Diskusi Jejer Wadon HAKTP: Butuh Narasi Hukum yang Berpihak kepada Korban Kekerasan Seksual7/12/2015
Apakah kekerasan seksual? Bentuk-bentuknya seperti dijabarkan Komnas Perempuan ada 15. Sesungguhnya ada lagi, pemaksaan KB, alat kontrasepsi, kehamilan, aborsi, pemerkosaan, pelecehan seksual, pemaksaan pernikahan, intimidasi bernuansa seksual, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, terakhir adalah kontrol seksual terhadap perempuan berbasis aturan moralitas dan agama. Di Indonesia dalam narasi hukum harus ada penetrasi, kalau tidak ada penetrasi tidak disebut kekerasan seksual. Lembaga dunia seperti PBB, WHO, negara-negara maju secara sederhana mengartikan bahwa serangan seksual sebagai tindakan menyerang secara fisik dan psikologis seperti tersebut di atas. Mengapa kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan di Indonesia? Kekerasan seksual di negara maju disebut kejahatan kemanusiaan, tetapi di negara kita disebut kejahatan asusila. “Kita berada di abad pertengahan atau kegelapan,” demikian paparan yang diberikan oleh Dewi Candraningrum, Pemred Jurnal Perempuan sekaligus pendiri Jejer Wadon kepada para anggota komunitas Jejer Wadon peserta diskusi dan refleksi dalam memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan (HAKTP)di kantor LPH YAPHI, Rabu (2/12). Dewi Candraningrum menambahkan mengapa seksualitas dikaitkan dengan susila dan asusila, dan rape culture. Masyarakat kita masih menganggap perkosaan sebagai seperempat, setengah cerita porno. Itu menunjukkan apa yang terjadi psikologi sosial masyarakat kita hari ini. Kalaupun ada kejahatan perkosaan, maka awak media akan mengatakan “Bunga digagahi empat kali….”. Orang membaca seperti akan terangsang. Sigmund Freud menyampaikan sebuah kuliah tentang teka-teki femininitas. Di dalam kuliah Freud, “Perempuan adalah subjek seksualitas”. Yang kedua adalah kecemburuan penis, perempuan punya penis kecil, perempuan adalah laki-laki kecil, kalau perempuan menderita kegilaan karena perihal-perihal itu, maka itu disebut histeria. Ada banyak pernyataan Freud. Freud adalah metafora, satu ujung dari representasi dan pencitraan masyarakat pada saat itu tentang perempuan itu siapa. Freud tidak sendirian, dari masyarakat sangat misoginis, dan sangat seksis. Dari kuliah Freud kemudian, lahirlah feminis-feminis untuk menantang apa yang dikatakan oleh Freud. “Psikologi Eropa 1933, masih ada di sini, di abad ke-21. Kita mengadopsi, sedangkan mereka telah jauh meninggalkan. Masyakarat kita masih melihat tangis perempuan karena kejahatan seksualitas masih tetap menawan meski telah mengalami,” terang Dewi Candraningrum. Ada standar ganda terhadap kejahatan atas perempuan. Kalau dia melanggar kode etik subordinasi supremasi seksual patriarki maka dia adalah pecun, dia adalah jalang. Dia bukan perempuan baik-baik. Kejahatan seksualitas atau rasa malu, atau kehinaan hanya ditimpakan kepada perempuan atau minoritas seksual misalnya waria, LGBT. Jadi hukumnya jauh lebih mengenaskan. Kalau hukum laki-laki adalah kejahatan, kalau untuk perempuan, kejahatan, kehinaan dan rasa malu. Fakta menunjukkan dari 100 persen, 42 persen sampai 62 persen adalah kejahatan seksual dan itu sulit dijerat karena masuknya delik asusila jadi bukan delik kriminal atau kejahatan manusia. “Dari situ saja kalau kita melacak sejarahnya, seseorang bisa kehilangan masa depannya, seorang perempuan bisa masuk rumah sakit jiwa, seorang perempuan bisa terkena HIV/AIDS. Mengapa Indonesia seperti ini? Mengapa hukumnya seperti ini, karena pandangan dunia mengalami kemunduran, kita jauh dari buta, mundur dari nenek moyang kita. Nenek moyang kita bikin candi lingga yoni, bikin tarian ada belahan dada, abad ke-21 Indonesia mengalami kemunduran pengetahuan tentang tubuh dan seksualitas,”jelas Dewi Candraningrum. Dalam diskusi HAKTP yang berlangsung selama lebih dari dua jam, dihadirkan pula aktivis perempuan difabel dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Purwanti yang akrab dipanggil Ipung. Ipung mengemukakan tentang berbagai hal terkait perempuan difabel berhadapan dengan hukum. “Komnas Perempuan coba membikin konsep pendampingan, memasukkan yang kita lakukan Judicial Review tentang usia mental, kita berikan referensi terkait usia mental dan usia kronologis. Kita sedang memengaruhi Komisi Yudisial agar tim pemantau pengadilan memiliki perspektif difabilitas. Kami sudah mulai memfasilitasi training sensitif difabilitas untuk hakim dan pemantau di Yogyakarta, Makassar dan NTT,” jelas Ipung kepada JP. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
January 2025
Categories |