Pada Jumat malam (17/4/2015) bertempat di Jl. Mawar 221 Badran Surakarta diselenggarakan pemutaran dan diskusi film R.A Kartini yang dibintangi Yenny Rahman besutan sutradara Sjumandjaja dan diproduksi tahun 1984. Acara yang diselenggarakan oleh Sinemain dan Jejer Wadon ini dihadiri oleh puluhan aktivis dan mahasiswa. Vera Kartika Giantari, narasumber diskusi mengatakan bahwa Kartini mampu mengungkapkan, mengejawantahkan apa yang menjadi keinginannya dan di usia 12 tahun sudah mulai bergerak. “Kartini secara lahir adalah genuine alami. Kartini bekerja bukan untuk mencari pangkat dan kedudukan”, tutur Vera Kartika Giantari. Sedangkan dalam sesi diskusi Haryati Panca Putri mengatakan bahwa Kartini memiliki kepedulian terhadap ketidakadilan dan kaum marginal. Proses perlawanannya terhadap budaya dan etika digambarkan dalam satu adegan ketika dia mengetahui suaminya dipijit oleh ketiga garwa selir, sampai kemudian ada tekanan psikologis. “Kartini menyampaikan kritikan dengan sangat etis. Dia memiliki jiwa pemberontak, tetapi masih pada jalur sebagai perempuan Jawa”, ujar Haryati Panca Putri. Dini, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menyatakan kesamaan pendapat bahwa Kartini adalah genuine. Sesuatu yang muncul darinya membuatnya bergerak. “Hal itu berbanding terbalik dengan keadaan saya sebagai mahasiswa. Saya hari ini berpikir besok saya akan bisa melakukan apa kepada masyarakat. Kita dijauhkan dari masyarakat apalagi kampus saya tidak ada Kuliah Kerja Nyata (KKN). Artinya hari ini pemikiran mahasiswa adaptif. Zaman sekarang dengan dulu berbeda karena media sedikit cuma dengan mata telinga. Media sekarang banyak dan kita terlalu reaktif”, ungkap Dini. Dia menambahkan bahwa di zaman dulu Kartini memperjuangkan bagaimana rakyat berjuang di ruang formal. Peserta diskusi lain Indah Darmastuti membuat perbandingan dengan novel roman yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah dan Gadis Pantai, “Di film ini ditekankan bahwa Kartini menikah karena tindakan politis. Bahkan di Jejak Langkah disebut Minke susah mencari taksi untuk di sewa karena pernikahan Kartini banyak memerlukan sewa mobil”, jelas Indah. Dan yang perlu dicatat menurutnya adalah Kartini menafikan kultur stelsel dan feodalisme. Dewi Candraningrum memberi kalimat penegasan sebagai penutup diskusi bahwa dilihat dari kekinian perempuan pintar itu penting. Perempuan harus pintar dalam segi apapun. Dalam teori Leadership The Winner of Love, banyak sekali perempuan memenangkan cinta sesungguhnya. Pemimpin perempuan dianggap berbahaya, karena kalau dia cinta rakyatnya maka dia lebih ditakuti. Kedua, perempuan secara ginekologi sosial pantai utara Jawa: Rembang dan Jepara sekarang ini ada Sukinah. Ini membuktikan bahwa kepemimpinan itu kuat. “Belum pernah Sukinah kita kenal sampai kasus pegunungan Kendeng merebak. Inilah secara genetik dan psikologi perempuan sanggup menyandang The Winner of Love”, pungkas Dewi Candraningrum. (Astuti Parengkuh) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |