Yulianti Muthmainnah: Implementasi KIS-PBI Belum Inklusif dan Abai Terhadap Persoalan Gender10/3/2017
Rabu 8 Maret 2017, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Jurnal Perempuan mengadakan pendidikan publik dan diskusi JP92 yang bertemakan Perempuan dan Kebijakan Publik di Balai Sarwono, Kemang, Jakarta Selatan. Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut adalah penulis Topik Empu JP92 Yulianti Muthmainnah, pengajar Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta. Ia memaparkan penelitiannya terhadap implementasi kebijakan Kartu Indonesia Sehat-Penerima Bantuan Iuran (KIS-PBI) di tiga wilayah yaitu Jakarta, Bogor dan Depok. KIS-PBI adalah jaminan kesehatan masyarakat yang khusus diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk masyarakat miskin dan tidak mampu karena memenuhi 9 dari 14 indikator kelompok miskin yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Satistik (BPS). Ketiga kota tersebut dipilih Yuli karena para mahasiswanya yang terlibat di dalam penelitian ini sebagian besar berasal dari wilayah tersebut sehingga penelitian ini juga dimaksudkan agar memberikan kebermanfaatan secara langsung kepada orang-orang disekitar. Penelitian yang dilakukan oleh Yuli dan mahasiswanya mengenai implementasi kebijakan KIS-PBI ini cukup mengagetkan. KIS yang sejatinya adalah sebuah jaminan sosial masyarakat yang diberikan oleh negara karena secara resmi dijamin melalui undang-undang, ternyata belum inklusif dan cenderung tak acuh terhadap persoalan gender, khususnya persolan kesehatan perempuan. Hal tersebut terbukti dengan tidak dimasukkannya indikator elemen gender seperti perempuan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perempuan kepala keluarga dengan banyak tanggungan, janda tua, janda miskin, janda, buta huruf atau laki-laki yang menjadi tulang punggung banyak anggota keluarga ke dalam kategori kelompok yang berhak menerima KIS-PBI. Seperti kasus yang terjadi di Kampung Cikabon, Bogor yang kepala desanya mempunyai program bedah rumah bagi warganya yang miskin sehingga ketika indikator dari BPS digunakan untuk mengukur kemiskinan di desa tersebut, terdapat warga yang tidak teridentifikasi sebagai penerima bantuan karena memiliki rumah permanen. Namun sebenarnya rumah tersebut dihuni oleh dua hingga lima Kepala Keluarga (KK) yang berbeda. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa ada distorsi dalam impelementasi kebijakan KIS-PBI di wilayah yang diteliti. Setelah memasukkan elemen-elemen gender—seperti yang disebutkan di atas—pada peta desa di wilayah yang diteliti, Yuli dan timnya menemukan ada 2 masalah besar yang terjadi dalam implementasi kebijakan KIS-PBI. Pertama adalah soal pemutakhiran data penerima KIS-PBI yang tidak terbarui secara berkala dan konsisten, serta yang kedua adalah adanya ketidakharmonisan hubungan antar lembaga penerbit KIS-PBI. Persoalan pertama mengenai lambatnya pemutakhiran data penerima KIS-PBI, sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang menjelaskan bahwa proses verifikasi dan validasi orang miskin dalam Rumah Tangga Sasaran (RTS) secara rutin dilakukan setiap enam bulan sekali oleh kades/lurah. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering kali kepala desa/lurah tidak memperbarui data penduduknya sehingga banyak warga yang sebetulnya berhak mendapatkan KIS-PBI justru terabaikan. Yuli menjelaskan bahwa contoh kasus seperti ini terjadi pada Ibu N di Rawamangun, Jakarta Timur. Ibu N awalnya memiliki memiliki kartu JKN-Mandiri kelas III. Lalu setelah ditinggal oleh suaminya begitu saja selama lebih dari dua tahun, kehidupan ekonominya makin sulit. Ia lalu menikah lagi dengan seorang laki-laki yang berprofesi sebagai tukang sampah. Saat ini ia sedang hamil tua dan bersiap melahirkan. Namun, ketika data ibu N diserahkan pada kantor BPJS Rawamangun, Jakarta Timur untuk didaftarkan sebagia penerima KIS-PBI, data tersebut ditolak karena ibu N memiliki tunggakan pembayaran sejak tahun 2014. BPJS Rawamangun juga menolak melakukan pemutakhiran data sekalipun mahasiswa sudah memberikan surat keterangan miskin dari kelurahan dan sudah menjelaskan kondisi ibu N. BPJS Rawamangun meminta ibu N melakukan pembayaran atas tunggakan, baru setelah itu data bisa diubah. Dengan kondisi ibu N yang sedang hamil tua, ia kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari apalagi untuk membayar tunggakan BPJS. Padahal, jika merujuk pada peraturan tentang BPJS, sejak tahun 2011 layanan JKN sudah diperluas untuk ibu hamil, bayi yang dikandung serta pada penderita talasemia mayor yang sudah terdaftar pada Yayasan Thalassaemia Indonesia (YTI) atau yang belum terdaftar namun telah mendapat surat keterangan direktur rumah sakit sebagaimana diatur dalam Petunjuk Teknis Jaminan Pelayanan Pengobatan Thalassaemia yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Akan tetapi aturan ini diabaikan oleh pihak BPJS Rawamangun. Untuk persoalan yang kedua mengenai ketidakharmonisan hubungan antar lembaga, hal ini tercermin dari temuan penelitian di kota Depok. Pejabat daerah setempat baik RT/RW/Kelurahan memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami teknis pembuatan kartu KIS-PBI. Tiga belas KK untuk kartu KIS-PBI bagi kelompok miskin di Kampung Pitara, Depok ditolak. Ketika tim peneliti mendatangi Dinas Sosial Kota Depok untuk meminta KIS-PBI bagi 13 KK di Kampung Pitara Depok, Dinas Sosial menjelaskan bahwa data warga yang berhak atas KIS-PBI telah final dan tidak dapat dilakukan penambahan peserta baru. Setelah tim peneliti mendapatkan penolakan dari Dinas Sosial Kota Depok, mereka kemudian meminta pertolongan Dinas Kesehatan Kota Depok untuk tetap memperjuangkan 13 KK ini agar mendapatkan KIS-PBI, namun Dinas Kesehatan Kota Depok meminta mahasiswa membawa surat MoU (Memorandum of Understanding) dari kampus. Selain sebagai surat kesepakatan kerjasama, surat tersebut dimaksudkan untuk menjamin dana dari kampus guna membayar KIS-PBI yang akan didata mahasiswa. Alasannya karena data penerima KIS-PBI telah final dan jika akan menambahkan jumlah peserta KIS-PBI maka pihak kampus yang harus memberikan jaminan pembayaran. Namun kejadian serupa tidak terjadi di Kampung Bojong Lio, Depok. Ibu-ibu PKK di Kampung Bojong Lio justru sangat kooperatif dan sangat membantu dalam pembuatan KIS-PBI bagi warga di wilayah mereka. Yuli menambahkan bahwa ibu-ibu PKK di sana seperti mempunyai “jatah” untuk membuat KIS-PBI agar warganya bisa mendapatkan akses KIS-PBI, sehingga 17 dari 20 KK yang diajukan untuk mendapatkan KIS-PBI berhasil dikabulkan. Kasus ketidakharmonisan hubungan antar lembaga juga terjadi di Puskesmas Kramat Jati. Petugas di sana mengatakan bahwa kartu KIS-PBI hanya dapat diproses oleh orang yang bersangkutan yang membuat kartu. Namun, ketika tim peneliti kembali ke Puskesmas yang sama seminggu kemudian untuk kembali membuat KIS-PBI, mereka dilayani oleh petugas yang berbeda tetapi anehnya ternyata tim peneliti dibantu dan dilayani dengan baik untuk proses pembuatan KIS-PBI. Catatan penting dari penelitian ini menurut Yuli adalah bahwa tidak bisa dipungkirinya adanya bias gender di dalam keseluruhan proses pembuatan kartu jaminan social—terutama KIS-PBI—bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, kurang disiplinnya pejabat terkait untuk melakukan pemutakhiran data warga miskin dan tidak mampu, serta adanya perbedaan perspektif dan distorsi di semua tingkat birokrasi terkait penerbitan KIS-PBI mengenai siapa yang layak dan tidak layak untuk mendapatkan KIS-PBI menjadi catatan tersendiri sekaligus PR bagi pemerintah untuk terus memperbaiki kebijakan publik yang inklusif bagi semua pihak, termasuk perempuan. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |