
Sekretaris Redaksi Jurnal Perempuan Anita Dhewy sebagai fasilitator mengungkapkan bahwa FGD ini adalah upaya bersama untuk melihat bagaimana status anak perempuan perihal pernikahan di Kecamatan Cikidang. Bukan hanya soal pernikahan yang didiskusikan dalam forum ini, namun juga membahas persoalan-persoalan pendidikan, kultur, agama dan kesehatan reproduksi yang semuanya saling berkaitan satu sama lain. “Jadi kami ingin tahu dari bapak dan ibu bagaimana sebenarnya pernikahan di bawah umur di Kecamatan Cikidang ini dan kami tentu ingin juga mendengar cerita dan pengalaman bapak dan ibu sekalian”, papar Anita untuk membuka FGD ini.
Pola diskusi ini adalah memaparkan beberapa data, kasus serta solusi mengenai fenomena pernikahan anak dari perspektif masing-masing lembaga. Diskusi berjalan dinamis, pernyataan dari satu dan lainnya ada yang kontradiktif dan ada yang yang saling terkait. “Selama saya menjabat hanya 1 kasus pernikahan di bawah umur, Itu pun terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan”, tutur Kades Cikidang. Pernyataan lain dituturkan oleh kader Posyandu yang juga anggota kelompok Pekka (Perempuan Kepala Keluarga), “Pernikahan di bawah umur ini akan berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan jika hamil di usia muda akan berisiko tinggi”, ungkap Iis. Mengenai Kespro juga diungkapkan oleh Pelaksana Tugas BKKBD Cikidang yang mengatakan bahwa kematangan usia pernikahan yaitu pada usia 20 tahun dan untuk kematangan usia kehamilan adalah 21 tahun. Salah satu aktivis perempuan juga mengungkapkan bahwa pernikahan di usia dini itu sebenarnya banyak tapi tidak terdata, karena biasanya pernikahan di bawah umur dilakukan secara ‘bawah tangan’ atau nikah siri dan tidak dicatat KUA. Pernikahan seperti itu menurutnya akan merugikan perempuan dalam berbagai aspek termasuk dalam pengurusan akta kelahiran anak. Faktor lainnya yang diungkapkan ialah mengenai rendahnya tingkat pendidikan, faktor ekonomi dan budaya yang juga turut memengaruhi terjadinya pernikahan di usia anak.
“KUA laksanakan pencatatan pernikahan sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Jika masih berusia di bawah 16 tahun harus ke Pengadilan Agama untuk meminta dispensasi nikah”, tutur Cecep sebagai perwakilan dari KUA Cikidang. Pernyataan tersebut dilanjutkan oleh tokoh agama yang mengatakan bahwa selain UU Perkawinan, mereka juga mempertimbangkan tentang kehamilan yang tidak diinginkan—hal yang tabu—sehingga harus segera dinikahkan untuk menutupi rasa malu. Meskipun data yang diungkapkan dalam FGD ini masih belum tergambar jelas namun Jurnal Perempuan akan menggali lagi kasus pernikahan di bawah umur, terutama persoalan pencatatan pernikahan melalui metode wawancara terhadap anak yang telah melaksanakan pernikahan di bawah umur. Di akhir diskusi Anita melontarkan satu pertanyaan penutup yaitu tentang harapan para peserta sebagai orang tua terhadap anak mereka. Semua peserta setuju terhadap pertimbangan mengenai Kespro dan usia yang matang untuk menikah. (Andi Misbahul Pratiwi)