
Sementara pada acara kedua, Jejer Wadon bekerja sama dengan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS), YAPHI, ATMA, YKPS, TALITA KUM, SPEK-HAM, PPSG-UKSW menggelar Bedah Kasus Perdagangan Anak bertempat di Yayasan Krida Paramita Solo, Selasa (25/11/2014). Acara ini menghadirkan narasumber dari Kepolisian Sukoharjo dan Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) terkait dengan kasus perdagangan anak yang terjadi di Sukoharjo yang diduga melibatkan Hangabehi Raja Solo. “Agar pelaku kekerasan seksual terkena aspek hukum karena ini kejahatan kemanusiaan dan bukan yang lain. PR bagi kita adalah agar bayi yang dikandungnya mendapat perlindungan. Bagaimana akses kepada korban? Supaya kita tahu apa saja kebutuhan korban. Langkah lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan kritis kepada korban dan keluarga korban ,” tutur Ina Hunga dari PPSG-UKSW.
Pada aksi longmarch, Jejer Wadon dan Wanita Katolik Surakarta berjalan dari Plasa Sriwedari menuju Patung Slamet Riyadi Gladak disertai dengan orasi. Dengan membawa alat kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, para peserta longmarch kemudian duduk melingkar dan masing-masing membacakan puisi dengan tema perempuan. Pembacaan puisi dipimpin oleh Fanny Chotimah disaksikan oleh puluhan pasang mata pengunjung Solo Car Free Day yang digelar pada Minggu pagi, (14/12/2014).
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ditutup dengan refleksi gerakan perempuan bersama beberapa komunitas dan mahasiswa di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Surakarta, Sabtu (20/12/2014). Acara diwarnai dengan pembacaan puisi oleh aktivis perempuan seperti Fanny Chotimah, Vera Kartika Giantari dan Yuliana Paramayana. Dalam refleksi ditegaskan bahwa Jejer Wadon adalah milik semua. Beberapa pendapat diutarakan salah satunya dari Maria Martha Sucia bahwa beraktivitas di Jejer Wadon sangat nyaman karena tidak dituntut dan dikejar-kejar oleh laporan dan target. Sementara seorang mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta berujar, “Sebagai seorang perempuan posisi kita harus berani menyampaikan dan mengakui bahwa kita feminis. Hal itu penting agar kita punya pijakan dalam memandang dan melakukan tindakan dalam setiap hal.”
Dengan keanggotaan yang berasal dari LSM, seniman, sastrawan, akademisi dan jurnalis, pengalaman-pengalaman mereka bisa dituangkan dalam tulisan. “Karena harta berharga untuk anak cucu kita hanya itu yaitu melalui tulisan berarti kita sudah merawat pengetahuan,” tutur narasumber sekaligus pendiri dan ketua Jejer Wadon, Dewi Candraningrum. Tak hanya itu, dirinya juga mengemukakan bahwa membumikan gerakan perempuan hendaknya dengan bahasa sesuai kearifan lokal sehingga publik menerima. “Karena pada dasarnya masyarakat Indonesia ini sangat inklusif,”pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh)