Kamis (18/10) bertempat di Grand Cemara Hotel, Jakarta Pusat, Kalyanamitra mengadakan acara diskusi publik “Menuju Posyandu yang Adil Gender dan Berkualitas”. Acara ini menghadirkan oleh Adriansyah (Kepala Bidang Pembangunan Bappeda DKI Jakarta), Titin Muktini (Pemda DKI Jakarta) dan Ruth Indiah Rahayu (Peneliti) sebagai pembicara. Listyowati (Ketua Kalyanamitra) dalam sambutannya menyampaikan bahwa kalyanamitra memiliki fokus untuk mendorong Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada goal 3 tentang menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia dan goal 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Guna mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut, Kalyanamitra membuat program Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di tiga tempat yaitu Kelurahan Cipinang Besar Utara, Kelurahan Pejaringan, dan Desa Banjaraya. Pada Audit Gender Partisipatif (AGP) untuk layanan Posyandu tim Kalyanamitra menemukan sejumlah permasalahan seperti kurangnya pendidikan sensitifitas gender dan kurangnya sosialisasi kepada kader posyandu terkait pengetahuan perkembangan gizi anak dan ibu. Bagi Kalyanamitra Posyandu sebagai lembaga masyarakat dapat dijadikan sebagai salah satu jalan untuk mencapai tujuan goal 3 dan 5 dari SDGs. Oleh karena itu, Kalyanamitra memberikan rekomendasi bagi pemangku kebijakan yakni menjadikan posyandu sebagai bagian penting dalam proses pembangunan, mengalokasikan anggaran yang cukup untuk semua program Posyandu, memastikan adanya program pendidikan dan pelatihan kader, memberikan dana insentif untuk kader, menyelenggarakan pendidikan sensitifitas gender, dan melakukan upaya Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam acara tersebut Titin Muktini mengungkapkan bahwa minimnya dukungan pada Posyandu disebabkan oleh kebijakan yang tumpang tindih misalnya pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 dituliskan perlu adanya sosialisasi, rapat koordinasi, konsultasi, workshop, dan lomba. Sementara itu tidak tertulis jelas mengenai anggaran untuk menjalankan program tersebut. Bagi Titin, tumpang tindihnya kebijakan akan berdampak pada hilangnya rasa tanggung jawab sebuah instansi sehingga saling melempar tanggung jawab. "Tidak jarang kader posyandu kebingungan untuk mengurus kebutuhan posyandu, untuk itu perlu ada perbaikan yang signifikan pada kebijakan yang mengatur posyandu", tutur Titin. Sementara itu, Adriansyah mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pada pasal 354 bab 14 telah mengatur tentang partisipasi masyarakat. Pada undang-undang tersebut juga diatur tentang kewenangan atributif lurah, camat, dan walikota untuk mengoordinasikan masyarakat dalam pemberdayaan. Sehingga menurut Adriansyah kader posyandu perlu jeli dalam menanyakan pendanaan dan sosialisasi, sebab menurutnya peran lurah, camat, dan walikota hanya sebatas pada urusan koordinasi. Adriansyah melanjutkan bahwa persoalan minimnya anggaran untuk posyandu masih diupayakan. "Pada tahun 2018 anggaran untuk posyandu DKI Jakarta sebesar Rp 120.000.838.298 hanya saja angka ini harus dibagi, sehingga tiap posyandu hanya mendapatkan Rp. 300.000 setiap bulannya", pungkasnya. Ruth Indiah Rahayu menyatakan bahwa dirinya melakukan penelitian pada tahun 2013 tentang Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Hasil temuannya adalah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) memiliki 10 program yaitu (1) Penghayatan dan pengamalan Pancasila; (2) Gotong royong; (3) Pangan; (4) Sandang; (5) Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga; (6) Pendidikan dan Ketrampilan; (7) Kesehatan; (8) Mengembangkan kehidupan berkoperasi; (9) Kelestarian Lingkungan Hidup; (10) Perencanaan sehat. Posyandu sebagai salah satu bagian dari PKK fokus pada program kesehatan saja. “Mengapa isu kesehatan hanya berfokus pada kesehatan anak? Padahal penting untuk mengangkat isu kesehatan ibu secara bersamaan. Selama ini kita hanya fokus bahwa PKK dibentuk dari rezim orde baru yang mendomestikasi perempuan. Padahal kita perlu mengingat bahwa yang harus dilakukan adalah merebut PKK dan mengubah prinsip dasar menjadi ramah gender agar PKK tidak dikuasai sejumlah elit” ungkap Ruth. Bagi Ruth PKK perlu direvitalisasi agar ada regenerasi. Selain itu, PKK juga perlu memberi ruang untuk pemikiran baru masuk dan mengisi prinsip PKK seperti kesehatan yang fokus pada kesehatan anak dan juga ibu agar tidak ada kesenjangan diantara keduanya. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |