Gerakan 1000 Serbet PRT: Mendesak DPR Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Perlindungan PRT5/10/2020
Jakarta, Minggu (4/10) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga yang lebih dikenal dengan sebutan JALA-PRT mengadakan kegiatan aksi Gerakan 1000 Serbet PRT. Kegiatan yang dilakukan secara virtual melalui platform digital Zoom tersebut diikuti sekitar 200 orang dari berbagai kalangan mulai dari aktivis perempuan, tokoh agama, akademisi, jurnalis media, buruh dan perwakilan PRT di berbagai daerah dan juga PRT migran di luar negeri (Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Taiwan). Gerakan 1000 Serbet ini merupakan rangkaian dari kegiatan advokasi untuk mendesak agar DPR segera melanjutkan pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan juga mengesahkannya sebagai RUU Inisiatif DPR. Selain konferensi pers dan aksi kampanye secara virtual, JALA-PRT juga mengirimkan surat terbuka berisi dukungan 179 organisasi dan 1636 individu kepada DPR, melakukan diskusi dengan tokoh-tokoh lintas agama dan sebagai puncaknya akan mengirimkan 9 serbet kepada DPR menjelang paripurna mendatang. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah terkatung-katung cukup lama. Tidak kurang dari tiga periode dewan telah berlalu sejak RUU PPRT masuk dalam program legislasi nasional. Namun setelah 16 tahun, pembahasan tidak kunjung berlanjut dan seolah digantung tanpa ada kejelasan kapan akan dibahas kembali. Pada periode dewan yang lalu, RUU PRT sudah melalui pembahasan di badan legislasi dan hanya perlu didorong untuk dibawa ke paripurna untuk kemudian menuggu penjadwalan di badan musyawarah. Namun tahapan tersebut tidak pernah terjadi. Koordinator JALA-PRT, Lita Anggraini mengakui bahwa RUU PPRT sarat dengan konflik kepentingan dari pembahas--sebagai pihak pemberi kerja--yang khawatir kehadiran RUU PPRT akan mengubah relasi antara pekerja rumah tangga dengan pemberi kerja yang sudah ajeg selama ini (status quo). “Selama ini banyak isu yang beredar mengenai substansi RUU PPRT, seperti bahwa dalam RUU, nantinya PRT hanya mau mengerjakan satu pekerjaan, atau bahwa PRT menuntut upah yang disamakan dengan UMR,” ujar Lita. Menurutnya hal-hal semacam itu perlu diluruskan. RUU PPRT yang didorong kelompok masyarakat sipil bermaksud agar ada payung hukum yang menjadi dasar pengakuan terhadap profesi pekerja rumah tangga. Dengan demikian pekerja rumah tangga baik domestik dan migran, yang jumlahnya mencapai lima juta orang dan sebagian besarnya adalah perempuan, terlindungi secara hukum. “RUU PPRT ini nantinya tidak hanya akan melindungi lima juta pekerja rumah tangga, tetapi juga memberi perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi kerja,” Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) menambahkan. Lena yang pernah menjabat sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu pada periode lalu juga mengimbau kepada rekan-rekannya anggota DPR untuk segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR. Lena menyampaikan bahwa peran PRT tidak hanya membantu perempuan dan laki-laki dalam pekerja domestik mereka, tetapi juga turut berkontribusi dalam membantu pertumbuhan ekonomi. Pendapat serupa juga disampaikan Ketua Umum KOWANI Giwo Rubianto dalam pernyataan dukungannya. “Kami memohon dengan sangat kepada DPR untuk segera mengagendakan RUU PPRT dalam rapat paripurna terdekat. RUU PPRT sebagai bentuk perlindungan negara tidak hanya terhadap PRT tetapi juga pemberi kerja,” ujar Giwo. KOWANI--yang banyak anggotanya merupakan pihak pemberi kerja--selama ini turut aktif menyuarakan perlunya kehadiran RUU PPRT. Dalam tuntutannya, perwakilan PRT yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja rumah tangga maupun organisasi pekerja rumah tangga di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, Semarang, DIY, dan DKI Jakarta menyampaikan permohonannya agar DPR segera mengesahkan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna mendatang. Dukungan untuk disahkannya RUU PPRT datang dari berbagai organisasi PRT migran yang berada di luar negeri. Persatuan Pekerja Rumah Tangga Migran (PERTIMIG) di Malaysia menyampaikan bahwa selama ini PRT migran menjadi korban TPP dan bentuk kekerasan maupun pelanggaran hak pekerja lainnya. “Perlindungan terhadap PRT migran dimulai dari perlidungan terhadap PRT di dalam negeri,” demikian disampaikan Erma Wati dari PERTIMIG. Hal senada juga disampaikan Komunitas Pekerja Migran yang berada di Taiwan (GANAS). Fajar dari GANAS Taiwan menyampaikan bahwa selama ini belum ada payung hukum terhadap PRT di negara penempatan, karena itu RUU PPRT penting untuk perlindungan terhadap PRT domestik dan migran. “Negara jangan hanya berteriak ‘negara hadir’ jika hanya untuk kepentingan devisa yang diperoleh dari PRT migran. Negara juga harus hadir memberi perlindungan kepada PRT migran. Bagaimana bisa melindungi PRT migran jika di dalam negeri saja tidak ada perlindungan hukum terhadap PRT,” ujar Fajar. (Dewi Komalasari) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |