“Masyarakat adat punya aturan yang sangat ketat. Kami ingin aturan adat berlaku di taman nasional, karena aturan masyarakat adat tidak ada yang menyimpang dari aturan pemerintah. Tapi pemerintah tidak mau memasukkan dan menerima aturan adat. Pemerintah harus memahami masyarakat adat karena masyarakat adat tidak pernah menyimpang dari aturan negara.” Pernyataan ini disampaikan oleh Andris Salu perwakilan masyarakat adat Bahau Hulu Kalimantan Utara pada Seminar Nasional Konservasi Rakyat yang diselenggarakan Working Group ICCAs (Indigenous peoples’ and Community Conserved Areas and territories)di Indonesia pada Selasa (28/2) di Jakarta. Testimoni yang disampaikan Andris adalah satu dari sebelas testimoni yang disampaikan perwakilan masyarakat adat. Pernyataan ini muncul karena selama ini kebijakan pengelolaan kawasan konservasi masih menempatkan konservasi sebagai kewenangan dan kebijakan pusat, dengan tidak memberikan ruang bagi masyarakat adat dan lokal untuk terlibat dan berpartisipasi. Seperti pernyataan Pengendum, perwakilan Orang Rimba, Jambi yang mengungkapkan bahwa Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang Taman Nasional Bukut Dua Belas muncul tahun 2000, namun Orang Rimba baru mengetahui hal tersebut pada 2004. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi Orang Rimba terkait untuk apa dan bagi siapa keberadaan taman nasional tersebut karena Orang Rimba tidak dilibatkan sama sekali. Pernyataan serupa diungkapkan Suparyono dari Kampar yang menyatakan bahwa masyarakat Kampar baru mengetahui keberadaan undang-undang tentang kehutanan dan suaka margasatwa pada tahun 2000-an sementara undang-undang tersebut telah ada sejak tahun 1990-an. Menurut Suparyono hal ini dikarenakan pemerintah tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses pembuatan peraturan tersebut. Sejatinya masyarakat adat dan masyarakat lokal telah lama melakukan praktik konservasi dengan menjaga hutan, danau, sungai, pesisir dan sumber daya alam lainnya. Mereka melakukannya dengan menetapkan Barong Karamaka (hutan keramat) di komunitas adat Ammatoa Kajang-Bulukumba, leuweung tutupan dan leuweung titipan di komunitas adat kasepuhan-Lebak Banten, pangae kapali (hutan larangan yang tidak boleh dikunjungi) di komunitas adat Wanaposangke-Morowali, sasi lompa di Haruku-Maluku, lubuk larangan di Kenegerian Batusonggan Kampar, awig-awig di Teluk Jor Lombok Timur, dan perlindungan danau Empangau oleh masyarakat desa Empangau di Kapuas Hulu. Selain itu masyarakat adat dan lokal juga memiliki peraturan adat yang melarang pengambilan sumber daya alam secara berlebihan. Sumber daya alam bagi masyarakat adat dan lokal merupakan sumber penghidupan dan mendatangkan kesejahteraan bagi mereka secara berkelanjutan. Sementara itu terkait peran perempuan dalam proses konservasi yang dilakukan masyarakat adat, swecara umum dapat dikatakan bahwa perempuan punya peran dan terlibat, namun derajat keterlibatannya di masing-masing komunitas/masyarakat adat sangat bervariasi. Di masyarakat adat Ammatoa Kajang misalnya, sebagaimana dituturkan oleh Camat Kajang Andi Buyung Saputra, perempuan Kajang memiliki posisi yang sangat mulia, karena perempuanlah yang melantik Ammatoa (pemimpin adat) yang disebut sebagai Aronta. Dalam proses konservasi perempuan adalah pelaku, mereka terlibat dalam pengelolaan dan perawatan sumber daya alam. Demikian juga dengan peran perempuan di masyarakat adat Wanaposangke dan Sumok-Merauke. Akan tetapi pada masyarakat adat Haruku dan Bahau Hulu, peran perempuan tidak terlalu banyak diakomodir terutama dalam posisi adat dan pertemuan adat. Saat ini revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem sedang masuk pembahasan di DPR RI. Terkait hal ini WGII melihat ada hal-hal prinsip yang terlewat dalam RUU tersebut, seperti pengakuan terhadap peran, kearifan, dan praktik konservasi oleh masyarakat hukum adat dan lokal dan wilayahnya yang dikelola secara lestari untuk konservasi sumber daya alam. Hal ini ditegaskan oleh Pengendum yang menyatakan bahwa konservasi yang diinginkan masyarakat adalah konservasi yang berbasis ekologi masyarakat artinya kearifan lokal masyarakat harus tetap ada. “Orang Rimba ingin agar sistem konservasi adat masuk dalam peraturan nasional, kami juga ingin mendorong adanya perda yang melindungi Orang Rimba dan hutannya agar tetap lestari. Karena jika tidak ada hutan, Orang Rimba tidak akan ada.” (Anita Dhewy) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |