Jurnal Perempuan
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024
Warta Feminis

Laporan Human Rights Watch Mengungkapkan Aturan Busana yang Diskriminatif terhadap Perempuan dan Pelajar Perempuan di Indonesia

26/3/2021

 
Picture
Human Rights Watch (HRW) meluncurkan sebuah laporan yang berjudul “Aku Ingin Lari Jauh: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia” (18/03). Laporan setebal 130 halaman, berjudul “’Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia,” mendokumentasikan bagaimana berbagai peraturan pemerintah mewajibkan anak perempuan dan perempuan untuk mengenakan jilbab, busana Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada. Peraturan-peraturan tersebut diterapkan di lingkungan sekolah negeri, lingkungan PNS dan kantor-kantor pemerintah. Laporan ini juga mengangkat kasus-kasus diskriminasi yang dialami oleh pelajar perempuan dan guru  di berbagai wilayah di Indonesia.

Laporan ini mendokumentasikan pengalaman seorang ibu yang putrinya bersekolah di sebuah SMP negeri di Yogyakarta. Ibu ini menuturkan, “Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab.” Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?” Saya menyadari bahwa pihak sekolah telah menekan para siswi untuk memakai jilbab meskipun kepala sekolah menyangkalnya.”
 
Kasus lainnya dialami oleh seorang dosen kampus negeri di Jakarta yang mengundurkan diri pada tahun 2020. Ia melepaskan status pegawai negeri, karena tekanan berbusana yang dialaminya. Ia menuturkan, “Tidak ada aturan resmi buat dosen dan mahasiswi untuk pakai jilbab di kampus. Tapi tekanannya sangat kuat. Saya baca Kode Etik kampus. Hanya menyebut tata busana yang sopan. Saya selalu berpakaian sopan. Saya dapat komentar mengapa saya tidak menutupi rambut saya? Saya trauma akibat kejadian-kejadian itu. Kebanyakan orang di kampus ini menghakimi saya, langsung maupun tidak, hanya karena saya memutuskan untuk tidak memakai jilbab seperti yang mereka mau.”
 
Dalam laporan HRW salah satu responden perempuan mengungkapkan diskriminasi yang dialaminya di bangku SMA. “Jika kami mencapai pelanggaran 100 poin, kami akan diminta mengundurkan diri dari sekolah. Kerudung haruslah tebal, tidak ada rambut yang terlihat, dan jilbab harus cukup lebar untuk menutupi dada. Baju harus cukup panjang untuk menutupi pinggul. Jika kerudung terlalu tipis atau terlalu pendek, guru akan [menggambar] tanda silang dengan spidol di baju atau jilbab. Begitu pula kemeja yang tidak menutupi pinggul akan dicoret.”, tutur responden di dalam laporan ini.
 
HRW berpandangan bahwa aturan busana bagi perempuan dan anak perempuan di para siswi, pegawai negeri perempuan, dan para pengunjung perempuan yang datang berkunjung ke kantor pemerintah, merupakan bentuk diskriminasi.
 
Menurut HRW, sejak tahun 2001 telah ada lebih dari 60 peraturan diskriminatif yang memaksa perempuan untuk berbusana muslimah. Peraturan semacam ini diterapkan di sekitar 300.000 sekolah negeri, terutama di 24 provinsi dengan mayoritas penduduk Muslim. Peraturan-peraturan ini telah mewajibkan pelajar perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab sejak Sekolah Dasar.
 
Elaine Pearson dari Human Rights Watch menyatakan bahwa sejumlah peraturan dan kebijakan di Indonesia  terkait aturan busana yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan di sekolah dan tempat kerja telah melanggar hak mereka untuk bebas dari pemaksaan dalam beragama. Tindak diskriminatif yang terjadi di sekolah ini adalah bentuk pelanggaran HAM. Hukum internasional  telah menjamin hak setiap manusia untuk menjalankan keyakinannya, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan apa yang mereka pilih.
 
HRW mengimbau pencabutan aturan-aturan berbusana yang diskriminatif tersebut dan merekomendasikan pelaksanaan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang dibuat pada 3 Februari 2021 tentang Pemda dan Sekolah Tidak Boleh Wajibkan atau Melarang Seragam Beratribut Agama. SKB 3 Menteri ini melarang aturan busana yang sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap siswi serta guru perempuan di sekolah-sekolah negeri. Menurut HRW pelaksanaan SKB ini penting untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan dan anak. 
 
SKB 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri menyatakan bahwa siswi dan guru memiliki hak untuk memilih pakaian yang akan  dipakai di sekolah, dengan atau tanpa “atribut agama”.  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadim Makarim mengatakan, bahwa sekolah negeri telah "salah menafsirkan" peraturan seragam sekolah tahun 2014. Sementara Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama RI menyatakan bahwa kasus Padang adalah “puncak gunung es” dan aturan wajib jilbab selama ini digunakan untuk “pemaksaan, diskriminasi, intimidasi” terhadap pelajar perempuan.
 
Mengacu pada SKB tersebut, maka pemerintah daerah dan kepala sekolah diperintahkan mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021 dan sanksi akan mulai diberlakukan kepada kepala sekolah dan kepala daerah, yang tidak mematuhi keputusan itu hingga 25 Maret 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan diberi wewenang untuk menahan dana Bantuan Operasional Sekolah bagi sekolah yang mengabaikan keputusan tersebut. SKB ini hanya mencakup sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia tak meliputi sekolah negeri dan perguruan tinggi Islam di bawah Kementerian Agama. Ia juga mengecualikan Aceh, yang memiliki otonomi lebih besar daripada provinsi-provinsi lain, dan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia, yang resmi menjalankan syariat Islam.
 
HRW menyatakan bahwa mewajibkan perempuan dan anak perempuan untuk menggunakan busana agama tertentu akan mempengaruhi perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Sementara Hukum internasional menjamin hak setiap manusia untuk menjalankan keyakinannya, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan apa yang mereka pilih. Laporan ini juga dilengkapi dengan lampiran yang menjelaskan berbagai aturan busana di Chechnya (Rusia), Prancis, Jerman, Iran, Arab Saudi, wilayah Suriah di bawah kekuasaan Negara Islam, Turki, dan Xinjiang di Tiongkok. (Abby Gina).

Comments are closed.
    Jurnal Perempuan
    ​
    terindeks di:
    Picture

    Archives

    May 2025
    April 2025
    March 2025
    February 2025
    January 2025
    December 2024
    November 2024
    October 2024
    September 2024
    August 2024
    July 2024
    June 2024
    May 2024
    April 2024
    March 2024
    February 2024
    January 2024
    December 2023
    November 2023
    October 2023
    September 2023
    August 2023
    July 2023
    June 2023
    May 2023
    April 2023
    March 2023
    February 2023
    January 2023
    December 2022
    November 2022
    October 2022
    September 2022
    August 2022
    July 2022
    June 2022
    May 2022
    April 2022
    March 2022
    February 2022
    January 2022
    December 2021
    November 2021
    October 2021
    September 2021
    August 2021
    July 2021
    June 2021
    April 2021
    March 2021
    February 2021
    January 2021
    December 2020
    October 2020
    August 2020
    July 2020
    June 2020
    April 2020
    March 2020
    February 2020
    January 2020
    December 2019
    November 2019
    October 2019
    September 2019
    August 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    April 2019
    March 2019
    February 2019
    January 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    August 2018
    July 2018
    June 2018
    May 2018
    April 2018
    March 2018
    February 2018
    January 2018
    December 2017
    October 2017
    September 2017
    August 2017
    July 2017
    June 2017
    May 2017
    April 2017
    March 2017
    December 2016
    November 2016
    September 2016
    August 2016
    July 2016
    June 2016
    May 2016
    April 2016
    March 2016
    February 2016
    January 2016
    December 2015
    November 2015
    October 2015
    September 2015
    August 2015
    July 2015
    June 2015
    May 2015
    April 2015
    March 2015
    February 2015
    January 2015
    December 2014
    November 2014
    October 2014
    September 2014
    August 2014
    July 2014
    June 2014

    Categories

    All

    RSS Feed

Yayasan Jurnal Perempuan| Alamanda Tower, 25th Floor | Jl. T.B. Simatupang Kav. 23-24 Jakarta 12430 | Telp. +62 21 2965 7992 Fax. +62 21 2927 7888 | [email protected]
  • TENTANG KAMI
    • Profil
    • Kontak
    • Laporan Tahunan
    • Demo Suara Ibu Peduli
    • Rilis JP
  • Jurnal Perempuan
    • Kirim Tulisan
  • YJP PRESS
    • Buku Seri YJP Press
  • KAFFE
  • Radio JP
    • Podcast JP
  • Sahabat JP
    • Daftar Nama SJP
    • International Friends of JP
    • Blog SJP
    • Gathering SJP
  • Wacana Feminis
    • Tokoh Feminis
    • Cerpen/Puisi Feminis
  • Warta Feminis
  • Warung JP
    • Category
    • Daftar Toko Buku
  • Toeti Heraty Scholarship
    • Biodata Penerima Beasiswa 2022
    • Biodata Penerima Beasiswa 2023
    • Biodata Penerima Beasiswa 2024