Sabtu, 10 Desember 2016 lalu, Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) didukung oleh UN Women dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), mengadakan Festival Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Let’s End Sexual Violence! di The Warehouse, Plaza Indonesia sebagai penutup peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Isu kekerasan seksual terhadap perempuan hingga saat ini masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia. Apalagi jika melihat berbagai kasus yang naik ke muka publik dan tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Acara ini sendiri terbagi menjadi empat sesi diskusi dengan tema yang berbeda-beda. Satu sesi diskusi yang cukup menarik perhatian adalah sesi diskusi mengenai isu perkawinan anak dalam upaya penghapusan kekerasan seksual. Diskusi ini menghadirkan Fadilla Dwianti Putri (Dila) dari UNICEF dan Kemas Achmad Mujoko (Jojo) dari Aliansi Remaja Independen (ARI) sebagai pembicara. Pembahasan mengenai perkawinan anak pada diskusi ini dimulai dengan pemutaran film dokumenter hasil produksi dan penelitian yang dilakukan oleh ARI. Film pendek tersebut membahas delapan kisah perkawinan anak di tiga kota di Pulau Jawa (DKI Jakarta, DIY Yogyakarta dan Jawa Timur). Film dokumenter ini menceritakan delapan perempuan yang melakukan pernikahan anak dalam bentuk wawancara dengan pelaku pernikahan anak. Film ini sendiri ingin melihat perspektif anak perempuan sebagai korban dalam pernikahan yang mereka jalani. Jojo menjelaskan bahwa latar belakang dibuatnya film dokumenter tersebut adalah karena ingin melihat bagaimana realitas perkawinan anak di lapangan. Film ini juga sebuah upaya yang dilakukan ARI dan Koalisi 18+ kala itu untuk mengajukan usulan kenaikan usia perkawinan menjadi minimal 18 tahun untuk anak perempuan (dalam undang-undang dikatakan usia minimal perkawinan adalah 16 tahun) kepada pemerintah. Meskipun pada akhirnya pemerintah tidak mengabulkan kenaikan usia perkawinan menjadi 18 tahun, film dokumenter ini berhasil menunjukkan realitas perkawinan anak yang sangat merugikan banyak pihak, terutama sang anak yang menjadi korban di dalam pernikahan itu sendiri. Kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan adalah tiga isu penting yang seringkali tidak diacuhkan oleh pemerintah ketika negara melegalkan pernikahan anak. Masalah kesehatan reproduksi adalah permasalahan utama yang menjadi perhatian ketika pernikahan anak terjadi. Banyak pelaku pernikahan anak yang tidak mengetahui informasi mengenai kesehatan reproduksi, termasuk akses terhadap hak-hak kesehatan reproduksi yang diberikan oleh pemerintah (seperti penyediaan alat kontrasepsi dan program KB). Pada isu pendidikan misalnya, banyak pelaku pernikahan anak yang putus sekolah setelah melakukan pernikahan, sehingga tidak melanjutkan pendidikannya. Pada kasus pernikahan anak yang disebabkan oleh Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), seringkali sekolah mengeluarkan siswa/siswinya karena kedapatan mengalami KTD atau pada kasus lain sang siswa/siswi merasa malu untuk melanjutkan pendidikannya karena mengalami KTD dan memilih untuk berhenti bersekolah. Untuk isu ketenagakerjaan, Jojo menceritakan bahwa ada pelaku pernikahan anak yang justru menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) setelah melakukan pernikahan. Jojo melihat ada kecenderungan bahwa seseorang yang terlibat dalam pernikahan anak adalah seorang korban, bukan pelaku. Hal ini dikarenakan adanya faktor kemiskinan dan terbatasnya akses terhadap pendidikan seks untuk anak. Ketika faktor kemiskinan atau kurangnya akses terhadap pendidikan seks mengakibatkan terjadinya KTD, seringkali pernikahan anak dijadikan solusi terhadap permasalahan tersebut. Namun Jojo tidak sependapat dengan solusi tersebut dan melihat bahwa pernikahan anak harus dihapuskan dan dicari solusi atas permasalahan yang timbul karena pernikahan anak. Hal ini menyiratkan bahwa pernikahan anak jauh lebih merugikan anak perempuan. Sejauh ini, ARI sudah melakukan beberapa upaya untuk penghapusan pernikahan anak di Indonesia. Diantaranya dengan melakukan integrasi pengawasan dari ARI, tokoh agama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai angka pernikahan yang tinggi seperti Nusa Tenggara Barat, Lombok Barat dan Sukabumi. Sementara itu Dila menyoroti adanya kontradiksi aturan hukum yang terjadi di Indonesia mengenai pernikahan anak. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebetulnya sudah bisa dijadikan alasan untuk menolak pernikahan anak karena dengan jelas menyebutkan bahwa usia 16 tahun masih dikategorikan sebagai anak. Namun, UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, mengizinkan pernikahan anak terjadi karena usia minimum untuk melakukan pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hukum yang kontradiktif ini diperparah dengan tidak adanya batasan usia minimum untuk orang tua yang ingin menikahkan anaknya yang berumurdi bawah 16 atau 19 tahun. Orang tua bisa mengajukan izin pernikahan kepada pengadilan apabila mereka ingin menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, sekalipun anak mereka berumur 11 atau 12 tahun mereka tetap bisa melakukan pernikahan yang legal karena pengadilan dapat mengabulkan pernikahan tersebut. Dila juga menyebutkan berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan Koalisi 18+ di tiga kabupaten di Indonesia, pada tahun 2013-2015, terdapat 377 putusan pengadilan mengenai dispensasi pernikahan di bawah umur dan 97% putusannya mengabulkan pernikahan tersebut. Secara umum pernikahan anak juga menyebabkan anak perempuan lebih rentan mendapatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), serta 1,5 kali lebih rentan meninggal pada usia di bawah 28 tahun karena komplikasi pada saat melahirkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2008-2015 menunjukkan bahwa prevalensi pernikahan anak di Indonesia berjumlah 25% yang berarti 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah di bawah umur 18 tahun. Data statistik BPS juga menyebutkan bahwa wilayah yang memiliki angka pernikahan tertinggi adalah Sulawesi Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Dila menanggapi hasil penelitian yang dilakukan ARI mengenai pernikahan anak di kota Yogyakarta dan Jakarta yang sesungguhnya merupakan wilayah yang cukup rendah angka pernikahannya. Tetapi Dila menambahkan bahwa rendah bukan berarti tidak terjadi pernikahan anak di wilayah tersebut. Menurut Dila, ada dua pola kunci pernikahan anak di Indonesia yaitu menikah terlebih dahulu baru kemudian hamil dan hamil terlebih dahulu kemudian baru menikah. Namun, seringkali anak perempuan jarang dilibatkan sebagai penentu keputusan terhadap keputusan pernikahan tersebut termasuk memilih calon suami untuk dinikahinya. Dila menambahkan pernikahan pada anak perempuan seringkali terjadi karena sang anak tidak memiliki banyak pilihan untuk hidupnya. Semisal, lokasi sekolah jaraknya jauh dari rumah sehingga memakan banyak waktu, tenaga dan biaya hanya untuk bersekolah, karena itu orang tua memutuskan untuk menikahkan anaknya dibandingkan membiarkan mereka melanjutkan studinya hingga selesai. Sekalipun sang anak menolak untuk menikah, ia tidak memiliki pilihan lain. Hal lain yang menyebabkan anak perempuan lebih memilih menikah pada usia muda adalah karena kurangnya panutan di sekelilingnya yang bisa dijadikan contoh. Hal ini banyak terjadi di daerah semi-urban/rural yang hampir seluruh perempuan di wilayah tersebut menikah pada usia muda, sehingga sang anak merasa bahwa ia pun akan menikah pada usia muda pula. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menghapuskan pernikahan anak di Indonesia khususnya untuk menghindarkan anak perempuan terjebak dalam pernikahan anak. Pertama dengan advokasi hukum untuk menaikkan usia pernikahan menjadi minimal 18 tahun. Kedua, melibatkan anak perempuan terhadap setiap keputusan yang menyangkut dirinya, termasuk untuk masa depan dan pernikahannya. Ketiga, melibatkan komunitas untuk mengubah norma sosial tentang pernikahan anak, dan terakhir, memberdayakan anak perempuan yang telah terlanjur menjalani pernikahan untuk tetap memberikan akses pendidikan, menjadi mentor dan selalu memberikan dukungan kepadanya. Selain diskusi mengenai pernikahan anak, terkait upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan MaPPI FHUI dalam siaran persnya mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan dan penanganan yang tepat bagi korban dan pelaku kekerasan seksual, menjatuhkan pidana yang sesuai dengan harapan masyarakat, dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan beberapa catatan yaitu dengan memerhatikan perumusan non competent consent, unsur-unsur pemaksaan hubungan seksual, besaran ancaman pidana dan restitusi sebagaimana terdapat dalam buku yang diluncurkan MaPPI FHUI yaitu mengenai Reformasi pengaturan Tindak Pidana Perkosaan. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |