Arinta Dea Dini Singgi: Hukuman Mati Hanya Obat Penenang & Tidak Menyelesaikan Masalah Narkotika28/11/2016
“Berdasarkan Global Overview on Death Penalty tahun 2015 ada 102 negara yang menghapus hukuman mati untuk semua jenis kejahatan. Sedangkan ada 58 negara yang masih mempertahankan hukuman mati, termasuk Indonesia”, ungkap Arinta Dea Dini Singgi, staf Pengembangan Program LBH Masyarakat pada kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan (24/11/2016). Sesi kedua kelas Kaffe Jurnal Perempuan diampu oleh Arinta dari LBH Masyarakat yang membahas tentang hukuman mati dalam instrumen insternasional dan nasional dan berbagi cerita pengalaman melakukan advokasi terhadap terpidana hukuman mati Merry Utami (MU). Ia menjelaskan bahwa di Indonesia umumnya perempuan yang terpidana mati adalah perempuan yang tersangkut kasus Narkotika. Di Dunia ada 33 negara yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika. Pada pasal 6 ICCPR, dijelaskan bahwa hukuman mati hanya dapat diberlakukan untuk kejahatan paling serius (most serious crime). Most serious crime menurut resolusi Economic and Social Council of the United Nations (ECOSOC) tahun 1984, terbatas pada kejahatan yang disengaja yang mengakibatkan kematian atau dampak yang sangat serius lainnya (with lethal or other extremely grave consequences). Sedangkan menurut putusan MK No. 2-3/2007, kejahatan narkotika adalah kejahatan paling serius. Padahal Konvensi Narkotika dan Psikotropika mengategorikan beberapa tindak pidana sebagai particularly serious. Inilah yang menurut Arinta menjadi problem di Indonesia, MK menyamakan particularly serious dengan most serious crime, sehingga dalam hukum Indonesia kasus Narkotika dikategorikan sebagai most serious crime. “Dalam instrumen HAM internasional tentang hukuman mati disebutkan bahwa hukuman mati tidak efektif untuk memerangi Narkotika”, tutur Arinta. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa Narkotika adalah isu kesehatan sehingga negara harusnya pengguna Narkotika direhabilitasi bukan dikriminalisasi. Perang terhadap Narkotika melalui mekanisme hukuman matik tidak menyembuhkan adiksi dan negara hanya menghabiskan anggaran saja, karena kita tahu bahwa untuk melakukan eksekusi mati memerlukan biaya yang besar. Dalam kasus terpidana mati Merry Utami, Direktur pengembangan program LBH Masyarakat ini menjelaskan bahawa Merry adalah korban penipuan sindikat Narkotika. Sejak penangkapan pada 2001, Merry tidak didampingi kuasa hukum, Merry juga sudah melakukan upaya hukum, kasasi, banding terhadap kasusnya namun semua ditolak. Selama 15 tahun Merry telah menjalankan hukumannya dengan baik, Ia membuat naskah teater yang diperankan oleh penghuni Lapas. Pada 23 Juli 2016, MU dibawa oleh Kejaksaan Agung dan Jaksa Eksekutor ke Nusakambangan, tanpa ada pemberitahuan ke pihak keluarga. Kemudian pada 26 Juli 2016, MU mengajukan grasi atas hukumannya ke presiden Jokowi. Pada 26-28 Juli waktu kunjungan keluarga dan hanya keluarga inti saja yang boleh menjenguk. 14 orang terpidana mati yang direncanakan akan dieksekusi pada eksekusi mati jilid III disuruh mempersiapkan diri dengan menggunakan pakaian putih dan menulis permintaan terkahir. Pada hari eksekusi mati tersebut ternyata 4 orang yang dieksekusi dan yang lainnya termasuk Merry belum mendapat kepastian hukum. “Tidak ada kejelasan hukum bagi terpidana mati hingga kini, nyawa manusia sepertinya tidak ada ada harganya bagi negara”, ungkap Arinta yang juga kuasa hukum Merry Utami. Arinta mengungkapkan bahwa ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan para terpidana mati saat menjelang eksekusi. Alasan yang dituturkan untuk menghukum mati seseorang yang terlibat kasus Narkotika adalah karena Narkotika membunuh banyak orang. Tapi menurut Arinta jika membunuh adalah kejahatan, apa hak negara untuk membunuh seseorang. “Siapa yang berhak untuk menentukan seseorang berhak mati atau tidak?”, tegas Arinta. Merry Utami hingga hari ini belum mendapatkan kejelasan hukum. LBH Masyarakat sedang mengupayakan untuk mendesak Jokowi agar memberikan grasi pada Merry Utami. Arinta menjelaskan bahwa Merry Utami adalah korban penipuan, sehingga negara harus mampu melihat kasus Narkotika ini bukan hanya dari satu sudut pandang. Ia mengungkapkan bahwa meski kurir yang ditangkap tetapi peredaran Narkotika masih tetap terjadi. Sehingga menurutnya hukuman mati seperti obat penenang saja, tidak mengobati masalahnya. Hukuman mati hanya menenangkan kemarahan masyarakat tapi tidak memberikan solusi atas masalah Narkotika. (Andi Misbahul Pratiwi) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |