Hukuman Mati dan Perempuan: Negara Menghilangkan Kemartabatan Manusia & Tidak Mampu Melihat Konteks21/11/2016
Kamis, 17 November 2016, Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan kembali diselenggarakan dengan mengangkat tema “Perempuan dan Hukuman Mati”. Kelas Kaffe ini merupakan kerjasama Jurnal Perempuan dengan LBH Masyarakat dan merupakan upaya advokasi terhadap persoalan hukuman mati di Indonesia. Abby Gina selaku koordinator Kaffe memberikan pengantar dan memperkenalkan pengajar dalam kelas Kaffe hari ini. Ia menjelaskan bahwa kelas Kaffe hari ini akan membahas bagaimana kaitannya hukuman mati dalam pandangan feminisme. Pengajar kelas Kaffe adalah Gadis Arivia, pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar di Departemen Filsafat. Gadis Arivia memulai paparannya dengan menyebutkan bahwa telah ada 19 orang yang dihukum mati selama kepemimpinan Jokowi, jumlah ini sangat besar dan disayangkan sekali. Gadis menjelaskan bahwa alasan Jokowi untuk memberlakukan hukuman mati dan menolak grasi adalah untuk memberantas Narkotika, padahal menurut Gadis Narkotika adalah isu kesehatan bukan kejahatan. Gadis menjelaskan bahwa ada 3 teori yang digunakan untuk membuat hukuman. Pertama, teori retributive (teori setimpal) yaitu hukuman diberikan sesuai dengan perbuatan yang setimpal. Kedua, utilitarian (teori hasil) yaitu hukuman diberikan sebagai konsekuensi perbuatan untuk kebaikan masyarakat agar ada hasil yang baik untuk masyarakat. Ketiga, restitusi (teori kompensasi) yaitu keadilan tercapai bila korban diberikan kompensasi. Gadis menjelaskan bahwa 3 teori hukuman tersebut sering digunakan untuk membuat hukum positif. Gadis menjelaskan bahwa sda pandangan lain tentang hukuman yaitu pandangan dari Hugo Bedau. Dalam bukunya Against the Death Penalty (1986) Bedau mengkritik teori keadilan retributive karena terlalu prosedural. Sedangkan menurut Bedau, hukuman mati bukan hanya persoalan prosedural tapi juga persoalan moral. “Hukum mati menurut Jokowi karena narkoba mengakibatkan kematian, maka hukumannya juga adalah nyawa. Bukankah itu balas dendam?”, jelas Gadis. Ia mengungkapkan bahwa hukuman mati telah menghilangkan hak orang untuk direhabilitasi, hukuman mati juga menghilangkan kemartabatan manusia. Lebih jauh Gadis menjelaskan tentang status perempuan dalam hukuman mati yang menurutnya sangat memprihatinkan. Dalam kasus Merry Utami (MU) dan Mary Jane Veloso misalnya, perempuan menjadi korban, ditipu, dimanfaatkan, dan akhirnya menjadi korban. Pada konteks perempuan dalam hukuman mati sangat perlu melihat aspek-aspek yang lebih detail selain fakta bahwa perempuan tersebut membawa atau menjadi kurir narkoba. Gadis mengungkapkan bahwa sistem hukum yang prosedural gagal melihat masalah secara holistik dan tidak melihat konteks. Hukum bukan hanya persoalan hitam-putih, ya-tidak, tetapi ada persoalan konteks. Kemudian, Gadis menjelaskan hukuman mati dalam pandangan feminisme yang menurutnya sangat penting untuk dibahas agar dapat melihat kasus perempuan dan hukuman mati ini secara komprehensif. Teori etika kepedulian Carol Giligan menjelaskan bahwa nilai maskulin dan feminin berbeda. Giligan juga memberikan kritik terhadap teori moralitas Kohlberg yang tidak melihat masalah perempuan. Selanjutnya adalah teori etika feminis dari Alison Jaggar yang menjelaskan bahwa harus ada kepekaan pada persoalan ketidaksetaraan gender, jangan ada asumsi bahwa perempuan dan laki-laki sama situasinya. Hal inilah menurut Gadis yang dialami perempuan dalam kasus narkoba yang akhirnya dihukum mati. Misalnya kasus MU, ia sebelumnya adalah pekerja migran kemudian memiliki pacar dan akhirnya ditipu untuk membawa narkoba. Ada persoalan ekonomi dan pendidikan di sini yang perlu menjadi refleksi, karena kurangnya pendidikan maka perempuan dengan mudah ditipu. Situasi perempuan tidak sama dengan laki-laki. Teori selanjutnya yang dijelaskan oleh pendiri Jurnal Perempuan ini adalah teori dari Catherine McKinnon tentang dominasi, menurut McKinnon harus ada perhatian pada ranah domestik/privat tentang hubungan personal/asmara, keluarga. “Equality before the law, sama di depan hukum itu netral gender, itu tidak bisa diterapkan pada kondisi perempuan sebenarnya, hukum positif sangat bias gender, sehingga perlu feminist legal theory”, tutur Gadis. Hukum positif memisahkan yang privat dan publik, sedangkan perempuan adalah keseluruhan yang privat dan publik sehingga tidak bisa dipisahkan, the private is political. Dalam kasus MU, negara harus melihat konteks, harus ada perhatian pada ranah privat tentang hubungan personal/asmara dan keluarga. “Jika membunuh orang adalah sebuah kejahatan, apa hak negara untuk mengambil nyawa orang?”, tegas Gadis. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |