ikuti JP di:
Jurnal Perempuan
  • HOME
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • YJP dan SIP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Daftar Toko Buku

​Simposium LGBTIQ: Aktivisme dan Religiositas LGBT

9/11/2015

 
PictureDok. Nadya Karima Melati
Apakah karena saya gay maka saya tidak bisa berbuat baik? Apa karena saya ditolak masyarakat maka Tuhan tidak mau menerima saya? Yang saya tahu, tanpa kejujuran tak akan kau temukan kebenaran”, kata-kata tersebut dilontarkan oleh seorang aktivis gereja, Mamoto Gultom, pada acara LGBTIQ International Symposium di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Jumat kemarin. Simposium yang berlangsung pada tanggal 6 hingga  8 November 2015 ini terdiri dari 18 sesi yang membahas LGBTIQ dari berbagai sudut pandang, terutama pandangan teologi. Simposium ini dibuka dan ditutup menggunakan bahsaa inggris namun semua pemateri pada hari pertama ini nampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia karena hampir seluruh peserta yang hadir adalah orang Indonesia.
​
Simposium ini menghadirkan tamu undangan dari berbagai negara seperti Filipina dan Uganda. Terlihat juga kehadiran Dede Oetomo, seorang peneliti, aktivis gay Indonesia, serta penulis buku Memberi Suara Pada Yang Bisu. Di hari pertama, acara dimulai pukul 13.00 wib dengan diskusi pertama berjudul, “Queer Enough To Be Queer”, diskusi tersebut mengundang 3 pembicara yaitu, Rebecca Acacia (SWARA), Mamoto Gulton (Aktivis LGBT), dan Lini Zurlia (Arus Pelangi).
Pada hari pertama terdapat empat sesi yang ditampilkan berurutan yakni, "Queer Enough To Be Queer", "LGBTIQ from Pyschological Prespective", "History of Indonesian Gay Movement", dan yang terakhir "LGBTIQ in Phillipines and Singapore: How Love Wins". Ada hal yang serupa yang dilontarkan ketiga pembicara dalam sesi pertama "Queer Enough To Be Queer", Ketiga pembicara adalah pemeluk agama yang aktif. Mamoto Gultom berupaya mengampanyekan isu-isu tentang kesehatan reproduksi di gereja dan Rebecca Acacia tidak hanya bisa mengaji, tapi juga pandai mengaji, sedangkan Lini, lulusan Universitas Islam dan juga aktivis HMI. Identitas mereka sebagai LGBT tidak bertentangan dengan religiositasnya. Argumen bahwa LGBTIQ tidak bermoral karena tidak religius, dipatahkan dalam sesi ini. (Nadya Karima Melati)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Jurnal Perempuan| Jl. Karang Pola Dalam II, No. 9A, Jatipadang-Pasar Minggu| +6221 22701689 | yjp@jurnalperempuan.com