Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa
Warta Feminis

Diskusi Jejer Wadon HAKTP: Butuh Narasi Hukum yang Berpihak kepada Korban Kekerasan Seksual

7/12/2015

 
PictureDok. Astuti Parengkuh
Apakah kekerasan seksual? Bentuk-bentuknya seperti dijabarkan Komnas Perempuan ada 15. Sesungguhnya ada lagi, pemaksaan KB, alat kontrasepsi, kehamilan, aborsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan pernikahan, intimidasi bernuansa seksual, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, terakhir adalah kontrol seksual terhadap perempuan berbasis aturan moralitas dan agama.  Di Indonesia dalam narasi hukum harus ada penetrasi, kalau tidak ada penetrasi tidak disebut kekerasan seksual. Lembaga dunia seperti PBB, WHO, negara-negara maju secara sederhana mengartikan bahwa serangan seksual sebagai tindakan menyerang  secara fisik dan psikologis seperti tersebut di atas. Mengapa kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan di Indonesia? Kekerasan seksual di negara maju disebut kejahatan kemanusiaan, tetapi di negara kita disebut kejahatan asusila. “Kita berada di abad pertengahan atau kegelapan,” demikian paparan yang diberikan oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan sekaligus pendiri Jejer Wadon kepada para anggota komunitas Jejer Wadon peserta diskusi dan refleksi dalam memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (HAKTP)di kantor LPH YAPHI, Rabu (2/12).
 
Dewi Candraningrum menambahkan mengapa seksualitas dikaitkan dengan susila dan asusila, dan rape culture. Masyarakat kita masih menganggap perkosaan sebagai seperempat, setengah cerita porno. Itu menunjukkan apa yang terjadi psikologi sosial masyarakat kita hari ini.  Kalaupun ada kejahatan perkosaan, maka awak media akan mengatakan “Bunga digagahi empat kali….”. Orang membaca seperti akan terangsang. Sigmund Freud menyampaikan sebuah kuliah tentang teka-teki femininitas. Di dalam kuliah Freud, “Perempuan adalah subjek seksualitas”. Yang kedua adalah kecemburuan penis, perempuan punya penis kecil, perempuan adalah laki-laki kecil, kalau perempuan menderita kegilaan karena perihal-perihal itu, maka itu disebut histeria. Ada banyak pernyataan Freud. Freud adalah metafora, satu ujung dari representasi dan pencitraan masyarakat pada saat itu tentang perempuan itu siapa. Freud tidak sendirian, dari masyarakat sangat misoginis, dan sangat seksis. Dari kuliah Freud kemudian, lahirlah feminis-feminis untuk menantang apa yang dikatakan oleh Freud. “Psikologi Eropa 1933, masih ada di sini, di abad ke-21. Kita mengadopsi, sedangkan mereka telah jauh meninggalkan. Masyakarat kita masih melihat tangis perempuan karena kejahatan seksualitas masih tetap menawan meski telah mengalami,” terang Dewi Candraningrum.
 
Ada standar ganda terhadap kejahatan atas perempuan. Kalau dia melanggar kode etik subordinasi supremasi seksual patriarki maka dia adalah pecun, dia adalah jalang. Dia bukan perempuan baik-baik.  Kejahatan seksualitas atau rasa malu, atau kehinaan hanya ditimpakan kepada perempuan atau minoritas seksual misalnya  waria, LGBT. Jadi hukumnya jauh lebih mengenaskan. Kalau hukum laki-laki adalah kejahatan, kalau untuk perempuan, kejahatan, kehinaan dan rasa malu. Fakta menunjukkan dari 100 persen, 42 persen sampai 62 persen adalah kejahatan seksual dan itu sulit dijerat karena masuknya delik asusila jadi bukan delik kriminal atau kejahatan manusia. “Dari situ saja kalau kita melacak sejarahnya, seseorang bisa kehilangan masa depannya, seorang perempuan bisa masuk rumah sakit jiwa, seorang perempuan bisa terkena HIV/AIDS. Mengapa Indonesia seperti ini? Mengapa hukumnya seperti ini, karena pandangan dunia mengalami kemunduran, kita jauh dari buta, mundur dari nenek moyang kita. Nenek moyang kita bikin candi lingga yoni, bikin tarian ada belahan dada, abad ke-21 Indonesia mengalami kemunduran pengetahuan tentang tubuh dan seksualitas,”jelas Dewi Candraningrum.
 
Dalam diskusi HAKTP yang berlangsung selama lebih dari dua jam, dihadirkan pula aktivis perempuan difabel dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Purwanti yang akrab dipanggil Ipung. Ipung mengemukakan tentang berbagai hal terkait perempuan difabel berhadapan dengan hukum. “Komnas Perempuan coba membikin konsep pendampingan, memasukkan yang kita lakukan Judicial Review tentang usia mental, kita berikan referensi  terkait usia mental dan usia kronologis. Kita sedang memengaruhi Komisi Yudisial agar tim pemantau pengadilan memiliki  perspektif difabilitas. Kami sudah mulai memfasilitasi  training sensitif difabilitas untuk hakim dan pemantau di Yogyakarta, Makassar dan NTT,” jelas Ipung kepada JP. (Astuti Parengkuh)


Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | yjp@jurnalperempuan.com
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa