Kamis (1/10), Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk ke Prolegnas Prioritas 2021--yang akan dibahas pada Oktober ini. Dalam penyampaian seruan tersebut masing-masing perwakilan masyarakat sipil memaparkan fakta persoalan kekerasan seksual dan mendesak pembahasan RUU ini di DPR.
Hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi jalan buntu karena berbagai kendala dalam sistem hukum, baik substansi, struktur, dan budaya hukum yang belum mengakomodasi kebutuhan dan pengalaman korban kekerasan seksual. Sistem pencegahan, penanganan, dan ketersediaan layanan dukungan lainnya belum optimal melindungi perempuan dan kelompok yang rentan menjadi korban karena tidak ada payung hukum yang memadai. Di sisi lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 DPR-RI. Hal inimenimbulkan kekecewaan bagi masyarakat sipil karena makin tertundanya payung hukum yang sangat dibutuhkan korban. Fauzi (perwakilan Forum Pengada Layanan/FPL) menyatakan bahwa RUU PKS penting bagi seluruh warga negara Indonesia. Fauzi menambahkan, berdasarkan Catatan FPL tahun 2017-2020 dari 5167 Kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima FPL, sekitar 2000 kasus adalah kasus kekerasan seksual. Laporan tersebut menunjukkan bahwa 9 jenis kekerasan yang telah dirumuskan dalam RUU PKS--yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual-- dialami oleh kelompok perempuan. “Hingga saat ini para korban sulit mendapatkan keadilan dan tidak jarang di antara mereka (para korban) malah dipersekusi, distigma, didenda, dan dikriminalisasi,” pungkas Fauzi. Revita Alvi (Sekretaris HWDI Nasional), memparkan berbagai bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pemaksaan kontrasepsi yang dialami kelompok disabilitas. “Kelompok difabel tidak mendapatkan perlindungan hukum, saat ini akses layanan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas masih sangat terbatas, ini yang membuat semakin lemahnya perlindungan hukum bagi mereka,” jelasnya. Haryanto (perwakilan Serikat Buruh Migran Indonesia/SBMI) menyatakan bahwa RUU PKS sangat dibutuhkan perempuan PRT migran dan perlu dijadikan prioritas legislasi saat ini. Dari hasil pemetaan SBMI, Haryanto menjelaskan bahwa ada 3 kluster kekerasan seksual yang dialami oleh PRT migran, yakni kekerasan sebelum keberangkatan, saat bekerja, dan saat kembali ke negara asal. Menurut Haryanto, PRT migran yang mayoritas adalah perempuan ini mengalami beragam bentuk kekerasan saat pengurusan dokumen dan di bandara. Lebih jauh, berdasarkan data dampingan SBMI masih terjadi kekerasan fisik dan seksual seperti perkosaan--baik oleh majikan maupun warga negara asing di tempat kerja PRT migran. Tragisnya korban perkosaan justru mendapatkan stigma dari keluarga, petugas desa, dan masyarakatt. Saat kembali ke negara asal perempuan PRT migran juga sering mengalami kekerasan di perjalanan. “Oleh sebab itu SBMI melihat bahwa RUU PKS akan memberikan keadilan bagi korban, adanya perspektif penangan yang baik, adanya layanan khusus korban KS di luar negeri,” tutur Haryanto. Nur Khasanah (Perwakilan JALA PRT), menyatakan bahwa perempuan PRT juga banyak yang mengalami KS di tempat kerja--baik oleh majikan laki-laki dan anak laki-laki. “Banyak ditemui kasus bahwa kawan PRT mendapatkan pelecehan seksual dari majikan tetapi ia tidak berani mengadukan adanya relasi kuasa dan takut mengadukan karena tidak adanya saksi,” jelas Nur. Mery Christin (wakil Perempuan AMAN, Sulawesi Tengah), menyatakan bahwa penanganan kekerasan seksual di Sulawesi Tengah masih mengalami jalan buntu sebab penyelesaian kasus hanya pada tahap lembaga adat. Sementara menurutnya, penyelesaian adat tidak memberikan keadilan bagi korban. Tantangan lain yang dihadapi oleh kelompok Perempuan AMAN adalah keterhambatan untuk akses hukum dan informasi seputar kekerasan seksual. Mike Verawati (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), melihat bahwa penting agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini segera dibahas dan disahkan sebab angka kekerasan seksual terus meningkat begitu juga modus kekerasannya yang terus berkembang. Dalam kesempatan tersebut Mike mengajak kita semua untuk membuat narasi tandingan bagi gagasan-gagasan yang menolak RUU ini. “Kehadiran RUU ini penting untuk menjamin rasa keamanan bagi semua,” tegas Mike. Fanda Puspitasari (wakil organisasi anak muda), menyatakan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan dapat menimpa siapa saja. Pada kelompok muda, kekerasan banyak terjadi di media sosial, salah satunya berupa komentar cabul. Fanda memaparkan bahwa berdasarkan data Komnas Perempuan tingkat cyber crime meningkat dari tahun 2018 -2019, yaitu 257 kasus kekerasan siberdi tahun 2019. Kekerasan berbasis siber adalah model baru yang belum memiliki penanganan yang jelas. Lebih jauh, Fanda memaparkan bahwa kekerasan seksual di perguruan tinggi juga dialami kelompok muda. Namun sayangnya, relasi kuasa dan ketidakberpihakan kampus pada korban, membuat banyak kasus KS yang tidak direspons secara serius. “Persoalan lain yang banyak dihadapi oleh kalangan muda adalah kekerasan dalam pacaran. Melihat realitas yang ada maka kehadiran RUU PKS ini sangat penting bagi generasi muda,” tuturnya. Valentina Sagala (Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan pendiri Institut Perempuan) mengatakan bahwa basis dari RUU ini adalah menuntut negara hadir untuk mencegah, mengatasi, dan memulihkan dampak kekerasan seksual, baik kepada korban, pelaku maupun masyarakat. Dengan demikian pengesahan RUU ini penting untuk menjamin keadilan bagi korban. Dalam kesempatan tersebut, seluruh perwakilan kelompok menyatakan desakannya agar RUU PKS segera dibahas dan disahkan. Menurut kelompok jaringan, selama RUU ini tidak disahkan, maka pelanggaran HAM terutama bagi korban kekerasan seksual akan terus terjadi dan angka kasus akan terus meningkat. RUU ini penting untuk semua sebab tidak hanya perempuan yang bisa menjadi korban, tetapi juga anak laki-laki dan semua orang. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |