Minggu, 27 Agustus 2017, Feminist Festival 2017 yang diselenggarakan di SMA 1 PSKD Jakarta memasuki hari kedua. Acara yang mengangkat tema “Masa Depan Itu Feminis” telah diselenggarakan sejak sabtu 26 Agustus lalu. Pada hari kedua ini salah satu tema diskusi yang diangkat adalah “Relevansi Feminisme”, dengan menghadirkan Henny Supolo, Nurlan Silitonga dan Hannah Al-Rasyid sebagai pembicara. Relevansi feminisme dalam pendidikan, kesehatan dan pembangunan berkelanjutan menjadi tiga poin utama yang dibahas dalam diskusi ini. “Kebihnekaan dan Kemanusiaan adalah semangat feminisme”, ungkap Henny Supolo dalam awal pembicaraanya. Henny Supolo merupakan pendiri Yayasan Cahaya Guru, ia aktif menyelenggarakan pelatihan kebhinekaan bagi guru-guru di seluruh Indonesia. Dalam paparannya Henny Supolo menjelaskan bahwa intoleransi justru hadir di dalam sekolah, padahal menurutnya sekolah seharusnya menjadi lokasi penyemaian nilai-nilai kebhinekaan, kebangsaan dan kemanusian yang paling pertama. “Nilai dan semangat feminisme ada dalam nilai-nilai tentang kemanusian dan kebhinekaan dan sekolah seharusnya menghadirkan semangat itu di dalam ruang-ruang kelasnya”, tutur Henny. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa meskipun ia tidak secara eksplisit menggunakan terminologi feminisme dalam gerakannya, namun nilai-nilai feminisme juga turut dijelaskan dalam materi-materi yang diajarkannya, baginya hal pemilihan kata adalah sebuah strategi dan politik bahasa, karena sesungguhnya terminologi kebhinekaan dan kemanusian lebih mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Lebih jauh Henny menjelaskan bahwa dalam dunia pendidikan bias dan ketidakadilan gender masih mengakar, misalnya masih banyak orang tua yang memilih untuk menikahkan anak perempuan mereka dibanding menyekolahnya dengan asumsi beban keluarga akan berkurang. Ia berharap Sekolah Guru Kebhinekaan yang dirintis dapat menumbuhkan kesadaran, mengubah kondisi, dan memengaruhi kebijakan yang ada. “Di sekolah ini, kami mengajarkan tentang nilai-nilai kemanusian dan kebhinekan yang didalamnya juga ada nilai-nilai feminisme, kemudian kami mengajak guru-guru untuk merefleksikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-sehari, dalam pengalaman-pengalaman yang mereka alami”, tutur Henny. Pembicara kedua ialah Nurlan Silitonga, pendiri lembaga Angsamerah. Nurlan menjelaskan bahwa rasa bahagia adalah hal terpenting bagi diri manusia. Dengan merasa bahagia manusia akan berpikir secara sehat dan memiliki semangat yang positif untuk membuat keputusan apapun di dalam hidupnya. Ia menceritakan bahwa ayah dan ibunya adalah seorang feminis karena mendorong dirinya untuk terus sekolah dan harus sama berprestasinya dengan laki-laki. “Ayah saya mengajarkan saya menjadi feminis, kita perlu mengajak lebih banyak laki-laki untuk menjadifeminis”, ungkap Nurlan. Baginya kesehatan akan bisa dicapai dengan kecintaan terhadap diri terlebih dahulu, setelah itu maka cara berpikir sehat (healthy mind) akan dimiliki oleh perempuan. Ia menjelaskan bahwa jika perempuan bahagia maka ia tentu mencintai dirinya, tubuhnya, kesehatan reproduksinya, melakukan Pap Smear, tes VCT dll. Demikian juga untuk membuat keputusan untuk melakukan hubungan seksual atau tidak, ia akan menentukan dengan bebas, tanpa paksaan dan tahu apa konsekuensinya. Kesadaran yang demikian menurut Nurlan akan dimiliki oleh perempuan jika ia bahagia, maka kesehatan akan berjalan disampingnya. Paparan selanjutnya ialah dari Hannah Al-Rasyid, aktris yang aktif menyuarakan isu-isu feminisme, Hannah juga menjadi SDG Mover untuk kesetaraan gender di United Nations Indonesia. Pada awal pembicaraanya Hannah menceritakan bahwa kesadaran akan stuasi yang tidak setara, diskriminasi dan kekerasan ia alami saat ia pindah ke Jakarta. Beberapa hal yang ia alami membuat ia sadar bahwa sebagai perempuan, ia mengalami diskriminasi hampir di semua aspek. Ia menceritakan bahwa ia pernah mengalami cat call sedangkan teman laki-lakinya tidak, kemudian ia juga dianggap sebagai aktris yang tidak bisa diajak kerjasama jika ia memprotes atau mengkritisi sesuatu hal dalam proses pembuatan film sedangkan jika teman laki-lakinya melakukan hal yang sama, mereka malah didengarkan dan masukannya diberikan perhatian penuh. Pertanyaan seperti: “Kenapa potong rambut pendek?”, “Kapan menikah?”, sering ia dapatkan, baginya hal tersebut adalah tanda bahwa masih banyak masyarakat belum memiliki kesadaran dan pengetahuan feminisme. Sebagai seorang public figure ia sadar bahwa ia memiliki cukup pengaruh bagi masyarakat di sekelilingnya, sehingga ia memanfaatkan hal tersebut untuk mengampanyekan tentang kesetaraan gender melalui media sosial—meskipun ia kerap menuai kritik dari beberapa orang yang menganggap bahwa pernyataannya terlalu politis. “Bagi gue prestasi perempuan bukan diukur dari ia menikah atau tidak, aktris perempuan juga tidak didefinisikan dari ia menjadi duta produk kecantikan atau tidak, ya gue tahu itu pilihan perempuan, tapi please jangan mendikte apa yang harus dilakukan perempuan dan mendiskriminasikan perempuan yang lain”, ungkap Hannah. Aktivisme sebagai duta SDG untuk kesetaraan gender, membuat Hannah belajar banyak tentang isu-isu feminisme—meskipun ia akui bahwa keluarganya sangatlah feminis, bahkan ia sebagai anak perempuan didorong untuk menempuh pendidikan yang berkualitas bagus. Sama halnya dengan Henny Supolo yang menggunakan strategi bahasa dalam gerakannya, Hannah juga mengakui bahwa beberapa program UN di Indonesia juga menggunakan strategi yang sama, misalnya mengampanyekan kesetaraan gender dengan program #He4She atau pengahpusan kekerasan terhadap perempuan, jadi menurut Hannah tidak menggunakan kata feminisme atau kesetaraan gender itu sendiri. Hal tersebut merupakan upaya untuk menyederhanakan konsep feminisme, membawanya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, dengan demikian dukungan akan semakin banyak. “Kesetaraan gender merupakan isu yang besar sekali, ada soal kekerasan, ada tentang sanitasi, air bersih, lingkungan, kesehatan, jadi kita harus berupaya membuatnya dalam konsep yang kecil dulu, yang mudah dipahami masyarat, berdasarkan pengalaman mereka, saya rasa situasi akan lebih baik karena di ruangan ini semua mendukung kesetaraan gender”, ungkap Hannah. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |