Rabu (27/3) dalam Peluncuran JP100 Pemikiran dan Gerakan Perempuan di Indonesia, Anita Dhewy (Pemred Jurnal Perempuan) memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Kebaruan Politik dan Hukum Sebagai Sumbangan Gerakan Perempuan dalam Advokasi Kebijakan Afirmatif Pemilu dan UU PKDRT”. Riset tersebut berfokus pada gerakan perempuan dalam melakukan advokasi kebijakan dan juga sebagai refleksi pemikiran dan gerakan perempuan. Pada pemaparannya, Anita menjelaskan bahwa gerakan perempuan menggunakan strategi yang berbeda-beda dalam penerapan advokasi keterwakilan perempuan melalui kebijakan afirmatif Pemilu. Hal ini disebabkan oleh beragam konteks permasalahan yang dihadapi dalam setiap periode Pemilu. Ia menceritakan bahwa setelah reformasi 1998, gerakan perempuan belum bisa memasukkan kebijakan terkait kepentingan perempuan yaitu pada Pemilu tahun 1999. Lebih jauh Anita menjelaskan bahwa minimnya jumlah perempuan di Parlemen dan momentum reformasi, menjadi faktor pendorong gerakan perempuan dalam memperjuangkan kebijakan afirmatif Pemilu. “Hal ini kemudian menyadarkan aktivis perempuan bahwa keterwakilan perempuan di parlemen perlu ditingkatkan, karena hadirnya perempuan di parlemen dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan perempuan”, jelas Anita. Kemudian, Anita menjelaskan bahwa selain adanya kesadaran akan pentingnya politik representasi, gerakan perempuan dalam advokasi kebijakan juga didukung oleh gerakan perempuan yang berasal dari kalangan akademisi. Salah satu bentuk dukungan perempuan akademisi ialah melakukan kajian-kajian komprasi terhadap sistem Pemilu dan sistem politik Indonesia dan negara-negara lain. Kajian-kajian tersebut kemudian menghasilkan dua alternatif terhadap sistem keterwakilan yang akan diadopsi. Pertama, sistem keterwakilan berdasarkan reserved sit atau jatah kursi. Kedua, sistem keterwakilan berdasarkan candidacy atau pencalonan. Namun, sistem reserved seat dipandang kurang sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia, sehingga gerakan perempuan mendorong sistem keterwakilan pencalonan. Dalam paparannya, Anita menjelaskan tentang proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu yaitu di pada rentang tahun 2003 hingga 2014. Pertama, gerakan perempuan berhasil memasukkan sistem kandisasi dalam UU Pemilu Pasal 65 No. 13 Tahun 2003--yang menyebutkan bahwa Partai politik dapat menyalonkan anggota DPR di Provinsi, Kabupaten Kota, dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekitar 30 persen. Hal ini menghasilkan peningkatan jumlah perempuan di DPR dari dari 8,8 % menjadi 11,32% pada pemilu 2004. Namun demikian, saaat dilakukan evaluasi terungkap bahwa UU Pemilu Pasal 65 tersebut masih belum efektif berlaku dan tidak ada sanksi bagi partai yang tidak memenuhi kuota perempuan yang telah ditetapkan. Kedua, proses dan kemajuan advokasi ialah di tahun 2007 menjelang pemilu tahun 2009, gerakan perempuan mengupayakan hadirnya sistem zipper, yaitu urutan pencalonan yang selang antara laki-laki dan perempuan. Kemudian, pada akhirnya ada kesepakatan penomoran bahwa setiap dari tiga calon laki-laki terdapat satu calon perempuan. Sistem ini pun berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dari 11,32% menjadi 17,82% di Pemilu 2009. Ketiga, menuju ke Pemilu 2014, gerakan perempuan melihat bahwa tidak perlu ada perubahan terkait dengan sistem Pemilu, melainkan perlu mendorong keterwakilan perempuan dalam UU Partai Politik, dengan lebih memperhatikan apakah setiap pengurus partai politik sudah menerapkan kebijakan afirmatif dan sistem 30% perempuan dalam partai politik. Lebih jauh, menurut Anita, proses dan kemajuan advokasi kebijakan afirmatif Pemilu berangkat dari gagasan bahwa politik representasi dibutuhkan karena diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan perempuan, bukan hanya sekadar ukurang angka maupun jumlah. “Keberadaan perempuan di lembaga-lembaga politik pengambil kebijakan itu menjadi hal penting untuk melakukan perubahan, karena diharapkan kehadiran mereka tidak hanya ada saja secara statistik atau angka, tapi juga memberikan warna dan perubahan. Itu pentingnya mereka yang ada dalam posisi-posisi pengambil kebijakan memiliki perspektif perempuan”, ungkap Anita Dhewy. Kemudian Anita menjelaskan gagasan, proses dan kemajuan advokasi UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). “Gagasan tentang UU PKDRT sudah hadir sejak tahun 1997 melalui data-data yang dikumpulkan oleh LBH APIK yang mencatat adanya peningkatan kasus-kasus kekerasan terhadap istri dan momen reformasi semakin membentuk kesadaran masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan memang nyata terjadi”, jelas Anita. Menurut Anita, data dan berbagai hasil kajian tentang kekerasan terhadap perempuan mendorong gerakan perempuan memperjuangkan UU PKDRT. Advokasi payung hukum pidana yang spesifik ini juga tidak terlepas dari kolaborasi dan dukungan antar organisasi perempuan sehingga membentuk kekuatan yang besar. Anita menjelaskan bahwa salah satrategi yang digunakan ialah membentuk sebuah forum parlemen yang kemudian menjadi penghubung antara gerakan perempuan dengan anggota DPR Komisi 7 yang menangani RUU ini. “Dalam upaya mendorong pemerintah untuk mengesahkan UU PKDRT, gerakan perempuan juga melakukan gerakan massa seribu payung. Presiden Megawati pun akhirnya mengeluarkan Amanat Presiden terkait RUU PKDRT, sehingga bisa diproses dan UU PKDRT bisa disahkan”, jelas Anita. Menurut Anita, selama ini selalu ada pemisahan antara publik dan privat sehingga gerakan perempuan berupaya merumuskan agenda politik perempuan yang membongkar pemisahan tersebut melalui UU PKDRT. “Kebijakan itu hanya mengatur urusan-urusan di ranah publik, sementara persoalan-persoalan yang terjadi di ranah privat itu tidak dianggap urusan negara. Tetapi dalam konteks kekerasan terhadap perempuan, maka seharusnya negara ikut hadir dan memberi perlindungan pada perempuan”, tegas Anita Dhewy. Anita Dhewy menutup pemaparannya dengan pernyataan yang reflektif bahwa advokasi kebijakan tidak hanya membawa isu terkait identitas sebagai perempuan, tetapi identitas perempuan dari berbagai latar belakang yang termarginalkan secara politik dan yang mengalami kekerasan. (Rahel Narda Chaterine) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
August 2024
Categories |