Sekitar 25 orang yang tergabung dalam komunitas Jejer Wadon, Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS) dan elemen mahasiswa melakukan longmarch dan orasi dari Sriwedari menuju Gladag pada Rabu (25/11). Dilatarbelakangi oleh meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun baik yang terjadi di ruang privat maupun publik. Longmarch dan orasi tersebut merupakan salah satu rangkaian acara peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang akan berakhir pada 10 Desember 2015. Perbandingan jumlah kasus kekerasan di ruang privat jauh lebih tinggi dibanding dengan yang terjadi di ruang publik, yakni tiga berbanding satu. Menurut data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2014, jumlah kekerasan di ranah privat 8.626 kasus (sebagian besar korbannya adalah perempuan) dan di ruang publik sebanyak 3.860 kasus dan paling banyak adalah kasus kekerasan seksual. Dalam orasinya, Jejer Wadon, JPPAS dan elemen mahasiswa menyerukan keprihatinan atas kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, khususnya kekerasan seksual yang merupakan kejahatan kemanusiaan. Aksi tersebut menyuarakan beberapa tuntutan yakni, 1) Usut tuntas kasus kekerasan seksual, 2) Tegakkan supremasi hukum dan keberpihakan pada korban, 3) Desak pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan dan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan seksual, 4) Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Seruan juga disampaikan oleh Haryati Panca Putri, Ketua JPPAS, terkait dengan pasangan calon walikota dan wakil walikota, pemimpin daerah yang akan terpilih, untuk memenuhi hak-hak perempuan—termasuk dengan mengusut tuntas kasus kekerasan seksual terduga Raja Solo. Dalam wawancaranya kepada Jurnal Perempuan, Fitri Junanto yang tergabung dalam JPPAS mengatakan bahwa saat ini lembaganya, SPEK-HAM, telah berjejaring dengan lembaga lain melakukan advokasi agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan—yang saat ini masuk di Prolegnas DPR RI—agar segera disahkan. (Astuti Parengkuh) Jumat, 13 November 2015, Jurnal Perempuan bersama kelompok Pekka kecamatan Cikidang kabupaten Sukabumi menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) yang mengangkat tema “Pernikahan Anak: Status Anak Perempuan?” di Kantor Desa Cikidang. Diskusi ini dihadiri oleh 12 peserta yang merupakan stakeholder di Kecamatan Cikidang, yaitu Kades, perwakilan KUA, Pelaksana Tugas BKKBD, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, dan kader kesehatan. FGD ini diselenggarakan untuk memetakan persoalan, kendala, dan tantangan kondisi anak perempuan di Kecamatan Cikidang perihal pernikahan di bawah umur. Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy sebagai fasilitator mengungkapkan bahwa FGD ini adalah upaya bersama untuk melihat bagaimana status anak perempuan perihal pernikahan di Kecamatan Cikidang. Bukan hanya soal pernikahan yang didiskusikan dalam forum ini, namun juga membahas persoalan-persoalan pendidikan, kultur, agama dan kesehatan reproduksi yang semuanya saling berkaitan satu sama lain. “Jadi kami ingin tahu dari bapak dan ibu bagaimana sebenarnya pernikahan di bawah umur di Kecamatan Cikidang ini dan kami tentu ingin juga mendengar cerita dan pengalaman bapak dan ibu sekalian”, papar Anita untuk membuka FGD ini. Pola diskusi ini adalah memaparkan beberapa data, kasus serta solusi mengenai fenomena pernikahan anak dari perspektif masing-masing lembaga. Diskusi berjalan dinamis, pernyataan dari satu dan lainnya ada yang kontradiktif dan ada yang yang saling terkait. “Selama saya menjabat hanya 1 kasus pernikahan di bawah umur, Itu pun terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan”, tutur Kades Cikidang. Pernyataan lain dituturkan oleh kader Posyandu yang juga anggota kelompok Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), “Pernikahan di bawah umur ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan jika hamil di usia muda akan berisiko tinggi”, ungkap Iis. Mengenai Kespro juga diungkapkan oleh Pelaksana Tugas BKKBD Cikidang yang mengatakan bahwa kematangan usia pernikahan yaitu pada usia 20 tahun dan untuk kematangan usia kehamilan adalah 21 tahun. Salah satu aktivis perempuan juga mengungkapkan bahwa pernikahan di usia dini itu sebenarnya banyak tapi tidak terdata, karena biasanya pernikahan di bawah umur dilakukan secara ‘bawah tangan’ atau nikah siri dan tidak dicatat KUA. Pernikahan seperti itu menurutnya akan merugikan perempuan dalam berbagai aspek termasuk dalam pengurusan akta kelahiran anak. Faktor lainnya yang diungkapkan ialah mengenai rendahnya tingkat pendidikan, faktor ekonomi dan budaya yang juga turut memengaruhi terjadinya pernikahan di usia anak. “KUA laksanakan pencatatan pernikahan sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jika masih berusia di bawah 16 tahun harus ke Pengadilan Agama untuk meminta dispensasi nikah”, tutur Cecep sebagai perwakilan dari KUA Cikidang. Pernyataan tersebut dilanjutkan oleh tokoh agama yang mengatakan bahwa selain UU Perkawinan, mereka juga mempertimbangkan tentang kehamilan yang tidak diinginkan—hal yang tabu—sehingga harus segera dinikahkan untuk menutupi rasa malu. Meskipun data yang diungkapkan dalam FGD ini masih belum tergambar jelas namun Jurnal Perempuan akan menggali lagi kasus pernikahan di bawah umur, terutama persoalan pencatatan pernikahan melalui metode wawancara terhadap anak yang telah melaksanakan pernikahan di bawah umur. Di akhir diskusi Anita melontarkan satu pertanyaan penutup yaitu tentang harapan para peserta sebagai orang tua terhadap anak mereka. Semua peserta setuju terhadap pertimbangan mengenai Kespro dan usia yang matang untuk menikah. (Andi Misbahul Pratiwi) Apakah karena saya gay maka saya tidak bisa berbuat baik? Apa karena saya ditolak masyarakat maka Tuhan tidak mau menerima saya? Yang saya tahu, tanpa kejujuran tak akan kau temukan kebenaran”, kata-kata tersebut dilontarkan oleh seorang aktivis gereja, Mamoto Gultom, pada acara LGBTIQ International Symposium di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jumat kemarin. Simposium yang berlangsung pada tanggal 6 hingga 8 November 2015 ini terdiri dari 18 sesi yang membahas LGBTIQ dari berbagai sudut pandang, terutama pandangan teologi. Simposium ini dibuka dan ditutup menggunakan bahsaa inggris namun semua pemateri pada hari pertama ini nampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia karena hampir seluruh peserta yang hadir adalah orang Indonesia. Simposium ini menghadirkan tamu undangan dari berbagai negara seperti Filipina dan Uganda. Terlihat juga kehadiran Dede Oetomo, seorang peneliti, aktivis gay Indonesia, serta penulis buku Memberi Suara Pada Yang Bisu. Di hari pertama, acara dimulai pukul 13.00 wib dengan diskusi pertama berjudul, “Queer Enough To Be Queer”, diskusi tersebut mengundang 3 pembicara yaitu, Rebecca Acacia (SWARA), Mamoto Gulton (Aktivis LGBT), dan Lini Zurlia (Arus Pelangi). Pada hari pertama terdapat empat sesi yang ditampilkan berurutan yakni, "Queer Enough To Be Queer", "LGBTIQ from Pyschological Prespective", "History of Indonesian Gay Movement", dan yang terakhir "LGBTIQ in Phillipines and Singapore: How Love Wins". Ada hal yang serupa yang dilontarkan ketiga pembicara dalam sesi pertama "Queer Enough To Be Queer", Ketiga pembicara adalah pemeluk agama yang aktif. Mamoto Gultom berupaya mengampanyekan isu-isu tentang kesehatan reproduksi di gereja dan Rebecca Acacia tidak hanya bisa mengaji, tapi juga pandai mengaji, sedangkan Lini, lulusan Universitas Islam dan juga aktivis HMI. Identitas mereka sebagai LGBT tidak bertentangan dengan religiositasnya. Argumen bahwa LGBTIQ tidak bermoral karena tidak religius, dipatahkan dalam sesi ini. (Nadya Karima Melati) Kamis, 5 November 2015, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia bekerjasama dengan Komnas Perempuan menggelar diskusi publik dengan tema “Hukuman Kebiri Pelaku Kekerasan Seksual: Menambah atau Menyelesaikan Masalah?” di Auditorium Juwono Sudarsono, UI Depok. Acara ini menghadirkan Edi Suharto., Ph.D (Departemen Perlindungan Anak, Kementerian Sosial RI), Ir. Agustina Erni., M.Sc (Perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Susanto., MA (Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Mariana Amiruddin., M.Hum (Komisioner Komnas Perempuan), dan Prof. Dr. Muhammad Mustofa., MA (Guru Besar Kriminologi UI) sebagai pembicara serta Dr. Ida Ruwaida (Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI) sebagai moderator. Diskusi publik ini juga merupakan rangkaian acara Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K 16HAKtP). Ida sebagai moderator memberikan paparan singkat mengenai latar belakang terselenggaranya diskusi ini. Ida mengungkapkan bahwa acara ini merupakan wadah diskusi untuk menemukan solusi dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. “Diskusi ini akan berjalan pada tataran solusi, karena jika berbicara data tentu sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak terindikasi meningkat setiap tahunnya”, papar Ida diawal diskusi. Lebih jauh Ida mengungkapkan bahwa kita akan berdiskusi mengenai intervensi struktural yang setidaknya bisa mengurangi kasus kekerasan seksual terhadap anak. Selanjutnya Ida menyilakan pembicara untuk memaparkan rekomendasi kebijakan terkait dengan bagaimana negara menyikapi persoalan ini. Edi Suharto, perwakilan dari Kemensos, memaparkan data-data temuan hasil survei Kemensos pada tahun 2013 yang menurutnya cukup komprehensif untuk menjadi awal pijakan mendiskusikan persoalan kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data temuan Kemensos bahwa 1 dari 19 anak perempuan Indonesia dalam rentang umur 13-17 tahun telah mengalami kekerasan seksual, sekitar 600.000 anak. Ia melanjutkan bahwa berdasarkan data, kekerasan seksual terhadap anak paling banyak terjadi di dalam rumah dan sekolah serta mayoritas dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban. “Kastrasi tidak bisa menyelesaikan masalah kekerasan seksual, tidak ada kebijakan yang tunggal dalam pemecahan persoalan sosial”, ungkap Edi. Kemudian Agustina Erni, perwakilan dari KPPPA, lebih menekankan pada pola perlindungan anak yang berbasis masyarakat, yaitu masyarakat ikut terlibat dalam perlindungan anak di wilayahnya masing-masing. Ia juga mengatakan bahwa KPPPA bekerjasama dengan Kominfo untuk melakukan pemetaan terhadap akses pornografi melalui internet di Indonesia. Hasilnya temuan tersebut menunjukkan bahwa pornografi banyak tersebar di media sosial dan yang mempunyai angka penyebaran tertinggi adalah twitter. Hal ini juga diduga menjadi salah satu faktor yang mendorong pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap anak selain dari faktor gangguan mental, gaya hidup, lingkungan dll. Setelah paparan dari Agustina, diskusi berlanjut dengan paparan dari Wakil Ketua KPAI, Susanto. Berbeda dari kedua panelis sebelumnya yang kurang setuju dengan hukuman kebiri pada pelaku kekerasan seksual, Susanto menjelaskan bahwa hukuman kebiri dirasa perlu diterapkan untuk menimbulkan efek jera, dengan beberapa catatan yakni pelaku melakukan kekerasan seksual dengan penis secara terus-menerus, adiksi, memiliki libido seks yang tidak bisa dikendalikan, dll. Susanto menyebutkan bahwa beberapa negara yang menerapkan hukuman kebiri juga memiliki motif yang berbeda, misalnya di Amerika hukuman kebiri dilakukan dengan spirit rehabilitasi atau pengobatan bagi mereka yang memiliki libido seks yang tinggi dan tidak bisa dikontrol. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa ada juga negara-negara yang memang sengaja menerapkan hukuman kebiri ini dengan motif sebagai penghukuman. “Akhirnya tinggal bagaimana Indonesia menerapkan hukuman kebiri ini, sebagai rehabilitasi atau penghukuman?”, ungkap Susanto di akhir paparanya. Setelah 3 pembicara memberikan paparannya, Ida Ruwaida, moderator menyilakan Prof. Muhammad Mustofa, Guru Besar Kriminologi UI, untuk memberikan paparanya dari perspektif akademis mengenai persoalan kekerasan seksual terhadap anak. “Kebiri tidak menyelesaikan masalah. Bahkan itu adalah kebijakan yang paradoksal karena kekerasan dibalas dengan kekerasan”, ungkap Prof. Mustofa. Ia melanjutkan bahwa secara empiris tidak akan ada hukuman apapun untuk kasus kekerasan seksual yang membuat efek jera pada pelaku atau membuat takut seseorang yang belum menjadi pelaku. Prof. Mustofa menjelaskan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual di masyarakat adalah karena melemahnya pengendalian sosial masyarakat mengenai tingkah laku seksual. Ia mengungkapkan bahwa negara gagal melakukan kontrol sosial, contohnya yang paling dekat adalah televisi, televisi banyak memuat konten-konten yang sama sekali tidak mengajarkan norma sosial yang baik pada anak. Kemudian seksualitas juga masih dianggap tabu dan orang tua enggan mendiskusikannya secara benar pada anak, jadi tidak heran jika ada kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak pada anak. Paparan terakhir disampaikan oleh Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan dan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Mariana menjelaskan bahwa hampir 100 persen pelaku perkosaan bukan didasari karena mereka hypersex ataupun memiliki libido yang berlebihan, melainkan karena fantasi untuk menaklukkan tubuh seseorang secara seksual. Kemudian ia menceritakan bahwa pada tahun 1998 perkosaan yang terjadi pada perempuan etnis Cina secara masif adalah simbol penaklukan dan penghinaan yang mendalam terhadap etnis Cina, lagi-lagi menurutnya hal tersebut bukan sekadar soal seks. “Masalah kekerasan seksual bukan pada sesuatu yang diantara paha kita, yaitu kelamin, tapi persoalannya ada di antara kedua telinga kita, yaitu otak. Tentu tidak mungkin bagi kita mengambil otak manusia, karena setiap manusia punya hak untuk itu”. Mariana juga mengungkapkan bahwa Komnas perempuan telah membuat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan berharap pemerintah, parlemen dan masyarakat ikut mendorong agar RUU tersebut dapat masuk dalam daftar Prolegnas Tambahan 2015-2019. Setelah lima narasumber tersebut memaparkan materi dan solusi, Ida selaku moderator membuka sesi tanya jawab. Ida mengungkapkan bahwa dikusi ini bukan forum debat melainkan forum bertukar informasi yang nantinya diharapkan akan melahirkan solusi-solusi dan dapat membantu penyelesaian masalah kekerasan seksual. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis, hingga LSM yang berfokus pada perlindungan perempuan dan anak, selain itu puluhan mahasiswa juga turut hadir menyimak paparan dari para pembicara. (Andi Misbahul Pratiwi) Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) bersama Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) menggelar peluncuran buku puisi To Whom It May Concern karya Yacinta Kurniasih di Joglo Celong, Salatiga pada Sabtu (31/10). Kumpulan puisi yang diterbitkan YJP Press ini merupakan buku puisi pertama Yacinta dan dilengkapi dengan sejumlah lukisan karya Dewi Candraningrum, sehingga oleh Yacinta disebut sebagai kolaborasi cinta, dukungan dan dedikasi. Perempuan yang sehari-hari menjadi staf pengajar di Universitas Monash, Australia ini dikenal suka menulis puisi tentang isu gender, seksualitas dan politik baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. Puisinya sudah tersebar di sejumlah media seperti Jurnal Perempuan, Majalah Bhinneka dan Jembatan Poetry Society. Acara peluncuran dan pembacaan puisi malam itu dibuka oleh Ahmad Badawi, Ketua YLSKAR yang dilanjutkan dengan sambutan dari penulis. Yacinta mengungkapkan dia merasa sangat senang peluncuran buku puisinya dapat diselenggarakan di Indonesia karena baginya bagaimanapun separuh jiwanya tetap berada di Indonesia. Yacinta kemudian membacakan empat puisinya diantaranya Looking for Pakdhe dan The Boat and Water. Pembacaan puisi dilanjutkan oleh para hadirin diantaranya Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan), Ina Hunga (Universitas Kristen Satya Wacana), Tracy Wright Webster (University of Western Australia), Claudia Derichs (Universität Marburg), Eric Wilson (Monash University), dan lain-lain. Acara malam itu dihadiri oleh sejumlah mahasiswa, seniman, dan akademisi. Pembacaan puisi malam itu yang dihadiri sekitar 50 orang tersebut terasa sangat syahdu mengingat puisi-puisi Yacinta berbicara tentang peristiwa 1965, selain juga tentang pengalaman-pengalaman perempuan, seperti pengalaman perempuan sebagai objek seksual laki-laki, misalnya. Puisi Yacinta seperti diungkapkan Gadis Arivia dalam Kata Pengantar mengekspresikan protes yang kuat yang diungkapkan dalam kata-kata yang lugas. Seperti pernyataan Audre Lorde yang dikutip Gadis Arivia di kata pengantar, “For women, poetry is not a luxury. It is a vital necessity of our existence”, (“Bagi perempuan, puisi bukanlah sebuah kemewahan. Ia adalah kebutuhan yang sangat penting bagi eksistensi kami”). (Anita Dhewy) |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |