Selasa (4/9) Jurnal Perempuan bersama dengan Komnas Perempuan mengadakan acara Diskusi RUU KUHP dengan Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) dan sejumlah anggota DPR RI. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini sedang dalam proses pembahasan yang nantinya akan disahkan pada rapat paripurna. Akan tetapi, ada beberapa pasal yang masih menjadi sorotan publik karena dianggap mencederai hak asasi manusia dan rentan mengriminalisasikan kelompok rentan (perempuan korban perkosaan, anak perempuan, perempuan adat, kelompok minoritas seksual) diantaranya adalah pasal 484, 488, dan 489. Jurnal Perempuan dalam penelitiannya di Jurnal Perempuan 97 Hukum Pidana dan Ketimpangan Gender berupaya memperlihatkan bahwa RKUHP sebagai suatu produk hukum pidana masih menyudutkan kaum minoritas. Oleh karena itu, Jurnal Perempuan berupaya mengadvokasi sejumlah temuan yang perlu disoroti kembali oleh legislatif selaku pembuat kebijakan. Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Dewan Redaksi Jurnal Perempuan hadir sebagai pemantik diskusi dalam acara tersebut. Sulis membuka diskusi dengan menjabarkan beberapa konsep dasar prinsip hukum dan kaitannya dengan RKUHP. Menurutnya hukum harus memiliki sifat equality before the law, akan tetapi baginya equality before the law tidak dapat diaplikasikan jika masyarakat belum setara. "Jika equality before the law diaplikasikan sebelum hadirnya keseimbangan, maka konsep tersebut akan memenjarakan mereka yang miskin dalam konteks RKUHP dikhususkan menjadi perempuan", ungkap Sulis. Guru Besar Antropologi Hukum tersebut melanjutkan bahwa di dalam RKUHP terdapat pembahasan tentang the living law atau hukum yang hidup. "The living law merupakan hukum yang senyata-nyatanya hadir dalam kehidupan masyarakat, yakni hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan, maupun hukum negara", jelas Sulis. Lebih jauh ia menegaskan bahwa hukum negara bersifat kuat, akan tetapi tidak bisa menjangkau masyarakat adat yang tinggal di pelosok. Oleh karena itu, tidak heran jika hukum adat menjadi hukum yang diaplikasikan dalam keseharian masyarakat adat. Ia menjelaskan bahwa hukum negara akan menjadi the living law jika sudah sampai pada putusan hakim. Baginya dalam era borderless state ini, Indonesia harus memiliki hukum yang kuat yang dapat mengakomodasi pluralitas identitas, budaya dan persoalan bangsanya tanpa harus merenggut hak-hak sebagaian kelompok sebagai warga negara. Di akhir paparannya Sulis memberikan tiga poin masukkan dalam pembahasan RKUHP yakni, (1) Definisi hukum yang hidup perlu diperjelas, agar tidak digunakan untuk mempolitisasi identitas yang bermaksud misoginis; (2) Tidak memasukkan unsur moral dalam RKUHP, karena hukum dan moralitas jika disatukan akan membusukkan satu sama lain; (3) Produk hukum harus menghitung realitas dan pengalaman perempuan. Setelah itu, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan membahas pasal yang bermasalah dalam RKUHP melalui data-data Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2018. Ia menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual di ranah privat/personal terbanyak adalah pacar. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa banyak terjadi pemaksaan hubungan seksual pada pasangan yang masuk dalam kategori perkosaan. Artinya bila kasus pacaran dianggap perzinaan, tidak sedikit di dalamnya terdapat perempuan korban perkosaan yang sangat mungkin terkena pasal tindak pidana zina. Korban yang seharusnya dilindungi malah berpotensi mengalami kriminalisasi. Demikian pula di ranah publik, Mariana menjelaskan kekerasan seksual menempati posisi tertinggi dengan pelaku terbanyak adalah teman. Artinya dalam wilayah publik pun orang terdekat menjadi pelaku kekerasan seksual dan sangat berpotensi dicap sebagai perilaku zina padahal salah satu pihak merupakan korban. "Data tersebut menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat menjadi standar dalam pemidanaan. Kekerasan seharusnya menjadi perhatian utama dalam pemidanaan karena jelas merugikan korban", jelas Mariana. Kemudian Bella Sandiata, Redaksi Jurnal Perempuan juga memaparkan hasil riset mengenai penggunaan pasal 284 KUHP tentang perzinaan dan pasal 285 KUHP tentang perkosaan melalui pengalaman pendamping hukum. "Pasal 284 KUHP yang mangatur perzinaan merupakan pasal dengan delik aduan yang pembuktiannya sangat sulit untuk dilakukan", tutur Bella. Ia menjelaskan bahwa pengalaman pada narasumber yang ia wawancarai menunjukkan sulitnya penyelesaian kasus-kasus perzinaan yang ditangani karena pembuktian dari pasal 284 tidak terpenuhi. Ia menjelaskan bahwa, unsur pembuktian yang sulit dan ancaman hukuman yang hanya sembilan bulan menjadi alasan bagi perempuan korban yang pasangannya melakukan perzinaan untuk lebih memilih bercerai. Lebih lanjut Bella menuturkan bahwa kelemahan juga ditemukan dalam penerapan pasal 285 KUHP yang mengatur tindak pidana perkosaan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa pasal tersebut belum dapat memberikan hukuman penjeraan jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh perempuan korban. Lebih jauh lagi, pasal 285 KUHP juga tidak memberikan ruang atau bahkan menutup kemungkinan akan ancaman pidana terhadap perkosaan yang terjadi dalam perkawinan (marital rape). Kelemahan lain dari pasal ini adalah sulitnya seorang istri melaporkan suaminya jika terjadi hubungan seksual di luar keinginannya. "Kelemahan dalam penerapan pasal 285 KUHP tersebut dalam praktiknya di lapangan semakin diperkuat dengan tidak adanya perspektif serta pengetahuan gender dari aparat penegak hukum yang justru kemudian menyudutkan dan menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya", jelas Bella. Erma Suryani Ranik, Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RKUHP tidak sepenuhnya buruk, sebab pelarangan orang untuk hidup bersama hanya bisa dilaporkan oleh orang terbatas seperti orang tua, suami/istri, dan anak. Pengaduan yang diajukan juga masih bisa dihapus jika dalam waktu satu bulan gugatan dicabut oleh pihak pelapor. Ranik mengaku bahwa dalam politik perlu ada kompromi dan untuk menengahi berbagai pilihan ekstrem, perlu adanya titik temu diantara mereka. Menyoal pasal tentang pencabulan, Ranik menjelaskan bahwa tindakan tersebut tetaplah tindakan pidana baik dilakukan oleh heteroseksual maupun homoseksual. Menurutnya upaya untuk tidak mengriminalisasikan kelompok minoritas melalui RKHUP telah dilakukan. Ia menyampaikan ucapan terima kasih atas masukan dan bantuan para aktivis dalam pembahasan RKUHP. Ranik menegaskan bahwa teman-teman aktivis perlu mengetahui kompromi di dalam dunia politik. Akan tetapi, di luar itu para aktivis juga perlu untuk terus menyuarakan persoalan RKUHP. (Iqraa Runi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |