Korban terbanyak dari tragedi Mei ’98 adalah kaum perempuan. Dibentuknya Komnas Perempuan merupakan upaya untuk menghapuskan kekerasan yang terjadi pada perempuan, demikian pernyataan Ketua Sub Komisi Pemulihan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati, dalam Seminar bertajuk “Membangun Mekanisme Pelaporan Korban Kekerasan Seksual” di di Auditorium Gedung X FIB Universitas Indonesia pada (26/11). Meskipun deklarasi HAM universal sudah ada namun secara spesifik dan sistematis perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Forum Pengadaan Layanan di dalam Komnas Perempuan bertugas membantu penanganan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan. Seringkali negara memfokuskan diri pada hukuman bagi pelaku dan mengabaikan pemulihan korban. Di sinilah Komnas Perempuan turut membantu memulihkan kondisi psikologis korban. Menurut Nurherwati, kekerasan seksual kerap kali mendapatkan penyangkalan dari sosial. Jika korban tidak berani muncul dan hukum tidak dapat membuktikan tidak berarti faktanya tidak ada. Diperlukan adanya perspektif HAM dan gender untuk memahami posisi perempuan di dalam masyarakat. Jika pisau analisis tidak digunakan dengan benar maka stigma pada korban akan muncul. Pisau itu digunakan untuk membedakan korban dan pelaku. Pembelaan pada korban ada pada pisau analisis yang seringkali luput oleh para penegak hukum. Nurherwati menambahkan prinsip penanganan korban pelecehan seksual di Komnas Perempuan berbasis pada korban. Di sini para konselor menjadi pendengar dan diharapkan berempati dan berpihak pada korban. Tanpa rasa keberpihakan, korban akan takut bercerita dan cenderung menyalahkan dirinya. Maka yang diperlukan bagi pendamping korban pelecehan adalah perspektif dalam menganalisis kasus. Perspektif sangat penting untuk mengasah kemampuan dalam menyusun kronologi peristiwa yang sesuai dengan fakta. Selain menjadi pendengar, pendamping melakukan intervensi kritis. Misalnya di dalam kasus korban pelecehan atau kekerasan yang merasa menjadi pihak yang patut disalahkan. Pandangan ini harus dihilangkan dari korban. Setelah intervensi, pendamping kemudian membantu menyusun strategi dalam menempuh jalur hukum. Dalam seminar ini dijelaskan beberapa karakteristik mengenai kekerasan seksual. Salah satunya adalah pelaku seringkali merasa bahwa tindakannya dapat dibenarkan dikarenakan alasan “suka sama suka”. Hal itu menguatkan keragu-raguan korban bahwa ia telah mengalami pelecehan dan kekerasan. Nurherwati memberikan beberapa tips penanganan spesifik yang dapat dilakukan oleh para pendamping seperti memberikan informasi kepada korban tentang hak atas tubuh, penguatan bagi korban yang merasa bersalah dan pentingnya peran keluarga sebagai bagian utama dari perlindungan bagi korban. (Johanna Poerba dan Lola Loveita) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |