Arianti Ina Restiani Hunga sebagai Ketua Sahabat Jurnal Perempuan Jawa Tengah (SJP Jateng) dan juga Ketua Pusat Penelitian Studi Gender (PPSG) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) mengatakan pentingnya memberikan pendidikan kritis bagi korban dan keluarga korban kekerasan seksual. Hal ini diungkapkan dalam Bedah Kasus Perdagangan Anak yang dihelat oleh Jaringan Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (JPPAS), YAPHI, ATMA, YKPS, TALITA KUM, SJP Jateng, PPSG-UKSW dan Jejer Wadon di Yayasan Krida Paramita Solo, Selasa (25/11/2014). Acara rangkaian Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) menghadirkan narasumber dari Kepolisian Sukoharjo dan Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) terkait dengan kasus perdagangan anak yang terjadi di Sukoharjo yang diduga melibatkan Hangabehi Raja Solo. “Agar pelaku kekerasan seksual terkena aspek hukum karena ini kejahatan kemanusiaan dan bukan yang lain. PR bagi kita adalah agar bayi yang dikandungnya mendapat perlindungan. Bagaimana akses kepada korban? Supaya kita tahu apa saja kebutuhan korban. Langkah lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan kritis kepada korban dan keluarga korban ,”tutur Ina Hunga. Sementara itu Suparno Kabid PU Polres Sukoharjo menyatakan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo telah sampai ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Masalah kasus ini posisinya sudah jelas dan penyidikan selesai pada Selasa 18 November 2014, sudah P21 dan saat ini berkas di Jaksa Penyidik Umum. Tinggal menunggu sidang. Pasal yang dikenakan adalah tentang perdagangan manusia dan perlindungan anak. Dasarnya adalah laporan polisi pada 21 Juli 2014. Kejadian perkara pada Selasa 18 Maret 2014 pukul 16.00,” ujar Suparno. Denny Septiviant dari KPK2BGA menyatakan bahwa korban adalah anak-anak jadi yang digunakan adalah UU Perlindungan Anak. Denny menekankan terkait problem luarnya apakah korban mendapat layanan-layanan non legal, termasuk dengan anak yang dikandungnya. Dan apakah perlu diadvokasi karena itu adalah hak korban. Denny juga menyoroti peran Pos Pelayanan Terpadu (PPT) setempat. “Yang disoroti adalah peran PPT setempat. Undang-Undang memberi mandat terbesar terhadap pusat layanan terpadu. Dalam hal ini fungsi belum terlihat karena korban langsung didampingi oleh kuasa pendamping korban. PPT terkait juga dengan kehamilan terhadap akses layanan medis, ternyata belum terakses”. Seorang peserta diskusi Dunung dari ATMA mempertanyakan bahwa tim dari JPPS melakukan investigasi dari beberapa kronologi yang disampaikan kuasa pendamping korban berbeda dengan realitas di lapangan. Dunung juga menyatakan bahwa terduga pelaku kekerasan seksual yakni Hangabehi sampai saat ini belum sebagai terlapor. Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Suparno bahwa pihaknya telah berusaha mendatangi Hangabehi di Keraton namun Hangabehi jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. “Kami mendatangi Hangabehi untuk mencari keterangan terkait sebagai saksi,”jelas Suparno. Pihaknya sendiri mengakui bahwa kasus perdagangan manusia ini memberi peluang pengembangan. Vera Giantari, aktivis perempuan Solo mempertanyakan tentang pemahaman polisi atas kasus ini, apakah benar-benar Hangabehi tidak bisa dimintai keterangan. “Kita percaya bahwa di internasional konvenan bahwa anak tetap menjadi korban. Yang kita pertanyakan adalah bagaimana kepolisian ini melakukan penangangan kasus ini dengan tepat?” tutur Vera. Pernyataan kepolisian yang mengungkapkan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo ini bisa dikembangkan memberi angin segar. Kris, salah seorang peserta dari Pusat Studi Wanita Universitas Slamet Riyadi Surakarta menyatakan bahwa krisis ini adalah masalah besar. Bisa sebagai titik pijak tentang nilai budaya yang berkembang di Solo terkait bagaimana kendali kekuasaan? Kasus dilokalisir tidak hanya lewat politik untuk mengubah masyarakat. “Jika kepolisian mengatakan ini sesuatu yang tidak bisa diubah. Media jangan melokalisir bahwa ini hanya kasus atas korban. Ini persoalan bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh si A dan si B. Kita bisa lewat partai sebagai pengambil keputusan dari situ akses bisa masuk legislasi,”tuturnya. Senada dengan hal itu Ina Hunga juga memberi peluang tentang payung kebijakan oleh walikota atau bupati berupa Surat Keputusan (SK), “Karena di setiap daerah sebagai penanggung jawab tertinggi adalah walikota atau bupati,” ujarnya. Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi JP) menekankan bahwa pertemuan bedah kasus dimaksudkan untuk sebuah tindakan koordinasi. “Kita sudah meratifikasi Hak Anak dan Pelindungan Perempuan. Kasus Raja Solo adalah masalah kita. Kalau kita punya perspektif pada korban, apakah ada keberpihakan kepada korban? Bagaimana korban malah diarahkan kepada media. Bahkan sebenarnya inisial korban pun tidak boleh disebut. Ada PSW se-Jawa Tengah dan kasus Hangabehi adalah kasus kedua yang terungkap. Jadi dibutuhkan sensitivitas,” pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |