Sekolah Pascasarjana UGM mengadakan Seminar Great Thinker dengan tema “Seyla Benhabib dan Pandangannya tentang Posisi Politik Gerakan Perempuan” (18/03). Kegiatan tersebut dilakukan secara daring dan diikuti 140 peserta. Hilda Ismail, mewakili Dekan Pascasarjana UGM membuka acara Seminar Great Thinker. Menurut Hilda acara ini diadakan sebagai peringatan hari perempuan Internasional. Menurut Hilda pembahasan pemikiran Benhabib sangat relevan terutama dalam situasi pandemi di mana keterlibatan perempuan sangatlah penting. Dalam kondisi pandemi tanggung jawab perempuan semakin besar, apalagi dengan semakin besarnya tanggung jawab perempuan di dalam keluarga.
Seminar ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Dr. Atnike Nova Sigiro - Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, dan Ita Fatia Nadia - seorang aktivis dan peneliti sejarah perempuan. Keduanya menjelaskan urgensi pemikiran Benhabib dalam diskursus moral dan politik di tingkat internasional dan dalam keterkaitannya dengan peminggiran perempuan dari pemikiran dan kebijakan politik yang dominan. Atnike memaparkan sejumlah gagasan kunci dari Benhabib yang didasari dari kritik terhadap gagasan universalisme modern yang menyingkirkan perempuan dari diskursus moral politik, dan argument Behabib tentang konsep “liyan konkret” (the concrete other). Menurut Atnike, Benhabib melihat praktik sosial kesejarahan dan simbol pemaknaan bekerja dalam suatu sistem gender dan seks (gender-sex system). Sistem gender dan seks inilah yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan di dalam masyarakat. Menurut Atnike, Benhabib menawarkan dua cara untuk merespons ketimpangan akibat sistem gender dan seks, yaitu dengan mengembangkan “explanatory-diagnostic” tentang penindasan yang dialami perempuan melalui pengungkapan berbagai pengalaman sejarah, kultural dan sosial yang dialami oleh perempian, dan dengan mengajikan “anticipatory-utopian critique” terhadap norma dan nilai di dalam kehidupan sosial dan budaya saat ini, sebagai upaya mewujudkan konsep “kebersamaan” baru yang sebelumnya tidak terakomodasi oleh pemikiran moral politik yang berperspektif maskulin. Atnike menjelaskan kritik Benhaib terhadap teori moral universal yang cenderung hanya merepresentasikan pengalaman laki-laki, kulit putih, golongan berpunya, dan/ atau mereka yang memilliki legitimasi otoritas kepakaran di dalam masyarakat. Teori moral arus utama tersebut tidak mengakomodasi dan mengakui pengalaman yang liyan (the other). Oleh sebab itu, menurut Atnike, konsep liyan yang konkret menjadi penting, karena dengan adanya pengakuan terhadap liyan konkret maka suara perempuan dan kelompok marginal lainnya dapat dikenali di ruang publik. Gagasan liyan yang konkret menurut Benhabib tidak hanya mengakui kemanusiaan seseorang tetapi juga sisi individualitasnya. Atnike kemudian menekankan perlunya universalisme yang interaktif (the interactive universalism) dalam kehidupan diskursus dan moral politik agar perbedaan dan keragaman perempuan maupun kelompok marginal yang terpinggirkan dapat menjadi perbincangan publik dan memperoleh pengakuan yang menjadi dasar kebersamaan baru di dalam masyarakat. Dalam paparannya Ita Fatia Nadia membahas dua konsep penting dari pemikiran Benhabib yang memengaruhi proses politik gerakan feminisme saat ini. Dua gagasan tersebut adalah demokrasi deliberatif yang mengacu pada pemikiran Habermas, dan tentang politik perbedaan (differenceI) yang mengacu pada pemikiran Iris Marion Young. Menurut Ita, gagasan demokrasi deliberatif memberikan peluang bagi tiap warga negara menjadi bagian dari legitimasi politik. Dengan konsep ini tiap individu dijamin kesetaraannya. Gagasan ini menjadi dasar bagi gerakan feminisme sebab memberikan landasan jaminan atas inklusivitas, bebas dari paksaan, dan bersifat terbuka. Dengan prinsip-prinsip tersebut, perempuan yang selama ini terpingirkan akan dapat terlibat dalam proses demokrasi deliberatif . Ita juga menjelaskan bahwa melalui politik perbedaan dari Young, Benhabib menggarisbawahi arus pemikiran politik yang mengusung penghargaan terhadap perbedaan namun sekaligus menghargai prinsip kehidupan bersama yang harus ditaati. Mengacu pada pemikiran Benhabib, ruang politik harus menjamin pengakuan terhadap hak-hak kultural namun tanpa meninggalkan gagasan keadilan dan aturan hukum. Kedua gagasan ini tetap harus menjadi acuan utama kehidupan bersama. Artinya, pengakuan terhadap perbedaan kelompok tidak menjadi eksklusivisme kelompok. Proses demokrasi deliberatif yang mengakomodasi suara perempuan haruslah menjadi demokrasi yang menghadirkan solidaritas, mampu memberi perlindungan dan menjaga pluralitas, dan juga harus mampu menghasilkan kesetaraan (Abby Gina). Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |