Rabu, 6 Desember 2017 di UNAIR (Universitas Airlangga), Surabaya, Jurnal Perempuan mengadakan kegiatan Pendidikan Publik JP 95 Perempuan Nelayan. Dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Emy Susanti, MA, dosen Sosiologi FISIP UNAIR, menjadi salah satu narasumber. Prof. Emy membuka pembahasannya dengan memaparkan bahwa kegiatan kenelayanan adalah pemanenan makanan liar terbesar di dunia. Namun demikian kesadaran masyarakat atas realitas tersebut masih amat rendah. Prof. Emy menambahkan bahwa profesi nelayan memiliki arti penting bagi dunia karena puluhan juta orang di seluruh dunia hidup dan bergelut sebagai nelayan, khususnya di Asia. Menurut Emy, ada persoalan pembagian kerja berdasarkan gender dalam pembahasan kenelayanan dan perikanan. Hingga saat ini, menangkap ikan di perairan pesisir dan laut dipandang sebagai wilayah kerja laki-laki. Pekerjaan ini juga membawa risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang tinggi sehingga dipandang tidak sesuai untuk perempuan. Pada praktiknya perempuan di rumah tangga nelayan turut melakukan berbagai pekerjaan penting di sektor perikanan. Namun perannya dianggap sebagai peran ‘informal’ sehingga kerja-kerja ini jarang mendapat gaji atau upah. Menurut Emy, ketiadaan perlindungan kerja pada nelayan perempuan juga adalah implikasi lain dari anggapan bahwa kerja perempuan adalah kerja informal. Emy mengungkapkan bahwa secara tradisional perempuan dianggap memiliki peran yang amat penting dalam dalam perikanan skala kecil dan industri, khususnya pada proses pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Pada praktiknya, dalam dunia nelayan ada juga perempuan yang terlibat menangkap ikan, memiliki perahu sendiri, bahkan telah banyak pula yang menjadi pengusaha ikan perikanan. Artinya, perempuan sesungguhnya terlibat dalam seluruh proses kenelayanan. Menurut Emy, memaknai kerja perempuan sebagai kerja “membantu” adalah salah satu sebab mengapa kerja-kerja perempuan dalam kenelayanan dipandang tidak memiliki nilai ekonomis. Emy menyebutkan beberapa persoalan yang kerap menimpa perempuan nelayan yaitu: nilai pekerjaannya dinggap tidak ada atau undervalued, nilai kerjanya dilihat sebagai perpanjangan ruang domestik, keterbatasan data dalam menarasikan multidimensionalitas kerja perempuan nelayan. Dalam presentasinya Emy memaparkan bahwa studi-studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa perempuan pedagang ikan menjadi kelompok termiskin dalam rantai pengolahan dan penjualan. Diskriminasi gender menyebabkan nilai rendah dilekatkan pada pekerjaan perempuan. Perempuan dianggap sebagai mahluk domestik, semua keterampilannya didapat secara alamiah dan tidak diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan. Anggapan semacam inilah membuat kerja perempuan menjadi tidak bernilai. Pemaknaan yang bersifat reduktif ini membatasi perempuan untuk mengakses berbagai kesempatan seperti akses terhadap kredit, teknologi pengolahan, fasilitas penyimpanan dan pelatihan. Tanpa teknologi penyimpanan misalnya, perempuan menjadi sulit untuk mempertahankan ikan segar, dan dapat menderita kerugian pasca panen yang cukup besar. Emy menyampaikan bahwa pembahasan mengenai perempuan nelayan bertujuan untuk menghasilkan sebuah perubahan. Kaum akademisi dapat memberi masukan dalam pembuatan kebijakan. Kaum akademisi perlu melakukan antisipasi pada tahap kebijakan. Prof. Emy lebih lanjut berpendapat bahwa untuk memastikan pengarus utamaan gender dalam dunia kenelayanan ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Pertama, aspek ‘pemberdayaan perempuan’ harus dijadikan sebagai indikator dalam menilai kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan, mulai dari skala kecil sampai dengan skala besar. Kedua, penting pula untuk memberikan perhatian dan memasukkan isu gender untuk pengembangan akuakultur, dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam pelatihan manajemen, produksi benih dan kewirausahaan. Ketiga perlu ada peningkatkan rasio laki-laki dan perempuan yang dilatih atau berpartisipasi dalam pengembangan kapasitas dalam penelitian dan manajemen perikanan. Keempat, penting untuk mempertimbangkan dan memasukkan isu gender dalam kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat nelayan dan terakhir data ketimpangan gender dan peran perempuan dalam komunitas nelayan harus dijadikan sebagai dasar kebijakan untuk komunitas nelayan dan budidaya perairan. Prof. Emy menekankan pentingnya perspektif feminisme untuk memahami sisi multidimensi dari kerja perempuan. Kerja perempuan harus dipahami dari dua dimensi yaitu kerja produksi dan reproduksi. Dengan pendekatan tersebutlah kerja perempuan nelayan dapat dikenali, diakui dan dihargai. (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |