Rabu, 8 Maret 2017 Jurnal Perempuan mengadakan perayaan Hari Perempuan Internasional di Balai Sarwono, Kemang. Dalam rangkaian perayaan tersebut Jurnal Perempuan meluncurkan dan mendiskusikan JP92 yang bertema “Perempuan dan Kebijakan Publik”. Salah satu narasumber dalam diskusi tersebut adalah Atnike Nova Sigiro, Manajer Program Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA) yang memaparkan tentang “Perempuan dan Politik kesejahteraan”. Atnike meyatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah upaya yang dilakukan demi memenangkan politik kesejahteraan yang merupakan harapan semua pihak, termasuk perempuan, oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana perspektif feminis memandang kebijakan publik. Atnike melihat bahwa terdapat sejumlah kebijakan publik yang diberlakukan di Indonesia dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan. Kebijakan publik di Indonesia masih berfokus pada kesejahteraan sosial dan belum menyentuh persoalan identitas gender. Hal ini sebenarnya penting dijadikan sebagai pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Menurut Atnike, dalam mengkritisi kebijakan publik yang ada, penting bagi kita untuk melihat apa yang menentukan politik kesejahteraan sebuah negara? Mengapa Indonesia menerapkan kebijakan-kebijakan sosial tertentu? Misalnya Indonesia memilih BPJS atau asuransi sosial sebagai bentuk kebijakan publik/sosial dalam bidang kesehatan. Apa sebenarnya alasan pemerintah menerapkan BPJS dan bukan menerapkan model asuransi sosial yang melekat pada setiap warga seperti pada negara Inggris? Mengapa kereta api listrik (KRL) di Jabodetabek memiliki gerbong khusus perempuan? Padahal di negara lain transportasi publik tidak membutuhkan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Mengapa bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) diberikan kepada perempuan? Mengapa pula program keluarga harapan menetapkan sebuah syarat harus ada anak berusia sekolah, ibu yang sedang hamil dan berbagai kriteria lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk kita persoalkan, karena ketika indikator-indikator ini dipraktikkan di lapangan, ia malah membatasi akses masyarakat terhadap jaminan sosial. Sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia belum memiliki politik ekonomi dan kesejahteraan yang pasti, padahal hal tersebut penting supaya sebuah negara dapat menentukan dirinya di masa depan. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya kesinambungan antara satu program pemerintahan dengan program pemerintahan yang lain. Pembubaran Departemen Sosial pada pemerintahan Gus Dur misalnya, hal ini menimbulkan kegelisahan sosial, tapi pada saat itu Gus Dur memberikan kritik tajam bahwa sesungguhnya tidak ada konsep yang jelas mengenai politik kesejahteraan di negara Indonesia. Salah satu pemikir penting yang menjelaskan mengenai politik kesejahteraan sebuah negara adalah Esping Andersen (1990). Pemikiran Andersen digunakan untuk melihat bagaimana sebuah negara membangun struktur politik kesejahteraan, ada tiga faktor penentu yaitu; mobilisasi kelas, koalisi politik kelas dan pola institusional yang diwarisi dari masa sebelumnya. Menurut Atnike, faktor-faktor tersebut absen dari politik kesejahteraan Indonesia. Mobilisasi kelas dan solidaritas di antara kelas-kelas sosial tidak ada di Indonesia. Setiap kelompok hanya memperjuangkan kepentingannya tanpa mengkritisi nasib yang lainnya. Misalnya kelompok buruh yang menuntut hak atas tunjangan tetapi menolak untuk peduli pada nasib pekerja dari sektor informal. Tidak ada koalisi antara buruh dengan sektor informal, tidak pula ada koalisi antara politik perempuan dengan politik buruh atau kaum miskin kota, seluruh perjuangan berjalan secara sektoral. Atnike juga menggarisbawahi bahwa pola institusionalisasi yang diwariskan dari masa Soekarno hingga sekarang terputus-putus. Ini menyebabkan politik kesejahteraan kita tidak berkelanjutan dan tidak terintegrasi dengan politik ekonomi yang lebih besar. Menurut Atnike, untuk membaca mobilisasi politik kesejahteraan di Indonesia, perlu dilihat mengenai aspirasi politik kesejahteraan apa yang diwakili oleh partai politik? apakah aspirasi perempuan terwakili? Hingga saat ini, Atnike melihat bahwa politik kesejahteraan di Indonesia hanya digunakan sebagai sarana membangun populisme di saat pemilu. Dengan kata lain, dari perspektif feminis kita dapat melihat bahwa aspirasi politik yang dibawa oleh parpol belum merefleksikan politik kesejahteraan untuk perempuan. Hal ini menghasilkan sebuah kebijakan yang tidak memerhatikan politik kesejahteraan yang berperspektif perempuan. Dalam teori politik dan ekonomi dikenal pemisahan antara yang publik dan privat. Ranah publik adalah aktivitas yg membutuhkan campur tangan atau regulasi negara atau sosial. Kebijakan publik adalah upaya negara untuk mengintervensi ruang publik, baik dalam pembuatan regulasi, alokasi sumber daya, membuat anggaran dan berperan dalam roda perekonomian. Menurut Atnike, ketika kita bicara mengenai ruang publik, maka ada persoalan gender di sana. Ruang publik didominasi laki-laki. Dari segi profesi misalnya, perempuan masih diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat privat seperti dokter, administrasi dan berbagai jenis pekerjaan-pekerjaan yang dianggap berelasi dengan perawatan dan halus, sedangkan pekerjaan yang erat kaitannya dengan ruang publik diasosiasikan dengan laki-laki. Atnike memaparkan beberapa pandangan mengenai fungsi negara dalam kebijakan publik. Pertama, peran negara minimal hanya untuk memastikan kebebasan ekonomi atau disebut sebagai pandangan klasik liberal dari Adam Smith. Model ini seperti yang diterapkan di Amerika. Negara memberi jaminan bahwa tiap orang tidak boleh dibatasi aksesnya pada kesejahteraan karena ras dan identitas gender. Kedua, ranah privat harus diintervensi negara apabila menimbulkan masalah (harm) bagi publik dan kepentingan yang lebih besar mengalahkan yang kecil atau dikenal dengan greater good dari JS Mill. Aplikasi teori ini bisa dilihat pada penanganan kasus banjir di Jakarta. Banjir memberikan kerugian pada publik, penyebab banjir adalah orang-orang yang tinggal di pinggiran sungai. Demi menjamin kesejahteraan bagi publik maka negara melakukan intervensi, orang-orang yang dianggap menimbulkan masalah (harm) bagi kesejahteraan publik harus menyingkir, karena keberadaannya mengganggu greater good. Ketiga, pendekatan Keynesian yang menyatakan bahwa keseimbangan antara publik dan privat tidak bisa hanya diserahkan kepada pasar. Negara berperan sebagai fasilitator antara publik dan privat. Pemimpin negara dengan demikian harus memiliki visi dan misi mengenai kesejahteraan, karena jika tidak maka politik kesejahteraan suatu negara akan menjadi lemah. Feminisme melayangkan kritik terhadap pemisahan privat dan publik. Atnike memaparkan setidaknya ada tiga kritik feminis. Pertama, pemisahan publik dan privat memiliki bias kelas dan patriarkis seperti diungkapkan Carole Pateman, misalnya anggapan bahwa kerja atau peran domestik tidak memiliki kontribusi bagi publik. Kedua, feminisme melihat bahwa pemisahan publik dan privat berbasis seks harus direartikulasi sebagaimana dinyatakan Kate Millet, termasuk mengungkapkan opresi dan ketidaksetaraan dalam pemisahan tersebut. Ketiga, Contested nature dalam pemisahan antara publik dan privat, baik dari konteks waktu, tempat, maupun kekuasaan seperti dipaparkan Yuval-Davis. Menurut Atnike dikotomi antara privat dan publik dalam kaitannya dengan politik kesejahteraan tidak bisa diterima begitu saja melainkan harus selalu bisa dikontestasi. Perempuan memiliki dua ruang dalam format politik kesejahteraan yaitu politik formal dan politik informal. Politik formal mengagendakan keterlibatan perempuan dalam politik formal, contohnya kuota 30% di parlemen dan di level eksekutif, anggaran berbasis gender, UU KDRT, dsb. Politik informal mendukung politik formal, misalnya keterlibatan perempuan dalam komunitas atau aktivisme seperti Suara Ibu Peduli pada 1998, gerakan perempuan Kendeng menolak pabrik semen, gerakan menolak hukuman mati kepada perempuan buruh migran, gerakan pemberdayaan perempuan kepala keluarga dan pemberian bantuan hukum bagi korban KDRT. Politik informal bergerak untuk mengawasi politik formal, menjamin bahwa tujuan dari politik formal dirasakan oleh perempuan. Dengan demikian perempuan dalam politik kesejahteraan adalah upaya untuk mewujudkan pengakuan atas status dan kewarganegaraan perempuan (citizenship) dalam kebijakan publik. Kebijakan publik yang berperspektif perempuan dengan demikian adalah kebijakan yang mengakui keberbedaan perempuan (difference), mengakui kesetaraan (equality). (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |