Kamis, 8 Desember 2016, kuliah Kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) Jurnal Perempuan membincang mengenai “Perempuan dalam Mata Rantai Peredaran Narkotika: Perspektif Hukum Feminis”. Profesor Sulistyowati Irianto, guru besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia membuka kelas tersebut dengan mengungkapkan kegelisahannya mengenai situasi negara Indonesia. Ada permasalahan pada hukum kita. Berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Sulis menyatakan mayoritas kasus yang menjerat para penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) baik itu lapas laki-laki, perempuan dan anak adalah kasus narkotika, psikotropika dan obat terlarang (narkoba). Tahun ini, lapas di Semarang, 80% warga binaannya terjerat kasus narkoba, baik sebagai pemakai maupun pengedar. Hal ini menyebabkan lapas menjadi over-capacity. Ironisnya, salah seorang petinggi negara menyatakan bahwa solusi dari over-capacity adalah dengan memberikan remisi pada terpidana tindak pidana korupsi, padahal 80% penghuni lapas merupakan terpidana kasus narkoba. Jika melihat persentase tersebut bukankah yang seharusnya menjadi perhatian negara adalah kasus narkoba? Sulis menekankan pentingnya mempertanyakan bagaimana hukum memosisikan subjek yang rentan, khususnya perempuan di dalam kasus-kasus peredaran narkoba. Ada kebutuhan untuk membongkar bagaimana subjek dirugikan secara sistemik. Pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani, dua orang terpidana yang divonis hukuman mati, terdapat pola yang sama yang membuat mereka terjebak dalam perdagangan narkoba . Karena itu dibutuhkan pendekatan hukum yang berperspektif perempuan untuk menjelaskan kompleksitas kasus hukum seperti pada kasus Merry Utami dan Rani Andriani. Pendekatan hukum berperspektif perempuan dikenal sebagai feminist jurisprudence atau feminist legal theory. Poin penting dari pendekatan ini adalah kritik terhadap sejarah dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai stand-point. Sulis memaparkan bahwa hukum dibuat berdasarkan kacamata laki-laki, termasuk sejarah juga dibuat oleh laki-laki, karenanya tidak merekam kiprah perempuan dalam kontribusinya terhadap kehidupan bangsa. Sejarah terlalu sibuk dengan narasi-narasi besar, sehingga melupakan narasi-narasi keseharian, dalam hal ini adalah narasi perempuan. Pengabaian terhadap narasi perempuan juga terefleksi dalam berbagai perumusan hukum, yang berimpilkasi pada tidak terjaminnya keadilan bagi perempuan. Menurut Sulis pengalaman perempuan adalah hal yang penting disertakan untuk mengkritisi hukum. “Sejarah Indonesia misalnya, kita tidak diberi tahu mengenai sejarah perjuangan perempuan sebelum kemerdekaan yang sangat luar biasa. UUD 1945 pasal 27 tentang persamaan di muka hukum, bukanlah hal yang terberi melainkan lahir dari perjuangan gerakan perempuan. Hak pilih perempuan pada pemilu pertama di Indonesia juga merupakan hasil dari perjuangan gerakan perempuan Indonesia. Perempuan selalu ada dalam babak sejarah manapun, bahkan hingga saat ini. Gerakan perempuan selalu terintegrasi dalam gerakan masyarakat sipil”, ungkap Sulis. Ia melihat bahwa telah terjadi pendiaman terhadap sejarah perempuan. Lebih lanjut Sulis mengungkapkan metode hukum berperspektif feminis berangkat dari kisah-kisah perempuan. Feminist legal theory hadir sebagai respons atas temuan banyaknya instrumen hukum yang merugikan perempuan, secara khusus mendiskriminasi perempuan. Feminist legal theory juga menyadari bahwa sulit bagi perempuan untuk mendapatkan keadilan di dalam hukum. Sulis mengilustrasikan seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual harus menunjukkan bukti. Hal ini tentu tidak mudah bagi perempuan. Perjuangan untuk melakukan pembuktian kadang kala membutuhkan proses hukum yang begitu lama, tetapi hukuman yang diberikan pada pelaku hanya beberapa bulan. Tentu ini tidak memberikan keadilan bagi korban. Feminist legal theory dapat digunakan untuk menguji pasal-pasal yang dikenakan untuk menghukum perempuan. Ada dua tataran yang dikritisi oleh feminist legal theory yaitu tataran teks dan praktik. Pertanyaan dalam feminist legal theory yang digunakan sebagai tolok ukur untuk melihat bagaimana hukum secara desain merugikan perempuan meliputi (1) Bagaimana identitas dan imajinasi tentang perempuan, termasuk seksualitas, kapasitas, peranan dan nilai-nilai tentang perempuan diproyeksikan oleh hukum? (2) Apakah hukum merefleksikan realitas pengalaman perempuan? Perempuan yang mana? (3) Isu apa yang diatur oleh hukum? (4) Apakah hukum melindungi dan memberi keuntungan pada perempuan? (5) Apakah aspirasi dan perspektif perempuan diperhitungkan oleh hukum? Hukum harusnya memberikan keadilan bagi perempuan, namun dalam beberapa kasus instrumen hukum malah merugikan perempuan. Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pornografi misalnya. Sulis mengatakan Undang-Undang Perkawinan adalah undang-undang yang paling dekat dengan perempuan namun ia juga merupakan undang-undang yang menjerat perempuan. Ada standar ganda di dalamnya. Begitu pula halnya dengan Undang-Undang Pornografi. Undang-Undang ini perlu ada demi menjaga anak-anak agar tidak terpapar konten pornografi, tetapi menjadi persoalan ketika pengalaman perempuan tidak terakomodir di dalam perumusan undang-undang tersebut. Maka yang terjadi adalah objektifikasi tubuh perempuan. Menurut Sulis kritik hukum feminis tidak berhenti pada kritik terhadp teks hukum tapi lebih jauh lagi melakukan kritik terhadap praktik hukum. Salah satu yang perlu dikritisi dan direkonstruksi adalah putusan hakim. Hal ini mengingat di Indonesia masih banyak hakim yang menempatkan dirinya sebagai corong undang-undang. Padahal terdapat kebutuhan untuk menjadikan putusan hakim sebagai sumber hukum yang penting. Sulis menjelaskan bahwa perkembangan hukum sangatlah lambat, sedangkan perkembangan masyarakat sangat cepat, sehingga penting bagi para hakim untuk membuat terobosan melalui putusannya. Berdasarkan penelitian kualitatif yang Sulis lakukan pada beberapa perempuan terpidana mati dalam kasus peredaran narkoba, terdapat relasi terselubung antara kurir narkoba (perempuan) dengan isu perdagangan orang. Menurutnya ada pola berulang dalam kasus kurir narkoba yang ditelitinya. Dalam pola tersebut selalu ada rekrutmen terhadap perempuan. Rekrutmen tidak dilakukan dengan opsi melainkan dengan pengelabuan. Biasanya, mereka (perempuan) dijanjikan pekerjaan, yaitu sebagai penjaga toko atau salon tapi nyatanya para perempuan ini dijebak dalam perdagangan narkoba. Ada pula model pengelabuan dengan menjadikan perempuan sebagai pacar ataupun istri. Setelah proses perekrutan terjadi, kemudian dilakukan proses migrasi, proses ini digunakan oleh sindikat untuk mengisolasi perempuan dari budayanya. Di tempat yang baru perempuan tidak dapat memahami bahasa asing, tidak dapat berinteraksi dengan masyarakat setempat, sehingga ia tidak dapat meminta pertolongan. Perempuan dalam bisnis narkoba mengalami berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Kasus perempuan yang terjerat dalam perdagangan narkoba cross-cut dengan persoalan perdagangan perempuan. Sulis menyatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan terjebak dalam perdagangan manusia yang menjadikan mereka sebagai kurir narkoba. Pertama, motivasi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Kedua, ketiadaan keberanian pada diri perempuan untuk menuntut penjelasan dari orang lain, sehingga ia mudah terjebak. Ketiga, keinginan memenuhi perannya sebagai pengasuh utama mendorongnya untuk mencari uang banyak dengan cara mudah. Keempat, kecenderungan perempuan untuk mudah percaya pada orang lain baik itu teman maupun pasangan. Pengabaian pada faktor-faktor tersebut tentu membuat hukum menjadi timpang. Perempuan dirugikan, hal ini diperparah dengan absennya sensitivitas gender pada para aparat penegak hukum dan berbagai ketidaktepatan dalam proses peradilan. Jika faktor-faktor tersebut dipertimbangkan, kasus Merry Utami tentunya tidak akan berujung pada putusan hukuman mati. Ketika faktor kerentanan perempuan diabaikan, maka hukum akan gagal memberikan keadilan bagi perempuan, Merry Utami contohnya. Ia adalah korban dari sistem yang tidak mengakomodir pengalaman perempuan sebagai pertimbangan yang berujung pada hukuman mati. (Abby Gina) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |