Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) lahir sebagai respons atas tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Keberadaan RUU P-KS adalah sebuah pembaruan hukum yang sangat penting sebab memiliki ketentuan yang melindungi korban. RUU ini menjadi sangat penting untuk diundangkan sebab berdasarkan fakta dan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terlihat bahwa dalam 12 tahun terakhir angka kasus kekerasan seksual yang terus meningkat hingga 792% atau hampir delapan kali lipat. Angka ini bahkan masih merupakan fenomena gungung es, artinya masih jauh lebih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan, salah satu alasannya adalah belum adanya payung hukum yang mengakomodasi perlindungan dan pemulihan bagi korban. RUU P-KS sendiri telah masuk prolegnas prioritas tahun 2016 namun gagal disahkan pada akhir tahun 2019 lalu. Akhir bulan Juni lalu, RUU P-KS malah dikeluarkan dari Daftar Prolegnas RUU Prioritas 2020 dengan alasan bahwa pembahasan RUU P-KS “agak sulit dibahas”. Padahal berbagai pengalaman sulitnya proses hukum bagi kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa RUU ini sangat penting untuk segera diundangkan. Sebagai respons atas dikeluarkannya RUU P-KS dari daftar prolegnas prioritas tahun 2020, Infid bersama dengan berbagai kelompok masyarakat mengajukan surat terbuka untuk presiden dan ketua DPR untuk menuntut tanggung jawab negara dalam memastikan terpenuhinya perlindungan korban dan keadilan bagi korban. Menindaklanjuti surat terbuka untuk Presiden RI dan Ketua DPR-RI, Infid menginisiasi kegiatan Orasi Terbuka Pembacaan Surat dukungan terhadap RUU P-KS. Kegiatan tersebut dimoderatori oleh Atnike Sigiro, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan dan orasi disampaikan oleh perwakilan kelompok masyarakat yaitu; Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil, Perwakilan Sineas, Perwakilan Musisi, Perwakilan Komika, Perwakilan Jurnalis, Perwakilan Akademisi, Perwakilan Tokoh Agama, Perwakilan Mahasiswa Indonesia di Australia. Dalam kesempatan tersebut Alissa Wahid selaku Koordinator Jaringan Gusdurian membuka orasi dengan menarasikan beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi dan menimpa anak perempuan di Indonesia, dalam kasus tersebut para korban tidak dapat mengakses keadilan sebab tidak ada payung hukum yang mengatur pemulihan dan memberi keadilan bagi mereka. Alissa menyatakan bahwa RUU P-KS ini penting bagi kita semua khususnya bagi anak perempuan. Ati Nurbaiti, perwakilan jurnalis menyatakan bahwa untuk kepentingan masyarakat luas dan terutama jurnalis yang sering menerima kekerasan seksual saat bekerja. Ia menambahkan bahwa, AJI (Asosiasi Jurnalis Indonesia) juga mendukung percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS, sebab keberadaan RUU ini penting untuk memberi perlindungan bagi jurnalis yang rentan terhadap kekerasan seksual saat melakukan pekerjaannya. Menurut Ati, jika RUU P-KS disahkan, RUU ini dapat menjadi bentuk komitmen pemerintah untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Melani Subono perwakilan artis dan juga penyintas kekerasan seksual menyatakan bahwa ia berkomitmen untuk terus mendukung proses percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS ini. Bagi Melanie, ia tidak akan mendapat rasa tenang dan terlindungi jika pemerintah tidak kunjung mengesahkan regulasi yang mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual . Anggia Erma Rini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU, sebagai perwakilan tokoh agama dalam orasnya menyampaikan dukungan terhadap percepatan pembahasan dan pengesahan RUU P-KS. Anggia menyampaikan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual sangat merugikan korban, bahkan biasanya diselesaikan melalui jalan damai yang sangat tidak berkeadilan. Dalam Munas PBNU Tahun 2019 dinyatakan bahwa kekerasan seksual merupakan kegiatan yang menyalahi syariat karena didasarkan pada pemaksaan. Nur Iman Subono selaku pengajar di FISIP Universitas Indonesia dan sekaligus perwakilan dari akademisi menyampaikan kekecewaan dan kemarahannya pada pernyataan pejabat publik yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari prolegnas karena pembahasannya agak sulit. Menurut Boni pernyataan tersebut menandakan tidak adanya empati terhadap pengalaman korban kekersan seksual. Boni juga menyayangkan berbagai pandangan umum di masyarakat yang melihat perjuangan pengesahan RUU P-KS sebagai perjuangan untuk kepentingan perempuan semata. RUU P-KS bukan tentang pertempuran kepentingan antara laki-laki dan perempuan dan bukan pula gerakan anti laki-laki. Boni menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan saja, tetapi laki-laki juga. Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan RUU P-KS merupakan kepentingan bersama dan harus diperjuangkan dan dikawal bersama. Pada akhir orasinya Boni menyatakan bahwa dalam melihat keberadaan RUU ini tidak ada posisi netral, menjadi bagian dari silent majority adalah sebuah sikap pengkhianatan. Terakhir, orasi disampaikan oleh perwakilan mahasiswa Indonesia di Australia yaitu Irine H Gayatri yang sedang belajar di Monash University. Baginya pengundangan RUU PKS sangat penting untuk dilakukan sebagai wujud komitmen negara untuk menghapuskan kekerasan seksual. Acara ditutup dengan pembacaan surat terbuka lintas generasi yang diwakili oleh Siti Musdah, Mulia sebagai Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace. Selanjutnya surat terbuka dibacakan oleh Olin Monteiro selaku perwakilan Arts for Women dan Lintas Feminis Jakarta. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |