
Sementara itu Suparno Kabid PU Polres Sukoharjo menyatakan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo telah sampai ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Masalah kasus ini posisinya sudah jelas dan penyidikan selesai pada Selasa 18 November 2014, sudah P21 dan saat ini berkas di Jaksa Penyidik Umum. Tinggal menunggu sidang. Pasal yang dikenakan adalah tentang perdagangan manusia dan perlindungan anak. Dasarnya adalah laporan polisi pada 21 Juli 2014. Kejadian perkara pada Selasa 18 Maret 2014 pukul 16.00,” ujar Suparno.
Denny Septiviant dari KPK2BGA menyatakan bahwa korban adalah anak-anak jadi yang digunakan adalah UU Perlindungan Anak. Denny menekankan terkait problem luarnya apakah korban mendapat layanan-layanan non legal, termasuk dengan anak yang dikandungnya. Dan apakah perlu diadvokasi karena itu adalah hak korban. Denny juga menyoroti peran Pos Pelayanan Terpadu (PPT) setempat. “Yang disoroti adalah peran PPT setempat. Undang-Undang memberi mandat terbesar terhadap pusat layanan terpadu. Dalam hal ini fungsi belum terlihat karena korban langsung didampingi oleh kuasa pendamping korban. PPT terkait juga dengan kehamilan terhadap akses layanan medis, ternyata belum terakses”.
Seorang peserta diskusi Dunung dari ATMA mempertanyakan bahwa tim dari JPPS melakukan investigasi dari beberapa kronologi yang disampaikan kuasa pendamping korban berbeda dengan realitas di lapangan. Dunung juga menyatakan bahwa terduga pelaku kekerasan seksual yakni Hangabehi sampai saat ini belum sebagai terlapor. Pertanyaan yang langsung dijawab oleh Suparno bahwa pihaknya telah berusaha mendatangi Hangabehi di Keraton namun Hangabehi jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. “Kami mendatangi Hangabehi untuk mencari keterangan terkait sebagai saksi,”jelas Suparno. Pihaknya sendiri mengakui bahwa kasus perdagangan manusia ini memberi peluang pengembangan. Vera Giantari, aktivis perempuan Solo mempertanyakan tentang pemahaman polisi atas kasus ini, apakah benar-benar Hangabehi tidak bisa dimintai keterangan. “Kita percaya bahwa di internasional konvenan bahwa anak tetap menjadi korban. Yang kita pertanyakan adalah bagaimana kepolisian ini melakukan penangangan kasus ini dengan tepat?” tutur Vera.
Pernyataan kepolisian yang mengungkapkan bahwa kasus perdagangan anak di Sukoharjo ini bisa dikembangkan memberi angin segar. Kris, salah seorang peserta dari Pusat Studi Wanita Universitas Slamet Riyadi Surakarta menyatakan bahwa krisis ini adalah masalah besar. Bisa sebagai titik pijak tentang nilai budaya yang berkembang di Solo terkait bagaimana kendali kekuasaan? Kasus dilokalisir tidak hanya lewat politik untuk mengubah masyarakat. “Jika kepolisian mengatakan ini sesuatu yang tidak bisa diubah. Media jangan melokalisir bahwa ini hanya kasus atas korban. Ini persoalan bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh si A dan si B. Kita bisa lewat partai sebagai pengambil keputusan dari situ akses bisa masuk legislasi,”tuturnya.
Senada dengan hal itu Ina Hunga juga memberi peluang tentang payung kebijakan oleh walikota atau bupati berupa Surat Keputusan (SK), “Karena di setiap daerah sebagai penanggung jawab tertinggi adalah walikota atau bupati,” ujarnya. Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi JP) menekankan bahwa pertemuan bedah kasus dimaksudkan untuk sebuah tindakan koordinasi. “Kita sudah meratifikasi Hak Anak dan Pelindungan Perempuan. Kasus Raja Solo adalah masalah kita. Kalau kita punya perspektif pada korban, apakah ada keberpihakan kepada korban? Bagaimana korban malah diarahkan kepada media. Bahkan sebenarnya inisial korban pun tidak boleh disebut. Ada PSW se-Jawa Tengah dan kasus Hangabehi adalah kasus kedua yang terungkap. Jadi dibutuhkan sensitivitas,” pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh)