dimaksudkan agar memberikan kebermanfaatan secara langsung kepada orang-orang disekitar. Penelitian yang dilakukan oleh Yuli dan mahasiswanya mengenai implementasi kebijakan KIS-PBI ini cukup mengagetkan. KIS yang sejatinya adalah sebuah jaminan sosial masyarakat yang diberikan oleh negara karena secara resmi dijamin melalui undang-undang, ternyata belum inklusif dan cenderung tak acuh terhadap persoalan gender, khususnya persolan kesehatan perempuan. Hal tersebut terbukti dengan tidak dimasukkannya indikator elemen gender seperti perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan kepala keluarga dengan banyak tanggungan, janda tua, janda miskin, janda, buta huruf atau laki-laki yang menjadi tulang punggung banyak anggota keluarga ke dalam kategori kelompok yang berhak menerima KIS-PBI. Seperti kasus yang terjadi di Kampung Cikabon, Bogor yang kepala desanya mempunyai program bedah rumah bagi warganya yang miskin sehingga ketika indikator dari BPS digunakan untuk mengukur kemiskinan di desa tersebut, terdapat warga yang tidak teridentifikasi sebagai penerima bantuan karena memiliki rumah permanen. Namun sebenarnya rumah tersebut dihuni oleh dua hingga lima Kepala Keluarga (KK) yang berbeda. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa ada distorsi dalam impelementasi kebijakan KIS-PBI di wilayah yang diteliti. Setelah memasukkan elemen-elemen gender—seperti yang disebutkan di atas—pada peta desa di wilayah yang diteliti, Yuli dan timnya menemukan ada 2 masalah besar yang terjadi dalam implementasi kebijakan KIS-PBI. Pertama adalah soal pemutakhiran data penerima KIS-PBI yang tidak terbarui secara berkala dan konsisten, serta yang kedua adalah adanya ketidakharmonisan hubungan antar lembaga penerbit KIS-PBI. Persoalan pertama mengenai lambatnya pemutakhiran data penerima KIS-PBI, sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan bahwa proses verifikasi dan validasi orang miskin dalam Rumah Tangga Sasaran (RTS) secara rutin dilakukan setiap enam bulan sekali oleh kades/lurah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering kali kepala desa/lurah tidak memperbarui data penduduknya sehingga banyak warga yang sebetulnya berhak mendapatkan KIS-PBI justru terabaikan. Yuli menjelaskan bahwa contoh kasus seperti ini terjadi pada Ibu N di Rawamangun, Jakarta Timur. Ibu N awalnya memiliki memiliki kartu JKN-Mandiri kelas III. Lalu setelah ditinggal oleh suaminya begitu saja selama lebih dari dua tahun, kehidupan ekonominya makin sulit. Ia lalu menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berprofesi sebagai tukang sampah. Saat ini ia sedang hamil tua dan bersiap melahirkan. Namun, ketika data ibu N diserahkan pada kantor BPJS Rawamangun, Jakarta Timur untuk didaftarkan sebagia penerima KIS-PBI, data tersebut ditolak karena ibu N memiliki tunggakan pembayaran sejak tahun 2014. BPJS Rawamangun juga menolak melakukan pemutakhiran data sekalipun mahasiswa sudah memberikan surat keterangan miskin dari kelurahan dan sudah menjelaskan kondisi ibu N. BPJS Rawamangun meminta ibu N melakukan pembayaran atas tunggakan, baru setelah itu data bisa diubah. Dengan kondisi ibu N yang sedang hamil tua, ia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari apalagi untuk membayar tunggakan BPJS. Padahal, jika merujuk pada peraturan tentang BPJS, sejak tahun 2011 layanan JKN sudah diperluas untuk ibu hamil, bayi yang dikandung serta pada penderita talasemia mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) atau yang belum terdaftar namun telah mendapat surat keterangan direktur rumah sakit sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Pengobatan Thalassaemia yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Akan tetapi aturan ini diabaikan oleh pihak BPJS Rawamangun. Untuk persoalan yang kedua mengenai ketidakharmonisan hubungan antar lembaga, hal ini tercermin dari temuan penelitian di kota Depok. Pejabat daerah setempat baik RT/RW/Kelurahan memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami teknis pembuatan kartu KIS-PBI. Tiga belas KK untuk kartu KIS-PBI bagi kelompok miskin di Kampung Pitara, Depok ditolak. Ketika tim peneliti mendatangi Dinas Sosial Kota Depok untuk meminta KIS-PBI bagi 13 KK di Kampung Pitara Depok, Dinas Sosial menjelaskan bahwa data warga yang berhak atas KIS-PBI telah final dan tidak dapat dilakukan penambahan peserta baru. Setelah tim peneliti mendapatkan penolakan dari Dinas Sosial Kota Depok, mereka kemudian meminta pertolongan Dinas Kesehatan Kota Depok untuk tetap memperjuangkan 13 KK ini agar mendapatkan KIS-PBI, namun Dinas Kesehatan Kota Depok meminta mahasiswa membawa surat MoU (Memorandum of Understanding) dari kampus. Selain sebagai surat kesepakatan kerjasama, surat tersebut dimaksudkan untuk menjamin dana dari kampus guna membayar KIS-PBI yang akan didata mahasiswa. Alasannya karena data penerima KIS-PBI telah final dan jika akan menambahkan jumlah peserta KIS-PBI maka pihak kampus yang harus memberikan jaminan pembayaran. Namun kejadian serupa tidak terjadi di Kampung Bojong Lio, Depok. Ibu-ibu PKK di Kampung Bojong Lio justru sangat kooperatif dan sangat membantu dalam pembuatan KIS-PBI bagi warga di wilayah mereka. Yuli menambahkan bahwa ibu-ibu PKK di sana seperti mempunyai “jatah” untuk membuat KIS-PBI agar warganya bisa mendapatkan akses KIS-PBI, sehingga 17 dari 20 KK yang diajukan untuk mendapatkan KIS-PBI berhasil dikabulkan. Kasus ketidakharmonisan hubungan antar lembaga juga terjadi di Puskesmas Kramat Jati. Petugas di sana mengatakan bahwa kartu KIS-PBI hanya dapat diproses oleh orang yang bersangkutan yang membuat kartu. Namun, ketika tim peneliti kembali ke Puskesmas yang sama seminggu kemudian untuk kembali membuat KIS-PBI, mereka dilayani oleh petugas yang berbeda tetapi anehnya ternyata tim peneliti dibantu dan dilayani dengan baik untuk proses pembuatan KIS-PBI. Catatan penting dari penelitian ini menurut Yuli adalah bahwa tidak bisa dipungkirinya adanya bias gender di dalam keseluruhan proses pembuatan kartu jaminan social—terutama KIS-PBI—bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, kurang disiplinnya pejabat terkait untuk melakukan pemutakhiran data warga miskin dan tidak mampu, serta adanya perbedaan perspektif dan distorsi di semua tingkat birokrasi terkait penerbitan KIS-PBI mengenai siapa yang layak dan tidak layak untuk mendapatkan KIS-PBI menjadi catatan tersendiri sekaligus PR bagi pemerintah untuk terus memperbaiki kebijakan publik yang inklusif bagi semua pihak, termasuk perempuan. (Naufaludin Ismail) Rabu, 8 Maret 2017, Yayasan Jurnal Perempuan menyelenggarakan acara Pemutaran Film Empire of Dirt dan Diskusi JP 92 Perempuan dan Kebijakan Publik dengan dukungan dari Kedutaan Besar Kanada untuk Indonesia dan Timor Leste dan Ford Foundation di Balai Sarwono, Jakarta. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2017. Diskusi JP 92 Perempuan dan Kebijakan Publik menghadirkan Rahma Iryanti (Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan BAPPENAS), Yulianti Muthmainnah (Penulis JP 92 dan Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Atnike Sigiro (Manajer Program Forum Asia) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Rahma Iryanti membuka diskusi ini dengan memberikan pengantar bahwa kesetaraan gender merupakan isu pembangunan yang memiliki nilai tersendiri, yang menurutnya dapat memperkuat kemampuan negara untuk berkembang dalam aktivitas ekonomi, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Lebih jauh Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan BAPPENAS itu menekankan bahwa pembangunan ekonomi akan membuka banyak jalan untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam jangka panjang. Menurutnya dibutuhkan langkah-langkah dan strategi untuk menangani ketidaksetaraan yang masih mengakar. Rahma Iraynti menguraikan beberapa persoalan mendasar seperti Angka Kematian Ibu (AKI), angka melahirkan di usia remaja, proporsi perempuan di parlemen, proporsi perempuan usia 25 tahun yang berpendidikan rendah dan menengah, dan partisipasi angkatan kerja perempuan usia 15 tahun yang berdasarkan data merupakan komponen yang memengaruhi tingginya Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia. “Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean, sejak tahun 2008 hingga 2014, IKG Indonesia masih cukup tinggi, jadi kita masih ketinggalan jauh jika dibandingkan Singapura, Malaysia dan Vietnam misalnya”, ungkap Rahma. Dalam sesi diskusi ini, Rahma menampilkan data-data yang menurutnya bisa dijadikan indikator untuk melihat capaian kesetaraan gender di Indonesia. Pertama, data mengenai tingkat pendidikan perempuan di Indonesia yang menurutnya tidak ada kenaikan selama 5 tahun terakhir dan gap antara pelajar laki-laki dan perempuan untuk jenjang pendidikan di perguruan tinggi masih sangat besar. Kedua, di bidang kesehatan terdapat peningkatan usia harapan hidup perempuan, lebih tinggi daripada laki-laki. Ketiga, di bidang ketenagakerjaan yaitu salah satunya diukur dengan Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (TPAK). Rahma memaparkan bahwa masih ada kesenjangan TPAK laki-laki dan perempuan yaitu 51% perempuan dan 82% laki-laki di tahun 2015. Menurutnya gap tersebut cukup besar sehingga perlu ada upaya untuk mendorong perempuan agar ke depan dapat mengakses sumber daya produktif. Keempat, tenaga profesional perempuan meningkat selama 5 tahun, dari 44% menjadi 46%. Lebih jauh Rahma mengungkapkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO sehingga harusnya sudah tidak ada lagi diskriminasi di pasar kerja. “Dalam segi hukum, Indonesia telah meratifikasi konvensi ILO dan kita juga sudah punya undang-undang ketenagakerjaan, saya pikir negara sudah cukup berperan secara hukum”, ungkapnya. Selanjutnya Rahma menjelaskan mengenai kebijakan apa saja yang telah dilakukan pemerintah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang menurutnya akan memengaruhi peningkatan kesetaraan gender di Indonesia. Rahma mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi juga oleh partisipasi angkatan kerja perempuan di pasar kerja dan peningkatan pendapatan perempuan. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan memperluas kesempatan kerja yang akan memengaruhi investasi keluarga di bidang pendidikan dan kesehatan. Ia menyebutkan beberapa program pemerintah guna membuka akses seluas-luasnya terhadap sumber daya, misalnya pembangunan infrastruktur, sanitasi, pendidikan, kesehatan dan kebijakan pasar tenaga kerja. Di bidang pendidikan pemerintah sudah memiliki program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan program beasiswa anak di jenjang SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi untuk 40% penduduk yang berpendapatan rendah, di bidang kesehatan sudah ada fasilitas (Kartu Indonesia Sehat). Meski demikian ada beberapa hal yang perlu diperbaiki menurut Rahma yaitu mengenai UU Ketenagakerjaan yang menurutnya masih membuat pasar tenaga kerja mengeluarkan kebijakan yang dikriminatif, contohnya pemecatan kepada tenaga kerja perempuan lebih diprioritaskan jika perusahaan bangkrut, kemudian kebijakan lembur yang jarang diberikan kepada tenaga kerja perempuan. Sehingga menurut Rahma ke depan pemerintah perlu memberikan dorongan berupa kebijakan publik agar perempuan dan laki-laki dapat mengakses sumber daya produktif dengan setara. (Andi Misbahul Pratiwi) Saat ini jurang ekonomi antara laki-laki dan perempuan terus berlanjut di sebagian besar belahan dunia. Perempuan umumnya menerima pendapatan yang lebih kecil untuk kerja mereka dan cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak tetap, informal dan rentan. Hanya sedikit perempuan yang berada di posisi pemimpin di bidang ekonomi dan angka kekerasan terhadap perempuan juga masih tinggi. Untuk itu kita membutuhkan kebijakan publik yang didesain untuk mengatasi ketidaksetaraan ini dan memastikan bahwa perempuan mendapat kesempatan dan perlindungan hak asasi manusia yang sama dengan laki-laki. Pernyataan ini disampaikan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Peter MacArthur ketika memberikan sambutan dalam Perayaan Hari Perempuan Internasional (HPI) yang diselenggarakan Yayasan Jurnal Perempuan bersama Kedutaan Besar Kanada pada Rabu (8/3) di Balai Sarwono, Jakarta. Lebih lanjut MacArthur mengungkapkan bahwa untuk mendukung perempuan dan anak perempuan secara lebih baik, pihaknya meyakini bahwa kebijakan publik harus berbasiskan hak dan gender serta inklusif. Kebijakan publik dan undang-undang harus sensitif terhadap berbagai dampak yang akan diakibatkan terhadap laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, kebijakan publik harus bersifat transformatif dengan berinvestasi pada kemampuan dan potensi kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Sementara itu Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Gadis Arivia dalam sambutannya menyampaikan bahwa peringatan Hari Perempuan Internasional merupakan momen untuk melakukan refleksi dan mengevaluasi kembali peranan perempuan di dunia dan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia terdapat sejumlah persoalan yang masih dihadapi perempuan, baik persoalan kesehatan, akses atas tanah maupun perkawinan. Seperti UU Perkawinan yang berlaku yang masih belum adil terhadap perempuan namun belum direvisi hingga saat ini. Selain itu juga masih terdapat sejumlah kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Gadis menambahkan jika perempuan tidak memahami haknya dan tidak mampu mendesak pemerintah untuk menyusun kebijakan yang adil maka akan sulit bagi kita untuk mendapatkan ruang publik yang adil gender. Menurut Gadis kita membutuhkan pemimpin yang bisa setting the tone, mempunyai nada yang stabil yang bisa memberi inspirasi pada masyarakatnya, seperti halnya Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, seorang pemimpin yang memberikan contoh dan dalam berbagai kesempatan dengan bangga mengaku sebagai seorang feminis. Perayaan HPI ini diisi dengan pemutaran film Empire of Dirt dan diskusi bertema Perempuan dan Kebijakan Publik. Hélène Viau Konselor Politik dan Hubungan Masyarakat Kedutaan Besar Kanada menjelaskan Empire of Dirt yang disutradai oleh Peter Stebbings berkisah tentang tiga generasi perempuan penduduk asli Kanada yang menemukan bahwa keluarga dapat membantu membebaskan mereka dari masa lalu yang kelam dan memberikan kesempatan kedua. Pemutaran film diikuti dengan diskusi yang mengupas tentang film tersebut bersama Hélène Viau dan Gadis Arivia. Momen ini juga menjadi ajang diskusi Jurnal Perempuan edisi terbaru yakni JP92 yang mengambil tema Perempuan dan Kebijakan Publik. Diskusi tersebut mengupas kebijakan dari tiga aspek, pertama dari aspek kebijakan yang dijalankan pemerintah terkait perempuan dengan menghadirkan pembicara Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas Rahma Iryanti. Kedua dari segi implementasi yang secara khusus menyoroti kebijakan jaminan sosial melalui program Kartu Indonesia Sehat-Penerima Bantuan Iuran yang dipaparkan oleh Yulianti Muthmainnah, dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Ketiga dari sisi perspektif feminis dengan pembicara Atnike Nova Sigiro, Manajer Program Forum Asia. Selain pemutaran film dan diskusi, perayaan HPI juga dimeriahkan dengan pertunjukan musik dengan menghadirkan penyanyi pop Oppie Andaresta dan musisi jazz Tesla Manaf. Selain itu pembacaan puisi oleh Zubaidah Djohar dan Dewi Nova juga mewarnai acara yang berlangsung meriah. Perayaan ini diikuti sekitar 250 peserta yang berasal dari berbagai kalangan antara lain mahasiswa, aktivis, akademisi, profesional dan media serta lintas generasi. Sejumlah tokoh perempuan seperti Sjamsiah Achmad dan Mooryati Soedibyo juga hadir. (Anita Dhewy) “Masyarakat adat punya aturan yang sangat ketat. Kami ingin aturan adat berlaku di taman nasional, karena aturan masyarakat adat tidak ada yang menyimpang dari aturan pemerintah. Tapi pemerintah tidak mau memasukkan dan menerima aturan adat. Pemerintah harus memahami masyarakat adat karena masyarakat adat tidak pernah menyimpang dari aturan negara.” Pernyataan ini disampaikan oleh Andris Salu perwakilan masyarakat adat Bahau Hulu Kalimantan Utara pada Seminar Nasional Konservasi Rakyat yang diselenggarakan Working Group ICCAs (Indigenous peoples’ and Community Conserved Areas and territories)di Indonesia pada Selasa (28/2) di Jakarta. Testimoni yang disampaikan Andris adalah satu dari sebelas testimoni yang disampaikan perwakilan masyarakat adat. Pernyataan ini muncul karena selama ini kebijakan pengelolaan kawasan konservasi masih menempatkan konservasi sebagai kewenangan dan kebijakan pusat, dengan tidak memberikan ruang bagi masyarakat adat dan lokal untuk terlibat dan berpartisipasi. Seperti pernyataan Pengendum, perwakilan Orang Rimba, Jambi yang mengungkapkan bahwa Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang Taman Nasional Bukut Dua Belas muncul tahun 2000, namun Orang Rimba baru mengetahui hal tersebut pada 2004. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Orang Rimba terkait untuk apa dan bagi siapa keberadaan taman nasional tersebut karena Orang Rimba tidak dilibatkan sama sekali. Pernyataan serupa diungkapkan Suparyono dari Kampar yang menyatakan bahwa masyarakat Kampar baru mengetahui keberadaan undang-undang tentang kehutanan dan suaka margasatwa pada tahun 2000-an sementara undang-undang tersebut telah ada sejak tahun 1990-an. Menurut Suparyono hal ini dikarenakan pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses pembuatan peraturan tersebut. Sejatinya masyarakat adat dan masyarakat lokal telah lama melakukan praktik konservasi dengan menjaga hutan, danau, sungai, pesisir dan sumber daya alam lainnya. Mereka melakukannya dengan menetapkan Barong Karamaka (hutan keramat) di komunitas adat Ammatoa Kajang-Bulukumba, leuweung tutupan dan leuweung titipan di komunitas adat kasepuhan-Lebak Banten, pangae kapali (hutan larangan yang tidak boleh dikunjungi) di komunitas adat Wanaposangke-Morowali, sasi lompa di Haruku-Maluku, lubuk larangan di Kenegerian Batusonggan Kampar, awig-awig di Teluk Jor Lombok Timur, dan perlindungan danau Empangau oleh masyarakat desa Empangau di Kapuas Hulu. Selain itu masyarakat adat dan lokal juga memiliki peraturan adat yang melarang pengambilan sumber daya alam secara berlebihan. Sumber daya alam bagi masyarakat adat dan lokal merupakan sumber penghidupan dan mendatangkan kesejahteraan bagi mereka secara berkelanjutan. Sementara itu terkait peran perempuan dalam proses konservasi yang dilakukan masyarakat adat, swecara umum dapat dikatakan bahwa perempuan punya peran dan terlibat, namun derajat keterlibatannya di masing-masing komunitas/masyarakat adat sangat bervariasi. Di masyarakat adat Ammatoa Kajang misalnya, sebagaimana dituturkan oleh Camat Kajang Andi Buyung Saputra, perempuan Kajang memiliki posisi yang sangat mulia, karena perempuanlah yang melantik Ammatoa (pemimpin adat) yang disebut sebagai Aronta. Dalam proses konservasi perempuan adalah pelaku, mereka terlibat dalam pengelolaan dan perawatan sumber daya alam. Demikian juga dengan peran perempuan di masyarakat adat Wanaposangke dan Sumok-Merauke. Akan tetapi pada masyarakat adat Haruku dan Bahau Hulu, peran perempuan tidak terlalu banyak diakomodir terutama dalam posisi adat dan pertemuan adat. Saat ini revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem sedang masuk pembahasan di DPR RI. Terkait hal ini WGII melihat ada hal-hal prinsip yang terlewat dalam RUU tersebut, seperti pengakuan terhadap peran, kearifan, dan praktik konservasi oleh masyarakat hukum adat dan lokal dan wilayahnya yang dikelola secara lestari untuk konservasi sumber daya alam. Hal ini ditegaskan oleh Pengendum yang menyatakan bahwa konservasi yang diinginkan masyarakat adalah konservasi yang berbasis ekologi masyarakat artinya kearifan lokal masyarakat harus tetap ada. “Orang Rimba ingin agar sistem konservasi adat masuk dalam peraturan nasional, kami juga ingin mendorong adanya perda yang melindungi Orang Rimba dan hutannya agar tetap lestari. Karena jika tidak ada hutan, Orang Rimba tidak akan ada.” (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |