Senin (8/10) bertempat di Setiabudi Atrium, Jakarta Selatan, MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan) mengadakan acara Brown Bag Lunch yang diisi diskusi tentang “Perempuan Indonesia Melawan Stunting”. Acara ini menghadirkan Dina Lumbantobing (Koordinator Pelaksana Konsorsium PERMAMPU) dan Brian Sri Prahastuti (Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) sebagai pembicara. Berdasarkan data yang diambil dari kantor staf presiden stunting pada anak Indonesia ada pada fase darurat. Pasalnya 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Dalam acara tersebut, Brian Sri Prahastuti mengungkapkan bahwa 1000 hari pertama kehidupan (golden period) adalah penentu apakah seorang anak stunted atau tidak. Sebab golden period adalah fase terbentuknya 80% sel otak sedangkan setelah itu, sepanjang usia seseorang hanya menyumbangkan 20% pertumbuhan sel otak. Brian menjelaskan stunting merupakan gejala kurangnya gizi kronis yang berproses, dimulai saat anak lahir hingga usia 2 tahun. Stunting sering dianggap sebagai permasalahan masyarakat kurang mampu, padahal 29% balita yang terkena stunting berasal dari keluarga kaya. Stunting bukan hanya dialami oleh masyarakat perdesaan yang sulit mendapatkan akses kesehatan tetapi juga masyarakat perkotaan, ada 32,5% anak-anak penderita stunting berasal dari perkotaan. Brian mengungkapkan bahwa data tersebut memperlihatkan kurangnya gizi bukanlah faktor utama terjadinya stunting melainkan ada faktor lainnya seperti pola asuh dan sanitasi. Lebih jauh, Brian menjelaskan stunting bukan hanya berdampak pada gizi seorang anak melainkan berdampak pada pendidikan, penghasilan, kemiskinan, dan ekonomi jangka panjang. Untuk itu ia mendorong pemerintah agar hadir dalam menyelesaikan permasalahan stunting. Akan tetapi, ia mengakui bahwa pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Menurutnya, perlu ada kemitraan antara pemerintah, badan usaha, lembaga donor, dan lembaga filantropi dalam mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul nantinya dialokasikan oleh fund manager kepada penerima manfaat lewat tiga aspek yaitu penyediaan sarana dan prasarana, intervensi pendidikan dan kesehatan, dan kampanye nasional. Sementara itu, Dina Lumbantobing memaparkan hasil penelitian yang berjudul “Ringkasan Laporan Penelitian Persoalan dan Pemenuhan Gizi Perempuan Muda di 8 Provinsi di Sumatera” yang ia lakukan bersama Konsorsium PERMAMPU pada tahun 2017. Survei ini diadakan di 16 kabupaten (2 kabupaten dari setiap provinsi) dengan 1800 responden yang berasal dari Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dinas kesehatan dan kelompok dampingan perempuan. Dina menjelaskan bahwa gejala stunting berawal dari kurangnya gizi bayi saat di dalam kandungan. Artinya, gizi perempuanlah yang bermasalah. Dalam penelitiannya, Dina menemukan beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan stunting seperti kehamilan tidak diinginkan, pernikahan anak, mitos kecantikan, dan minimnya akses kesehatan. Tidak jarang pula responden menyatakan bahwa kosmetik dan pulsa adalah kebutuhan utama. Sehingga pola hidup sehat tidak dipandang sebagai hal yang penting. Dina mengungkapkan anggapan bahwa perempuan yang langsing, putih dan mungil adalah cantik membuat sebagian besar perempuan di Sumatera khususnya Sumatera Barat melakukan diet dengan pola yang tidak sehat. “alih-alih kurus dan putih, banyak perempuan justru pucat dan lemas” jelas Dina. Sementara itu, jika stunting terjadi pada laki-laki banyak orang memeranginya, sebab laki-laki dianggap harus kuat dan tinggi. Dina menekankan bahwa kita bisa melihat bias gender masih bermain pada arena penyelesaian stunting. Perempuan menjadi tempat kritik jika menghasilkan anak yang tidak sehat, tetapi juga dikontrol dengan mitos agar terlihat seperti yang masyarakat inginkan. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |