Jumat, 15 September 2017, pertemuan pertama kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (KAFFE) VIII yang mengambil tema Menyoal Feminisme dimulai. Diampu oleh Dr. Gadis Arivia, ia membawakan topik yang cukup menarik pada malam itu dengan membahas posisi ekofeminisme di dalam teori feminisme. Gadis memulai kelas dengan pemaparan awal berupa teori lingkungan arus utama untuk mengetahui letak ekofeminisme di dalam kerangka besar teori lingkungan. Untuk memulai diskursus mengenai teori lingkungan, ada 3 hal yang harus diperhatikan untuk memahami bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk memahami etika lingkungan. Pertama, ada sebuah pertimbangan moral bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran mempunyai tanggung jawab moral terhadap yang nonmanusia (termasuk alam, hewan, dsb). Kedua, alam harus dianggap sebagai subjek yang memiliki rasionalitas, bahasa dan jiwanya sendiri agar kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek, bukan objek. Ketiga, ada nilai intrinsik dan ekstrinsik pada alam sehingga kita bisa memahami alam sebagai sebuah subjek karena alam secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap hidup kita. Gadis kemudian mulai menjelaskan tentang teori-teori lingkungan arus utama sebagai pintu masuk kita untuk memahami ekofeminisme. Mengutip Karen J. Warren, Gadis menjelaskan bahwa ada empat kategorisasi arus utama teori lingkungan yang selama ini menjadi perdebatan di dunia akademis. Paradigma yang pertama adalah paradigma House yang berarti hanya sedikit tanggung jawab moral manusia pada nonmanusia dengan kata lain poros paradigma ini masih antroposentris. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Garett Hardin dengan teori “Lifeboat Ethics”, yang berarti seperti sekoci penyelamat dalam artian urusi diri masing-masing terlebih dahulu. Paradigma yang kedua adalah paradigma Reformist yang mengartikulasikan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk sebagian nonmanusia. Salah satu teori dalam paradigma ini dikemukakan oleh Peter Singer, melalui bukunya yang berjudul Animal Liberation yang mengatakan ketika kita mengetahui ada makhluk lain yang bisa merasakan rasa sakit, maka secara moral ia patut diakui keberadaannya. Paradigma yang ketiga adalah paradigma Mixed Reform and Radical yang meluaskan batasan kepentingan moral pada tanah, air, binatang, dsb, dengan mengedepankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Aldo Leopold dianggap sebagai salah satu tokoh yang menganut paradigma ini. Sekalipun paradigma ini sudah lebih maju dibandingkan paradigma House atau Reformist, nuansa antroposentris masih ada pada paradigma ini karena masih menganggap perlindungan spesies lain akan memberikan kebermanfaatan untuk manusia juga pada akhirnya. Paradigma yang keempat adalah paradigma Radical dengan sub alirannya yaitu Deep Ecology, Bioregionalism, Social and Political Ecology dan Ekofeminisme. Pertanyaan mengapa ekofeminisme diletakkan di dalam paradigma radikal sebenarnya bisa dijawab oleh enam konsep dasar di dalam ekofeminisme yaitu pertama, kehidupan sebagai yang aktif, interaktif, prokreatif, relasional, kontekstual. Kedua, alam harus keluar dari keterjebakan moral antroposentris. Ketiga, alam selalu hadir dalam kondisi manusia. Keempat, hubungan nonhierarkis antara alam dan manusia. Kelima, hubungan nondominasi karena hierarki adalah konstruksi sosial. Keenam, otherness sebagai yang setara. Enam konsep dasar ini menurut Gadis yang membuat ekofeminisme menjadi berbeda dengan teori lingkungan arus utama lainnya, sekalipun nantinya tetap ada perdebatan mengenai ekofeminisme dan ekofeminin. Gadis menjelaskan bahwa ekofeminisme sendiri dimulai oleh seorang perempuan bernama Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974 yang menyatakan bahwa ada keterkaitan antara alam dan perempuan. Pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah dengan menghubungkan perempuan dengan alam adalah sebuah penindasan atau pemberdayaan? Mendeskripsikan penderitaan atau menganalisis mengapa penindasan terjadi? Gadis kemudian menerangkan bahwa apabila kita terjebak pada konsep bahwa perempuan sama dengan alam dari sisi feminitasnya saja seperti perempuan bisa melahirkan sama dengan alam yang memberikan kehidupan (Ibu bumi) atau bibir perempuan sama merahnya dengan buah delima dan contoh-contoh lain yang mengasosiasikan perempuan dengan keindahan alam, maka itu bukanlah ekofeminisme melainkan ekofeminin dan jelas itu adalah penindasan terhadap perempuan. Gadis kemudian menambahkan bahwa menurut Warren, posisi ekofeminisme adalah dengan melihat keterkaitan perempuan dengan alam dari sudut pandang yang sama yaitu penindasannya, bukan sisi feminitas perempuan yang sebelumnya telah dijelaskan. Women other and other nature dijadikan konsep utama untuk melihat perjuangan perempuan yang membela alam. Ketika melihat perempuan yang membela alam, bukan lantas iya sepaham dengan paradigma ekofeminisme. Ekofeminin sendiri hanya terbatas membuat alam atau ekologi menjadi feminin dengan mengasosiasikan sisi-sisi feminin yang pada umumnya ada pada perempuan padahal sebagaimana kita pahami bersama, sisi feminin yang dilekatkan pada perempuan adalah konstruksi sosial. Gadis menuturkan bahwa ekofeminisme bukan hanya melihat penindasan yang terjadi pada perempuan dan alam saja, melainkan penindasan yang terjadi pada subjek liyan lainnya seperti kelompok LGBT, kelompok agama minoritas, dan etnis minoritas lainnya. Menurut Gadis, ekofeminisme bukan ekofeminin karena ekofeminisme tidak hanya menghubungkan perempuan dengan alam, tetapi nenentang ism of domination seperti rasisme, kelasisme, heteroseksisme, ableism, ageism, kolonialisme, dsb. Pemahaman yang dikaitkan dengan penindasan, subordinasi, dominasi terhadap perempuan. Untuk menguji sebuah gagasan atau gerakan perempuan itu benar-benar feminisme atau bukan cukup mudah. Misalnya pada kasus ibu-ibu Kendeng vs. PT. Semen Indonesia, bukan status ibu-ibunya yang kita lihat, melainkan apakah yang diperjuangkan oleh mereka benar-benar bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang telah hilang karena alam dan lingkungan hidup mereka dirusak oleh korporasi sehingga perempuan-perempuan di sana mengalami gangguan kesehatan reproduksi misalnya. Pada akhirnya, ekofeminisme adalah sebuah gagasan dan gerakan yang percaya bahwa feminisme mempunyai peluang untuk menghentikan dominasi dan eksploitasi yang selama ini terjadi pada alam dengan menganggap bahwa alam bukanlah entitas liyan yang tidak penting untuk diperjuangkan kelestariannya. (Naufaludin Ismail) Comments are closed.
|
Jurnal Perempuan
terindeks di: Archives
November 2024
Categories |