Jumat, 7 April 2017, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) V Jurnal Perempuan membincang mengenai “Analisis Wacana Kritis Dalam Politik”. Rocky Gerung mengampu kelas pada malam itu. Rocky membuka kelas dengan menjabarkan sedikit sejarah dan perbedaan mendasar mengenai Diskursus/Discourse dan Analisis Wacana Kritis (AWK)/Critical Discourse Analysis (CDA). Menurutnya diskursus tidak pernah netral, selalu ada kepentingan di baliknya, hal inilah yang dijadikan alasan para analis wacana kritis untuk mengajukan kecurigaan pada diskursus yang selama ini telah terjadi. Rocky menerangkan bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara Diskursus dengan AWK, yakni tentang pemaknaan bahasa dalam kehidupan. “Diskursus” sepakat dengan ahli linguistik yang menganggap bahwa bahasa adalah hal yang mengatur segala bentuk kegiatan manusia, sehingga bahasa adalah hal paling utama yang mendeterminasi kehidupan kita. Dalam diskursus, bahasa dianggap mendahului manusia dan karenanya kita terikat secara struktur dengan bahasa. Rocky memberikan analogi teka-teki silang (TTS) untuk menggambarkan bagaimana diskursus bekerja. Apabila ada sebuah TTS dengan petunjuk: Jurnal feminis terbaik di Asia Tenggara misalnya, dengan huruf akhir “N”, maka sudah pasti jawabannya adalah “Jurnal Perempuan”, tidak mungkin diisi dengan jawaban lain semisal “Zakir Naik” karena strukturnya memang sudah demikian, Zakir Naik berakhiran huruf “K” bukan huruf “N”. Hal ini sebenarnya menggambarkan bagaimana bahasa secara struktur dan grammar sangat membatasi ide-ide pembaruan yang mungkin ada namun tidak terlihat. Di sisi lain, AWK berusaha membongkar itu semua. Apabila mengaitkan kembali dengan analogi TTS di atas, maka cara kerja AWK adalah dengan mempertanyakan siapa yang membuat TTS tersebut dan apa tujuannya sehingga saya tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut? AWK bertujuan untuk mengungkap power atau kekuasaan yang ada di balik diskursus selama ini. AWK juga berfungsi sebagai alat untuk membongkar relasi kuasa yang mendukung sebuah diskursus sehingga tercipta sebuah ketidakadilan. Cara kerja AWK, apabila disederhanakan adalah dengan selalu mencurigai sistem bahasa dan skeptis terhadapnya. Sehingga, Rocky menyimpulkan setidaknya ada dua hal mengapa diskursus dapat menciptakan ketidakadilan apabila kita tidak menggunakan AWK sebagai pisau analisisnya. Pertama, diskursus selalu bergantung pada struktur bahasa dan grammar yang mengikat. Kedua, karena bahasa adalah sesuatu yang mengikat dan membatasi, maka membuat proses peradaban menjadi tidak adil dan inhuman. Diskursus sejatinya harus memasukkan autentisitas dari sebuah keadaaan, namun karena bahasa yang begitu mengikat, maka yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan. Rocky berpendapat bahwa Ketidakadilan ini paling terasa dialami oleh perempuan. Feminisme adalah pisau analisis yang paling tajam untuk menganalisis ketidakadilan yang terjadi pada perempuan dari aspek manapun, entah politik, ekonomi, pendidikan, sistem kelas, dan lain sebagainya. Titik tolak keberatan feminisme terhadap diskursus menurut Rocky adalah dikarenakan beban kultur yang sudah terlanjur patriarkis sehingga menyebabkan perempuan mengalami standar ganda dalam kehidupan. Titik tolak kritik selanjutnya dari feminisme terhadap diskursus adalah mengenai struktur bahasa yang sangat maskulin sehingga selalu menguntungkan laki-laki. Oleh karena itu tidak heran bila ada upaya akademis dari para pemikir feminis untuk mengubah sistem bahasa yang patriarkis, seperti yang dilakukan Helene Cixous, Julia Kristeva dan Luce Irigaray, atau pemberontakan seperti yang dilakukan bell hooks yang menolak untuk menuliskan namanya dengan huruf kapital karena ia anggap bahwa huruf kapital adalah simbol superioritas maskulin dan patriarki. Rocky mencontohkan diskursus yang mendiskriminasi perempuan pada aspek kehidupan dunia kejiwaan. Seorang perempuan yang gagap, cemas dan bingung di ruang publik, akan dianggap mengalami penyakit kejiwaan delirium oleh masyarakat. Sebetulnya, bisa jadi perempuan ini selama hidupnya terjebak dalam diskursus yang menwajibkan ia menjadi seorang yang pasif di ruang publik. Dengan demikian, AWK dalam kacamata feminis adalah sebuah upaya untuk mencapai emansipasi dan reegalitarisasi. Lebih lanjut Rocky menjelaskan bahwa diskursus sifatnya selalu melanggengkan kekuasaan, ada sistem hierarki, dan menjadikan bahasa sebagai institusi yang secara ketat membatasi ide-ide baru. Diskursus selalu kaku dan baku sehingga tidak memberikan ruang untuk analisis lain pada suatu ide. Ia mencontohkan diskursus tentang ginjal di dunia kedokteran yang didefinisikan sebagai organ tubuh semata yang berfungsi untuk mengatur salah satu sistem ekskresi manusia. Dunia kedokteran tidak akan melihat ginjal sebagai sesuatu yang menunjukkan sisi manusiawi seorang manusia seperti apakah ginjal tersebut milik seorang laki-laki atau perempuan dengan keadaan tertentu. Rocky juga mencontohkan diskursus politik yang dibuat oleh pemerintah suatu negara dalam mengampanyekan suatu program, seperti program ajakan pemerintah Singapura kepada warga negaranya untuk mempunyai anak, dengan sebuah infografis yang menunjukkan berbagai keuntungan yang akan didapatkan oleh warga negara Singapura apabila memiliki anak (lihat di sini). Dari infografis tersebut dapat terlihat animasi seorang ayah yang menggendong bayinya, hal ini mungkin untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa masalah maternitas adalah persoalan laki-laki juga sehingga ada peran fatherhood di situ, ia sekaligus ingin mengatakan bahwa kesetaraan gender sudah tercipta dalam masyarakat Singapura. Rocky memberikan analisisnya terhadap kampanye pemerintah Singapura ini. Menurutnya, dengan AWK kita bisa melihat sisi lain yang diinginkan pemerintah Singapura dari program ini. Pertama, Rocky berpendapat bahwa negara sebetulnya takut untuk memberikan asuransi kepada kelompok lansia karena dianggap tidak produktif, sehingga memilih untuk menyubsidi anak yang baru lahir agar bisa produktif nantinya dan menghasilkan pajak bagi negara. Kedua, sebetulnya program ajakan untuk memiliki anak dari pemerintah Singapura ini ada nuansa rasisme di dalamnya. Secara logis, apabila ingin menambah penduduk dari suatu negara, cara yang paling efektif adalah dengan mendatangkan imigran ke negara tersebut, tetapi pemerintah Singapura memilih untuk mengampanyekan untuk tidak takut memiliki anak di Singapura. Analisis yang ketiga dari Rocky adalah mengenai permasalahan kelas. Menurut Rocky, program pemerintah Singapura ini sejujurnya ditujukan kepada kaum kelas menengah ke atas dikarenakan kaum kelas bawah akan sulit mendapatkan akses kesehatan yang layak dan terjangkau di Singapura. Analisis terakhir yang dikemukakan Rocky terhadap kampanye ini adalah betapa sebenarnya diskursus mengenai ajakan memiliki anak dari pemerintah Singapura ini diskriminatif terhadap kelompok LGBT, karena pemerintah Singapura tidak memberikan akses kepada kelompok LGBT untuk mempunyai anak dalam kampanyenya (Heteronormatif). Rocky mengatakan bahwa AWK dapat digunakan sebagai pisau analisis diskursus apapun termasuk sastra ataupun mitos yang memberikan ketidakadilan pada struktur peradaban kita. Ia kembali mencontohkan bahwa selama ini kita terkurung dalam pemahaman bahwa dalam kasus Pandawa vs Kurawa, kita akan selalu menganggap bahwa Pandawa adalah pihak yang baik dan suci tanpa kita pernah menganalisisnya lebih jauh terhadap cerita tersebut. Contoh lain adalah mengenai mitos Medusa yang dianggap sebagai perempuan yang dikutuk dan dianggap monster oleh masyarakat Athena pada waktu itu karena bercinta dengan Poseidon sang dewa lautan. Analisisnya kemudian menunjukkan bahwa sebenarnya Medusa diperkosa oleh Poseidon, lalu dijatuhi hukuman dengan dikutuk karena sistem masyarakat yang patriarkis dan selalu menyalahkan perempuan. Tetapi, dari kisah Medusa pula kita bisa mengambil kesimpulan bahwa harapan akan selalu ada ketika sebuah kepedihan melanda. Hal ini terlihat dari mitos Medusa yang menceritakan bahwa setelah Medusa mati dan kepalanya dipenggal oleh Perseus, dari tetesan darahnya muncul makhluk mitologi lain bernama Pegasus. Dari berbagai contoh analisis di atas dengan menggunakan AWK terhadap berbagai jenis diskursus, sesungguhnya tujuan utama AWK adalah untuk membongkar rezim politik yang selalu diuntungkan oleh diskursus karena didukung sistem bahasa yang kaku sekaligus patriarkis. AWK adalah sebuah pisau analisis yang sangat dekat dengan penelitinya karena ia terlibat langsung dengan output yang dihasilkan dari kritiknya sekaligus melibatkan subjek peneliti untuk menyuarakan Audacity of Hopes. AWK juga membatasi subjek peneliti untuk tidak jatuh sebagai seorang fatalis ataupun nihilis, serta AWK berfungsi untuk membatasi bahasa agar tidak menjadi institusi tunggal yang menjadikan sistem peradaban menjadi kaku dan terbatas pada ide-ide baru sekaligus menciptakan hierarki. AWK dan feminisme selalu tune in untuk membahas ketidakadilan dan menyuarakan emansipasi. AWK dalam perspektif feminis digunakan untuk membongkar dan menghancurkan sistem bahasa yang maskulin dan patriarkis—atau sering disebut sebagai Phallogosentrisme atau Logos Spermatikos—sehingga menimbulkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan seperti membanalkan dan membenarkan pemerkosaan terhadap perempuan. Rocky menutup kelas malam itu dengan sebuah kesimpulan bahwa AWK/CDA adalah wake up call untuk melihat permasalahan ketidakadilan, meningkatkan kewaspadaan kita pada potensi krisis dan pembalikan keadaan politik yang mungkin terjadi, sekaligus menimbulkan reaksi positif akan adanya Politics of Hope. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |