
Masthuriyah membedah bagaimana pemikiran Khaled tentang agama dan HAM dapat memiliki kontribusi terhadap persoalan kelompok LGBT di Indonesia. Kemudian Mathuriyah mengaitkan fatwa MUI tertanggal 31 Desember 2014 yang berbunyi “Homoseksual merupakan perbuatan yang hukumnya haram, merupakan suatu bentuk Kejahatan dan pelakunya dijatuhi hukuman mati” dengan pemikiran Khaled tentang agama dan HAM. Fatwa MUI tersebut adalah berdasarkan fiqih yang menurutnya fiqih masih memiliki kemungkinan benar atau salah karena merupakan hasil dari interpretasi teks agama. “Setiap keputusan, perkataan, perbuatan dan teks agama sekalipun berpeluang untuk dibaca ulang dengan menggunakan analisa hermeneutika”, tutur Masthuryiah. Ia melanjutkan bahwa jika fiqih kita anggap sebagai sesuatu yang mutlak, final dan absolut, maka menurutnya apa gunanya manusia yang sudah diberikan akal oleh Allah SWT untuk berpikir. “Teks agama harus terbuka untuk diinterpretasi ulang, jika dibatasi maka akan ada kemunduran berpikir umat islam, dan nantinya islam tidak bisa menghadapi tantangan globalisasi”, ungkap Masthuriyah.
Menyinggung mengenai agama dan Hak Asasi Manusia, Mathuriyah merasa penting untuk melihat pemikiran Khaled yang berupaya melerai ketegangan anatara agama (islam) dan HAM dengan pendekatan social humanity contemporary. Khaled mengutip pendapat Al-Ghazali (505 H/1111 M) tentang lima hak dasar manusia yang harus dipenuhi yaitu, hak atas agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta. Kelima hak ini menurutnya adalah hak dasar manusia yang harus dijaga, dihormati dan diperjuangkan melalui sistem politik dan hukum. Lima hak dasar diatas bersifat universal dan diakui oleh semua agama dan merupakan norma-norma yang melekat dalam fitrah manusia dan kemanusiaanya. Dalam arti lain perwujudan perlindungan lima hak tersebut mengakomodasi kepentingan semua pihak, tanpa memandang keyakinan, golongan, warna kulit, etnis dan jenis kelamin. “Penegakan hak-hak dasar manusia harus memperlihatkan keadilan, kemerdekaan, kesetaraan manusia di depan hukum”, tegas Masthuriyah. (Andi Misbahul Pratiwi)