Rabu (12/9) bertempat di Cemara 6 Galeri, Menteng, Jakarta Pusat, Yayasan Jurnal Perempuan mengadakan acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan, sekaligus merayakan Ulang Tahun Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-23. Acara ini dihadiri mengundang Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Mitra Bestari dan Sahabat Jurnal Perempuan. Acara Peluncuran JP 98 Perempuan dan Kebangsaan memiliki beberapa agenda acara seperti pembacaan puisi yang dipaparkan oleh Debra Yatim (Aktivis) dan Dewi Nova (Penulis), permainan piano oleh Asfinawati (Advokat Hak Asasi Manusia), dan orasi feminis yang disampaikan oleh Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, yang juga merupakan salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan. Orasi feminis yang dipaparkan oleh Toeti Heraty diawali dengan penjabarannya mengenai JP 98 Perempuan dan Kebangsaan. Menurut Toeti untuk memperlihatkan relasi antara perempuan dengan kebangsaan perlu ada pembahasan mengenai empat periode besar yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia yaitu (1) Zaman pergerakan anti-kolonial; (2) Awal kemerdekaan 1945-1966 atau orde lama; (3) Zaman orde baru; dan (4) Zaman pasca reformasi (pola ibuisme baru, ibuisme islam politik) Toeti menjelaskan bahwa pada zaman pergerakan anti-kolonial, gerakan perempuan memiliki perspektif yang kuat untuk mempromosikan pendidikan, sebab saat itu pendidikan terbatas hanya untuk kaum aristokrat dan priayi. Toeti menegaskan bahwa pada era ini cukup banyak kongres yang diadakan, salah satunya adalah Kongres Istri Indonesia III pada tahun 1938 dengan tujuan menolak poligami. “Pada era ini Istilah ibuisme dimaknai sebagai ibu bangsa, menunjang nasionalisme dan anti-kolonial. Pada era ini pula perempuan digambarkan dengan ikon sembadra (lemah lembut) dan srikandi (perjuangan)” tutur Toeti. Kemudian, Toeti menjelaskan bahwa pada periode awal kemerdekaan 1945 hingga 1966 (orde lama) tidak ada gejolak yang terlalu terlihat. Pada periode ini penolakan atas poligami menjadi problematis, sebab Soekarno sebagai seorang presiden melakukan poligami. Toeti mengakui bahwa pada periode ini perjuangan tidak banyak terjadi. Hanya saja terdapat emansipasi di bidang pendidikan yang dilakukan oleh Nyi Mangunsarkoro, Ibu Ki Hajar Dewantoro, dan Sri Siti Sukaptinah. Berbeda dengan zaman anti-kolonial dan orde lama. Menurut Toeti zaman orde baru memaknai perempuan sebagai ibu dengan fungsi domestik. Pada periode orde baru perempuan dipolitisasi dan dimobilisasi untuk pembangunan. Organisasi seperti Dharma Wanita dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dibentuk di bawah program pemerintah dengan tujuan stabilisasi negara. Toeti mengakui bahwa pada periode keempat yaitu zaman pasca reformasi dirinya cukup terkejut, sebab suara perempuan sebagai pribadi semakin terabaikan. Sementara perempuan dimobilisasi untuk kepentingan politik. Periode ini menghasilkan bentuk ibuisme baru yaitu ibuisme islam politik yang berarti perkumpulan sejumlah orang yang memiliki kepentingan dalam menggunakan simbol keislaman. Kemudian, Toeti melanjutkan dengan memaparkan tiga ukuran keberhasilan tumbuhnya islam politik yaitu (1) Simbol kemurnian agama harus diajarkan kepada perempuan; (2) Perempuan mudah dikontrol dengan muhrimnya; dan (3) Perempuan murah untuk dimobilisasi. Jurnal Perempuan 98 Perempuan dan Kebangsaan mencoba memunculkan persoalan bahwa hingga 20 tahun reformasi suara perempuan jarang masuk ke dalam narasi kebangsaan. Oleh karena itu, Toeti Heraty mencoba memunculkan narasi perempuan maupun perspektif feminis dari 100 tahun karya sastra perempuan Indonesia. Bagi Toeti perempuan Indonesia cukup banyak yang menyuarakan feminisme melalui karya sastra. Lewat pembagian tujuh periode Toeti menjabarkan dengan saksama mengenai pembagian periode sekaligus perempuan yang menarasikan feminisme lewat karya sastra, berikut 7 periode yang dipaparkan oleh Toeti: (1) Sastra Perempuan Indonesia (Masa Kolonial 1911-1942) oleh Kartini, Selasih, Suwarsih Djojopuspito, Rukijah; (2) Ibu, Istri, Ibu-isme (1960-Sekarang) oleh Ike Supomo, La Rose, Titie Said, Mira W; (3) Literatur Feminis (1960-Sekarang) oleh NH Dini, Toeti Heraty, Marianne Katoppo, Julia Suryakusuma; (4) Ekspresi subkultur minoritas dari komunitas etnis oleh Ani Sekarningsih, Oka Rusmini, Hanna Rambe, Clara Ng; (5) Marjinalisasi generasi kedua dari keturunan kiri yang ditiadakan oleh Linda Christanty, Leila S. Chudori, Tatiana Lukman; (6) Generasi Baru penulis perempuan dari pesantren oleh Oki Madasari, Abidah el Khalieqy, Erni Aladjai; dan (7) Fragrance Literature oleh Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak. Pemaparan Toeti menyoal perempuan dan karya sastra merupakan bukti bahwa sastra dan perempuan terlibat dalam menarasikan sejarah perempuan pada konteks kebangsaan. “Berbicara mengenai perempuan dan kebangsaan, kita tidak bisa melepaskan isu tentang perempuan yang dieksploitasi dan dimobilisasi oleh negara. Ibu diberi status secara diam-diam, tetapi diperdayakan pula.” Tutur Toeti. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa perspektif feminisme harus terus dipromosikan melalui karya sastra maupun gerakan secara nyata dan yang terpenting para feminis untuk jeli melihat persoalan dan kejelian tersebut sebaiknya tidak membuat kita menjadi paranoid. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |