Kesenian apapun bentuk perannya mampu menyelesaikan makna. Keterlibatan Dewi Candraningrum dalam seni rupa adalah kebetulan. Tidak ada aturan “saklek” seseorang untuk berkesenian, jika bisa dikatakan 1persen adalah konsistensi dan 99 persen ada dalam banyak pendidikan, persoalannya berbeda ketika kita menoleh pada peran Dewi Candraningrum, Hal itu yang menjadi perhatian perupa Solo Saifuddin Hafiz. “Satu sisi dia adalah seorang ibu, dan satu sisi dia seorang pelaku. Dari lelaku dia mendapat pengalaman ide yang merupakan bukti empiris. Keterlibatan Dewi sebagai aktivis adalah sumber gagasan”, tutur perupa yang juga dikenal sebagai aktivis saat menjadi pembicara dalam diskusi dalam acara “Artist Talk” Womb Document Dewi Candranigrum. Acara yang dipandu oleh Shinta Maharani dihadiri sekitar 50 peserta terdiri dari akademisi, perupa, aktivis dan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta berlangsung pada Selasa (24/3/2015) di Sangkring Art Space, Bantul Yogyakarta. Saifuddin Hafiz juga menambahkan jika dirinya lebih cenderung memerhatiakan kepada esensi karya. “Ibaratkan seperti Wiji Thukul dalam karya-karyanya, karya Dewi berupa kegelisahan dan kemarahan. Contoh penggambaran tokoh Gerwani dalam lukisannya bukan sebentuk perjuangan, tetapi apa yang ada dibalik guratan-guratan. Ini adalah catatan hidup” jelas Saifuddin Hafiz. BJD Gayatri, seorang feminis yang juga menjadi pembicara menganalisis tentang warna yang dipilih dalam lukisan-lukisan Dewi Candraningrum. “Warna-warna yang saya lihat identik dengan sifat extrovert dan warna menggambarkan emosi. Lukisan bisa juga dipakai sebagai terapi. Saya melihat bagaimana Dewi bisa meraba survivor terhadap perasaan yang dialaminya. Lihatlah, mereka tidak simetris. Warna ‘blontang-blonteng’ adalah ekspresi yang galak, marah tetapi kosong. Bukan sekadar sapuan, ada kadar emosi yang bisa saya tangkap melalui warna. Dan apa yang direkam oleh Dewi adalah keberpihakan”, ujarnya. Aktivis yang pernah menjadi kurator di Biennale tahun 1996 itu juga mengatakan bahwa karya-karya yang dipamerkan sejak 13 Maret lalu 2015 semacam retropeksi atas diri Dewi Candraningrum. Ratna Noviani (Dosen UGM dan Dewan Etik AJI) menjelaskan bahwa lukisan Dewi menarasikan tentang subyek-subyek perempuan yang selama ini tidak berada dalam "space of representation", sebagai (P)erempuan. Subyek-subyek yang ada di margin narasi "the master" selama ini berada di ruang "space off" (pinggiran). Perempuan yang berada dalam "space of representation" adalah "the Woman" --dengan W besar, yang merupakan subyek ideal yang diimajinasikan & menjadi fantasi laki-laki. Dalam lukisannya, Dewi bisa "moving back and forth", mencoba melihat di "space of representation" tersebut. Hal ini membantu melihat bagaimana perempuan diposisikan dalam wacana dominan, tetapi juga perempuan dalam wacana pinggiran untuk melihat dan mendengar suara-suara yang ada di "space off". Untuk kemudian membawa suara mereka ke dalam ruang representasi. Dewi Candraningrum menanggapi bahwa dirinya sudah lama terjun dalam narasi verbal, sedang pada narasi visual baru saja dilakukan sejak Juli 2012. “Jika sedang melukis, karena anak saya autis mendekat itu artinya takdir melukis saya selesai. Saya tidak ingin memiliki kesanggupan untuk bertanggung jawab secara akademik. Ketika saya sedang menulis maka saya pesimis. Berbeda ketika bertemu dengan korban maka ada perasaan riang dan ini tanggung jawab estetika. Ketika saya hanya menulis itu saya kurang bertanggung jawab”, ungkap Dewi. Guntur, seorang peserta diskusi memberi pernyataan bahwa lukisan-lukisan yang dipamerkan adalah perjalanan Dewi Candraningrum untuk keluar dari ‘penjara’. “Dewi sangat detail. Dan ini bagian dari katarsis, ungkapan yang tak tertuang dalam narasi verbal”. Putu Sutawijaya, pemilik Sangkring Art yang aktif mengikuti acara diskusi hingga selesai dan turut menanggapi bagaimana karya-karya Dewi Candraningrum bisa lolos dari perhitungannya dan bagaimana kurator Kris Budiman ‘menemukan’ Dewi Candraningrum. Dia mengatakan bahwa ruangan pameran yang sudah ada sejak 8 tahun lalu pernah diapresiasi oleh majalah TIME. Menurutnya justru media lokal tidak pernah menganggap. Pihaknya pernah menyediakan fasilitas diskusi yang bisa dikatakan sebagai kantong-kantong kebudayaan, namun kini surut. “Saya suka karena berbagi ruang”, ujar perupa yang karya-karyanya pernah dipamerkan diberbagai kota di Indonesia. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |