Alunan tembang kelompok kerja budaya Benang Merah mengawali pembukaan acara bedah buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan: Dialektika Filsafat Pendidikan Politik Plato, dari Yunani Antik Hingga Indonesia yang diselenggarakan di Balai Soedjatmoko Solo (11/11). Benang Merah menyajikan lirik kritik sosial dengan apik mulai dari lagu pertama “Negara tak Pernah Hadir”, “Sosok Sederhana” dan ditutup dengan sempurna oleh alunan lagu “Ku Benci Kain Putihmu”. Sebagian besar lirik lagu secara lugas menyuarakan berbagai kritik persoalan yang hadir di masyarakat seperti kemiskinan, konflik sosial dan kondisi rusaknya alam. Acara bedah buku menghadirkan pembicara yakni penulis buku Dr. A. Setyo Wibowo dan FX. Haryanto Cahyadi, serta narasumber pembedah yakni Dr. Dewi Candraningrum. Acara malam itu dimoderatori oleh St. Tri Guntur Narwaya, M.Si. Sekitar kurang lebih tiga jam, pemikiran dan gagasan Platon yang konon dianggap “menakutkan” mampu dipaparkan dengan runtut dan apik oleh ketiga pembicara. A. Setyo Wibowo sebagai penulis menjabarkan poin intuisi dan gagasan Platon terutama mengenai pendidikan, keutamaan manusia dan juga bagaimana ideal kepemimpinan yang ditawarkan Platon. Bagaimana karakter dan tahapan untuk membentuk sosok pemimpin dijabarkan dengan contoh-contoh yang reflektif oleh Setyo Wibowo. Menurut Setyo, proses pendidikan yang digagas oleh Platon adalah sebuah proses pembudayaan yang harus melalui sebuah fase tahapan tertentu. Pencapaian keutamaan kepemimpinan adalah ketika seseorang mampu menyeimbangkan daya-daya optimal yang ada dalam jiwa manusia. Lebih jauh pendidikan bukanlah persoalan mentransfer ilmu dari pendidik ke anak didik semata, melainkan sebuah pembalikan (conversion) yang mampu memberi landasan visi yang kokoh bagi anak didik. Capaian utama tentu membayangkan akan tercipta pribadi-pribadi manusia yang ideal. Pendidikan untuk pemimpin tidak diberikan bagi semua orang, akan tetapi diberikan kepada manusia dengan landasan bakat alamiah tertentu. Hanya pribadi-pribadi tertentu yang mampu mengoptimalkan bakat-bakat itu yang akan bisa menjadi seorang pemimpin. Terdapat beberapa hal yang diungkapkan Setyo dalam melihat karakter pemimpin, Pertama, bakat alamiah manusia. Bakat alamiah ini seperti keberanian atas keberpihakan, pemarah atas ketertindasan, kecerdasan, daya ingat bagus dan tekun dalam menghadapi masalah sampai tuntas. Kedua, adanya kurikulum atau metode yang tepat untuk membangun ruang berpikir anak didik. Kurikulum dan lingkungan (epistemik) yang tepat mampu meningkatkan kecerdasan calon pemimpin menjadi baik. Pendidikan ini pun dijabarkan dalam beberapa hal. Pendidikan pra-rasional untuk membangun sensibilitas ataupun pendidikan karakter. Hal ini bisa dimulai dari keluarga, biasanya dilakukan melalui musik, puisi, sastra, seni. Pendidikan Gymnastic (fisik), bukan berarti membentuk anak menjadi atlet, melainkan bertujuan agar anak didik terlatih untuk mengenali dan membentuk jiwanya. Setyo Wibowo mengungkapkan bahwa sebelum mengenali orang lain kita harus mampu mengenali diri sendiri. Pendidikan teoritik dan pengasahan intelektualitas dilakukan setelah bangunan pendidikan pra-rasional dan gymnastic dilampaui. Anak didik kemudian diajak untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan suatu masalah. Sementara FX Hariyanto Cahyadi memberi tambahan penjelasan yang lebih masuk pada pendasaran filosofis dan teoritik atas apa yang ditawarkan oleh Platon yang hidup jauh pada empat abad sebelum masehi. Gagasan tentang filsuf sebagai negarawan ataupun juga gagasan konsep Paideia yang dikembangkan Platon tentu tidaklah datang dari langit. Gagasan Platon pada konteksnya lahir dari dialektika dan permenungan yang panjang terutama pada berbagai upaya pembaharuan berhadapan dengan beberapa mainstream pandangan yang kokoh dan berkembang saat itu seperti gagasan Paideia Homeros dan juga Paideia kaum Sofis. Sebagai sebuah nilai, konsep bagaimana kepemimpinan ideal tentu juga sudah dikembangkan oleh dua mainstream gagasan tersebut. Tak untuk mengubah dan menggantikan keseluruhan, Platon memberikan tawaran yang lebih kokoh mengenai apa yang perlu untuk membentuk kepemimpian Kalokagathos versi pandangan Platon. Cita-cita yang sangat luar biasa yang mampu dielaborasi oleh Platon adalah menunjukkan betapa kekuatan nalar rasio—yang disebutnya sebagai Episteme-Arete yakni sebuah formasi logistikon demi pengetahuan kebijaksanaan—adalah prinsip keutamaan yang mendasar. Sebagai pembedah dan penanggap, Dewi Candraningrum lebih menempatkan diri beserta catatan dia sebagai sebuah tafsir kepada tulisan seorang ‘ayah’. Dalam makalah berjudul “Menafsir Ayah”, poin menarik yang mampu dia bedah adalah kecurigaan sekaligus catatan kritis atas kuasa akal (nalar) dan beberapa dimensi narasi agung yang dibawanya. Apa yang ingin dikaitkan antara gagasan besar buku tentang Platon ini dengan kejadian-kejadian yang riil bisa ditangkap adalah bahwa pada proses historisnya berbagai pengagungan nalar dan pemusatan pada nalar manusia yang khas dikembangkan dalam positivisme ilmu-ilmu alam pada kenyataannya membentuk proses yang disebutkan sebagai peliyanan. Narasi agung akan kekuatan akal di satu sisi jika tidak hati-hati mampu melahirkan apa yang disebut sebagai liyan (the other). Catatan unik dan menarik yang lain adalah penolakan Dewi terhadap penggunaan binatang sebagai metafora ataupun alegori dalam menunjukkan posisi-posisi nilai ideal tertentu. Bagi Dewi, kecenderungan semacam ini sebenarnya telah merendahkan bagian dari keagungan makhluk bumi yang sejatinya mempunyai peran dan nilai yang berharga bagi apa yang disebut sebagai kosmos bumi. Penjarakkan dengan makhluk bumi lain sebenarnya bisa ditangkap sebagai gejala penguasaan akan alam yang bisa berujung pada berbagai sistem kerusakan alam hingga hari ini. “Tidak ada yang salah dengan binatang, kenapa seringkali ia harus dipakai sebagai metafora tentang berbagai hal yang tidak baik seperti umpatan dan makian” ungkapnya. Membawa perspektif feminis untuk menangkap pesan dari buku Platon memang tidaklah pekerjaan yang mudah. Namun yang menjadi poin penting menurut Dewi adalah bahwa apapun ilmu yang ada harus diorientasikan pada upaya membangun relasi kemanusian yang adil dan tidak diskriminatif. Tantangan terberat ke depan dalam mandat bagi ilmu menurutnya adalah bagaimana bisa mengendalikan agar bumi tidak lagi semakin menuju kerusakan dan kemusnahan. Ilmu yang tidak bertendensi untuk melahirkan liyan adalah pengembangan yang ingin dicari. Tren yang berkembang bagi ilmu-ilmu kemanusiaan ke depan adalah tak lagi hanya sekadar mengetahui dan juga memahami tetapi sekaligus sebagai cara untuk bisa merasakan. Menurutnya tugas penting seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu kritis adalah mampu membongkar selubung dan kepentingan pengetahuan yang mempunyai kecenderungan untuk dominatif dan diskriminatif. Pada sesi tanya jawab, muncul berbagai tanggapan menarik dari para peserta yang hadir, terutama pada poin nilai apa yang didapat dari gagasan Platon terhadap kondisi riil bangsa Indonesia hari ini. Pertanyaan penting yang muncul adalah menyangkut pandangan Platon tentang persoalan pendidikan, demokrasi dan juga kepemimpinan. Memang sebagian besar yang hadir bukanlah mereka yang spesifik menekuni filsafat Platon, sehingga bisa dimaklumi bahwa pertanyaan yang dimunculkan lebih banyak pada persoalan konsep-konsep umumnya menyangkut relevansinya dengan kondisi-kondisi kekinian. Beberapa penjelasan tambahan yang diberikan baik oleh Setyo Wibowo, Dewi Candraningrum ataupun Haryanto Cahyadi memberikan cakrawala baru atas bacaan tentang Platon. Di ujung akhir bahkan Haryanto Cahyadi memberi penekanan yang cukup mendalam bahwa maksud dari pembacaan Platon ini tidak bisa semata ditangkap secara anakronistik melainkan spirit dan pesan nilainya yang barangkali sama bisa ditemukan dalam berbagai gagasan yang berkembang di Indonesia. Tentu ini tugas bersama-sama dan saling menguatkan diantara para pecinta pengetahuan baik yang lebih memilih untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang lahir secara khas di Indonesia maupun mereka yang tekun mendalaminya sampai pada berbagai gagasan yang hidup dan berkembang dari berbagai zaman dan berbagai tempat. Secara keseluruhan acara diskusi bedah buku berjalan dengan lancar dan menarik hingga pukul 22.30 WIB. Tri Guntur Narwaya sebagai pemandu acara dalam kata penutupnya memberikan catatan tambahan bahwa ruang diskusi dan kebertemuan untuk berbagai pengetahuan adalah sarana berharga untuk membangun tradisi epistemik berpikir yang kuat dan sehat. Ruang publik diskusi adalah cara kita bisa menyapa yang berbeda dan mempertemukan berbagai khasanah keilmuan yang bisa jadi masih bertebaran. Tugas masing-masing intelektual dan juga seluruh warga masyarakat pencinta pengetahuan untuk mentradisikan ruang-ruang berharga semacam ini. Pada titik itulah sekaligus para pencinta pengetahuan bisa memberi sumbangsih yang konkret dan langsung bagi kehidupan. (Winanti Praptiningsih)
0 Comments
Leave a Reply. |
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |