“Tubuh perempuan adalah milik perempuan, tubuh yang menjadi subjek bukan objek, tubuh yang bebas dari diskriminasi”, ungkap Gadis Arivia selaku Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan dalam acara Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan Senin 22 Mei 2017 di Ballroom Grand Abe Hotel, Jayapura. Gadis menuturkan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) bukanlah persoalan di ranah privat saja tapi juga menjadi persoalan di ruang publik sehingga perlu diintegerasikan dalam kebijakan nasional. "Kebijakan kesehatan nasional Indonesia belum berbasis pada hak dan kebutuhan kesehatan masyarakat terutama perempuan", ungkap Gadis. Menurutnya rahim perempuan yang sehat merupakan penanda masyarakat yang sehat begitu pun sebalikanya jika masyarakat penuh kekerasan berarti kekerasan terhadap perempuan akan terus terjadi. Pendidikan Publik HKSR dan Kebijakan Pembangunan merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih dengan dukungan Ford Foundation. Acara yang dihadiri 180 peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini merupakan media untuk menyebarkan informasi terkait isu-isu hak dan kesehatan seksual dan reproduksi kepada perempuan papua dan seluruh stakeholder sekaligus peluncuruan JP 93 HKSR dan Kebijakan Pembangunan yang baru saja terbit. Pendidikan Publik ini dibuka oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Cenderawasih, Dr. Nomensen Steffan Mambraku. Acara ini menghadirkan Dr. Agnes (Pusat Studi Wanita Universitas Cenderawasih), Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif Yayasan Pemerhati Kesehatan Masyarakat (YPKM) Papua) dan Fotarisman Zaluchu (Penulis JP 93 & Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU) sebagai pembicara dan Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) sebagai moderator. Agnes dari Pusat Studi Wanita Uncen memaparkan data hasil penelitian PSW dan data-data dari hasil penelitian dari UNDP terkait isu kekerasan terhadap perempuan di Papua. "Perempuan sepanjang hidupnya mengalami kekerasan terus menerus, entah itu kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun kekerasan ekonomi", ungkap Agnes dalam paparannya. Dari hasil penelitian ada sekitar 45% laki-laki yang melakukan kekerasan akan marah jika diminta pasangan untuk menggunakan kondom. Lebih dari 50% laki-laki menganggap bahwa kehamilan adalah tanggung jawab perempuan saja. Hasil kajiam ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara kekerasan dengan keputusan menggunakan alat kontrasepsi. Menurut Agnes masih banyak keluarga di Papua yang menolak program Keluarga Berencana (KB) karena dianggap akan menghentikan regenerasi masyarakat Papua. Padahal menurut Dr. Agnes program KB merupakan upaya untuk memastikan kesehatan reproduksi perempuan, memastikan bahwa jarak kehamilan harus diperhitungkan, memastikan bahwa keputusan memiliki anak adalah juga keputusan perempuan sebagai pemilik tubuh, memastikan bahwa sudah ada kesiapan mental, fisik dan ekonomi untuk memiliki anak. Menurut Agnes perlu ada sosialisasi terkait HKSR secara komprehensif termasuk soal program KB. Agnes mennyebutkan beberapa tantangan terkait isu kesehatan perempuan di Papua antara lain, 1) persoalan Seks dan reproduksi masih tabu dibicarakan, 2) Pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan belum disadari oleh pasangan, 3) Masih ada budaya patriarki yang mengakar seperti relasi kuasa antara suami dan istri, persoalan budaya dan peran gender. Selanjutnya ialah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar (Direktur Eksekutif YPKM Papua). YPKM adalah organsasi yang melakukan penanganan HIV/Aids terhadap perempuan Papua. YPKM memiliki 5 lokasi pelayanan yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Nabire, Kabupaten Kepulauan Waropen. Tahi Ganyang Butarbutar menjelaskan bahwa prevalensi HIV/Aids di Papua tahun 2016 adalah 26.973 (angka ini merupakan angka kumulatif dari tahun ke tahun Dinas Kesehatan Provinsi Papua). Berdasarkan data Tahi menjelaskan bahwa penduduk yang tinggal di dataran rendah jauh lebih tahu cara mencegah HIV dibandingkan penduduk di dataran tinggi. Sedangkan soal pengetahuan HIV Komprehensif menurut Tahi jmlahnya masih sedikit sekali baik penduduk yang tinggal di dataran tinggi maupun yang tinggal di dataran rendah dengan akses baik maupun tidak. Berdasarkan data yang diapaparkan Direktur Eksekutif YPKM ini, selama tahun 2016 ada 480 orang yang melakukan VCT di 5 wilayah yaitu Wamena, Sentani, Nabire, Serui dan Jayapura, terdapat 249 orang perempuan yang melalukan VCT dan yang didampingi oleh YPKM sebanyak 44 orang perempuan. Kenapa perempuan dengan HIV/Aids di Papua tinggi? Menurut Direktur Eksekutif YPKM, ada persoalan berlapis yang harus dihadapi perempuan Papua yaitu persoalan Miras, adat, seks bebas, KDRT, narkotika dan tindak kriminal lainnya yang akhirnya kebanyakan perempuan dengan HIV/Aids adalah korban. Menurut Tahi perlu ada edukasi terhadap masyarakat khususnya perempuan agar berani mengatakan TIDAK pada pasangan jika sudah diketahui bahwa terinfeksi virus HIV/Aids. Lebih jauh Tahi menjelaskan bahwa budaya juga memengaruhi pengetahuan dan pandangan masyarakat lokal terkait kesehatannya. Di beberapa daerah misalnya, ada pandangan bahwa ganggungan keseimbangan fisik merupakan akibat dari roh jahat, santet, fui-fui dan sebagainya. Terkait persoalan perempuan dan HIV, Tahi mengakui bahwa akses perempuan terhadap layanan kesehatan masih terbatas dan laki-laki cenderung kurang mendukung perempuan ketika terinfeksi HIV. Setelah paparan dari Tahi Ganyang Butarbutar, selanjutnya ialah paparan dari Fotarisman Zaluchu yang tulisannya dimuat dalam JP 93 dengan judul “Kematian Ibu: Masihkah Perempuan Memiliki Hak Hidup? (Sebuah Sudi Kasus di Pulau Nias). Laki-laki yang juga seorang Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara ini menjelaskan isu kematian ibu di Nias dalam kacamata antropologi kesehatan. Ia mengungkapkan bahwa Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sangat tinggi, wilayah terluar Indonesia memiliki risiko paling tinggi AKI. Lebih jauh Fotarisman menjelaskan bahwa ada konsep 4T dan 3T yang menjadi faktor penyebab terjadinya kematian ibu. Konsep 4T ialah Terlalu muda, Terlalu Sering, Terlalu dekat, Terlalu tua, sedangkan 3T ialah Terlambat mengenali bahaya, Terlambat membawa, Terlambat mengambil keputusan. Fotarisman menjelaskan di Nias perempuan yang menikah sangat dihormati, dimuliakan, dihargai. Salah satu adat pernikahan di Nias yaitu adanya mahar yang sangat tinggi—dianggap sebagai bentuk menghargai perempuan, mahar dibayarkan dalam bentuk babi, yang kemudian kepala babi dan minuman yang disediakan saat pesat pernikahan dinikmati oleh tamu laki-laki. Dalam ritual pernikahan juga ada acara fotu yaitu ceramah untuk pengantin perempuan yang isinya adalah perintah agar istri patuh terhadap suami. Hal ini menurut Fotarisman menunjukkan bahwa budaya patriarki menjadi problem penindasan perempuan. Dalam ritual pernikahan perempuan seakan-akan diberikan kemuliaan dan dihargai, namun setelah menikah kebanyakan perempuan harus bekerja di ladang, hasil kerja mereka digunakan untuk membayar mahar pernikahan yang kebanyakan dari hasil berhutang. Setelah menikah peran gender ada dalam struktur keluarga bukan hanya antara suami dan istri tapi juga antara ibu mertua dan menantu. Peran gender direproduksi melalui peran sebagai ibu mertua yang bertugas mengantar dan mengawasi menantu untuk pergi ke ladang. “AKI di Nias sangat tinggi, proses bersalin yang umumnya dibantu oleh dukun desa sangat berisiko tinggi bagi hidup perempuan, proses bersalin tersebut mengandalkan kekuatan fisik”, ungkap Fotarisman. Ia menjelaskan bahwa proses bersalin mayoritas perempuan di Nias itu masih dibantu oleh dukun dan mengandalkan kekuatan fisik, meskipun ada beberapa Puskesmas di sana namun mayoritas perempuan tidak memilih dibantu oleh bidan desa karena aksesnya sulit. “Di Nias ada anggapan bahwa proses bersalin harus cepat-cepat dilakukan karena ketakutan akan roh jahat yang akan masuk dalam tubuh perempuan melalui rahim, setelah bersalin plasenta juga tidak boleh dipotong dan dibiarkan keluar sendiri”, tutur Fotarisman. Lebih jauh Fotarisman mengungkapkan kekecewaanya terhadap sistem kesehatan nasional yang membiarkan perempuan-perempuan di daerah terpencil menghadang nyawa sendirian karena tidak tersedianya fasilitas kesehatan yang memadai. Ia juga mengungkapkan bahwa setelah menikah tubuh perempuan menjadi bukan milik perempuan lagi tapi menjadi milik lingkungan sosialnya, tubuh perempuan telah diambil alih karena peran gender yang tidak setara. Menurutnya persoalan mendasar dari tragedi kematian ibu disebabkan karena perempuan tidak menjadi subjek atas kesehatan reproduksinya sendiri. Setelah paparan dari ketiga pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Acara yang dihadiri oleh 180 orang peserta dari berbagai kalangan di Jayapura ini berlangusung interaktif, banyak pertanyaan yang dilontarkan. Salah satu tanggapan datang dari Imelda Baransano (Pekerja GKI) yang mengungkapkan bahwa perlu perhatian penting terkait kesehatan perempuan di Papua. Imelda pernah menulis tentang perempuan yang mengorek sampah saat malam hari untuk makanan babi namun belum ada respons dan tindak lanjut terkait fenomena tersebut dari pemerintah. Menurut Imelda, kesehatan perempuan belum menjadi prioritas, padahal jika perempuan tidak sehat maka keluarganya akan tidak sehat dan seterusnya yang kemudian menjadi siklus. Anita Dhewy selaku moderator menjelaskan bahwa persoalan Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) haruslah menjadi perhatian bersama seluruh pihak lintas disiplin ilmu, khususnya di Papua. Anita mengungkapkan bahwa kerja-kerja untuk memberdayakan perempuan dan kesehatan perempuan masih panjang dan diskusi ini merupakan salah satu langkah strategis untuk bersama-sama mewujudkan status kesehatan perempuan Papua yang lebih baik. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |